Pemberitaan pers kadang-kadang agak “nakal” juga, memakai bahasa Arab dan Indonesia, dibilang “pakai bahasa Indonesia” (saja). Yang namanya Ponpes itu, santrinya tetapnya hanya 20 orang

Eniwe, jelas sekali bahwa salat---mulai dari waktu-waktu pelaksanaannya, cara bersuci, bacaan dan bahasa yang digunakan, gerakan, urut-urutan, jumlah rakaat harus mengacu kepada contoh dari Nabi saw, seperti sabda beliau yang masyhur itu: “salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat.” Dan itulah yang dipegang ummat Islam sejak zaman Nabi sampai saat ini oleh mayoritas kaum muslimin di manapun di belahan bumi ini suni, syiah dan ahmadi.

Karena itu pemandangan dari jendela pada lantai-lantai teratas Hotel Hilton atau Darut Tauhid ke Masjidil Haram di Mekah pada salat-salat wajib pada musim haji atau di bulan Ramadhan, di mana jemaah salat bisa mencapai 1,5 juta orang yang luber sampai ke jalan-jalan di sekitar Masjid, semuanya melingkar menghadap ke arah Ka’bah yang berdiri kokoh di pelataran terbuka di tengah masjid, merupakan pemandangan yang sangat fantastis. Dengan dipimpin seorang imam, seluruh jemaah apapun jabatan dan pangkatnya tidak perduli raja atau presiden, apapun bangsanya dan warna kulitnya, lelaki atau perempuan, sejak takbiratul ihram, berdiri, rukuk, sujud, duduk, berdiri lagi, dst..dst... sampai dengan pembacaan ucapan salam, bergerak serempak dengan tertib.

Hal itu pula yang menyebabkan seorang muslim Sunni yang bebas prasangka, tidak akan mempunyai hambatan untuk ikut salat berjamah di masjid yang dibangun oleh kaum muslimin Syiah dan Ahmadi atau sebaliknya.

Bayangkan apa yang terjadi kalau setiap muslim salat dengan versinya sendiri-sendiri.

Lalu, apakah yang diajarkan Ustad KH Muhammad Yusman Roy di Ponpes I'tikaf, Lawang, Malang, yang membaca lafal salat---yang dengan jujur dikatakan sang ustad merupakan “kreativitasnya”---dengan menggunakan 2 bahasa itu menyimpang dari sunah Nabi? Tidak sukar untuk menjawabnya, karena ada salah satu ketentuan dasar dalam syariat: untuk hal yang bersifat ritual/ubudiyah dilarang melakukan kecuali yang disuruh, sedangkan untuk hal yang bersifat sosial/muamalah semua boleh kecuali yang dilarang.

Dengan kata lain, “kreativitas” Sang Ustad memang perlu dikoreksi

Tetapi pertanyaannya kemudian, apakah koreksi terhadap “kreativitas” Sang Ustad yang pengikutnya katanya 300 orang sedangkan jemaah tetapnya hanya 20 orang tersebut harus langsung dengan menilainya sesat dan dihujat, dan Sang Ustad perlu ditahan polisi seperti yang disarankan untuk ditangkap seperti yang disarankan oleh sejumlah tokoh ormas dan MUI Jatim?

Ada memang pendapat yang cukup segar dan bijaksana dari Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Dr Umar Shihab yang menyatakan bahwa ajaran yang disebarkan Yusman tidak bisa dibenarkan, sebab semua ketentuan salat harus sesuai dengan ajaran Alquran yang telah baku. Namun beliau tidak setuju Yusman ditahan polisi. Ia menilai ustad ini hanya cukup diberi pengarahan tentang pemahaman agama Islam.

Saya katakan cukup bijaksana, karena kita mestinya tahu, bahwa Sang Ustad yang bekas petinju nasional berdarah Indo-Belanda dan pernah bergelimang dalam dunia hitam yang covert ke Islam dalam tahun 1975, walaupun bagi orang Islam “karatan” seperti saya ini terlihat agak naïf, pada dasarnya berniat baik. Yaitu, agar makmum di belakang imam salat yang menjaharkan bacaan dalam 2 bahasa itu bisa memahami semua maksud yang terkandung dalam salat. Seperti diakuinya sendiri, walaupun pernah berguru kepada seorang kiai di Paneleh, Surabaya, untuk belajar ilmu syariat dan selama 10 tahun mendalami Islam, dirinya merasa belum mampu mendalami arti surat yang dibaca sewaktu salat.

Bukankah setiap amal itu ditentukan oleh niatanya, atau palaing tidak, apakah niat baiknya itu tidak patut dihargai?

Bahwa untuk melakukan “kreativitas” dalam syariat diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, dan “kreativitas” tersebut tidak untuk sesuatu yang bersifat “qathi”, itulah yang perlu diberikan pengarahan---sesuai dengan pesan Al-Quran---dengan kebenaran dan kesabaran.

Bukankah seperti sabda Nabi SAW, bahwa agama itu nasehat?

Dan bukankah para mualaf tersebut orang-orang yang harus kita lunakkan hatinya?

Apakah iya, seorang ustadz dengan santri yang hanya berjumlah 300 orang, yang sebagian besar orang-orang yang pernah bergelimang dalam dunia hitam yang ingin taubat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekedar “ingin sensasi, atau mengalihkan masalah yang terjadi di negeri ini, misalnya mengganggu stabilitas, atau agar ajarannya diblow-up sedemikian rupa, biar ada orang atau sekelompok tertentu menggunakan momen ini untuk merusak citra Islam”, seperti yang ditudingkan oleh seorang pimpinan Ormas Islam di Jawa Timur dan anggota DPR RI?

Bukannya tidak mungkin setelah memahami arti bahasa Arab melalui pembacaan lafaz salat 2 bahasa tersebut dan berbeur dengan masyarakat di tempat tinggalnya masing-masing kalau salat tidak lagi melafazkan bacaan bahasa Indonesianya. Apalagi bacaan salat kan tidak banyak dan rumit, dan yang benar-benar wajib hanya Surah Al-Fatehah saja.

Tidak banyak memang, ulama yang berpendapat seperti Kiai Umar Shihab.

Dan kita kemudian tahu, bahwa akhirnya Bupati Malang melalui Surat keputusan bernomor 180/783/kep/421.012/2005 menghentikan kegiatan pondok sang Ustad.

Lalu, apakah dengan ini persoalannya selesai?

Tapi apalah awak ini.

Wassalam, Darwin



====================================================================

Bupati Malang Stop Kegiatan Ponpes Salat Berbahasa Indonesia

Budi Hartadi – detikcom (07-May-05)

Malang - Kontroversi salat memakai bahasa Indonesia agaknya akan berkesudahan. Bupati Malang menghentikan kegiatan Ponpes I'tikaf Ngadi Lelaku, Sumber Waras, yang mengajarkan salat berbahasa Indonesia itu. Surat keputusan itu diturunkan hari ini.

Surat bupati Malang itu bernomor 180/783/kep/421.012/2005. SK tersebut dibuat atas keputusan rapat koordinasi dengan Muspida Malang, tokoh agama dan Kominda. Isi SK tersebut adalah menghentikan kegiatan pondok itikaf, dan meminta pengasuh dan penanggung jawabnya wajib melaksanakan keputusan ini dan bertanggung jawab. Apabila pada kemudian hari keputusan ini tidak dipatuhi maka akan dilakukan langkah-langkah penertiban dan tindakan tegas sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku.

Surat keputusan bupati ini mengacu pada keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, yang isinya tentang larangan melakukan pembacaan terjemahan mengiringi pembacaan ayat dalam salat berjamaah. Bupati Malang Sujud Pribadi menandatangi langsung surat keputusan larangan ini.

Pertemuan ini dilakukan di Mapolresta Malang antara Muspida dengan tokoh agama Malang. Surat keputusan ini juga ditembuskan kepada instansi dan pejabat terkait yang berwenang diantaranya, Kapolres malang, Kepala Kantor Departemen Agama Jawa Timur, Dandim 1081 Malang, Kajari Malang, Ketua PN Malang, Ketua DPRD Malang dan MUI kabupaten Malang. Surat Keputusan larangan itu mengacu pada undang-undang pemerintah daerah pasal 27 ayat 1 UU Nomor 32 tahun 2004 yang isinya adalah mewajibkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat dimana keamanan dan ketertiban adalah hal yang diinginkan masyarakat.

Mengacu pada undang-undang tersebut, kegiatan Ponpes I'tikaf Ngadi Lelaku telah melanggar undang-undang tersebut.(mar)


_______________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke