Share ...

Ini adalah salah satu karya Faiz anak HTR (Helvi Tiana Rosa) pengelola Forum
Lingkar pena. Anak yang dulunya menang lomba menulis surat ke presiden

-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, May 11, 2005 4:34 PM
Subject:  (Kisah Nyata) Kutitipkan Temanku; Calon orang
penting di negeri ini


Dari temenku.......


 Dari http://helvytr.multiply.com

 KUTITIPKAN TEMANKU; CALON ORANG PENTING DI NEGERI INI!

 Rumah mungil yang hanya sepetak itu berada dekat sekali dengan pasar dan
 kolong jalan tol. Di sekitarnya tampak kekumuhan yang memedihkan mata.
 Itulah Rumah Cahaya Penjaringan. Tempat ini dirintis oleh teman-teman
 Bunda di Forum Lingkar Pena dan Fojis. Yang mengurus Om Andi, penulis yang
 memakai nama pena Biru Laut itu lho. Om Andi dulu tinggal di dekat sini
 dan mantan preman. Aku terkejut juga. Banyak teman preman Om Andi yang
 suka rela membantu Rumah Cahaya. Ada Om Rojak, Om Tarjo dan banyak Om
 lainnya. Mereka hebat!

 Aku sampai pagi itu dan terkejut dengan sambutan meriah dari teman-teman
 kecil di Rumah Cahaya. Usia mereka antara 5-13 tahun. Aku tersenyum dan
 menyalami mereka. Wah mereka ramah!. Mereka menatapku seolah aku ini
 artis. Aku jadi tidak enak sekali. Aku mencoba untuk lebih akrab.

 Tante Asma dan bunda membuat beberapa acara. Ruangan mungil itu seakan
 hampir runtuh karena ramainya sorak anak-anak. Apalagi saat mereka bermain
 tebak-tebakan dan ekspresi untuk mendapatkan banyak hadiah imut yang kami
 bawa. Nah di tengah keramaian itu tiba-tiba aku melihat sesuatu, tepat di
 sebelah rumah cahaya.

 "Tempat apa itu? Peralatan apa?" tanyaku pada teman di sebelahku.

 "Itu tempat perjudian," katanya. "Dan itu alat-alatnya," tambah anak
 berbaju biru itu lagi. "Anak-anak suka main di situ. Padahal seharusnya
 itu tak terjadi."

 Aku sering mendengar di daerah dekat Rumah Cahaya ada tempat perjudian.
 Tapi aku tak menyangka kalau tepat di sebelah Rumah Cahaya!

 Aku menyalami anak berbaju biru itu dan berkenalan. Namanya Hengki
 Rifai. Lalu tiba-tiba kami sudah mengobrol seperti teman lama.

 "Di sini banyak penduduk yang kesusahan. Yang putus sekolah juga
 banyak," kata Hengki. "Saya berdoa dan berjuang supaya bisa terus
 sekolah."

 Hengki berumur 12 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Aku baru 9 tahun dan
 baru kelas III SD, tapi asyiknya obrolan kami nyambung.

 "Boleh aku ke rumahmu?" tanyaku.

 Hengki mengangguk. "Tapi rumahku aneh. Tidak apa?"

 "Aku suka rumah aneh," ujarku tersenyum.

 Hengki tertawa, matanya yang bulat bersinar.

 Kami pun berangkat bersama Om Rojak dan Om Tarjo, preman baik hati
 pendukung Rumah Cahaya.

 Perjalanan ke rumah Hengki melewati lorong-lorong kumuh di bawah kolong
 tol. Aku  prihatin karena lorong tersebut kotor, gelap dan bau. Anak-anak
 kecil buang air besar di got kecil yang cetek itu. Rumah-rumah di sana
 tidak layak huni. Kumuh sekali. Hampir semua rumah tidak beratap. Atapnya
 langsung jembatan tol itu. Aduh, aku jadi ingin menangis.

 Akhirnya aku sampai juga di rumah Hengki.  Aduh rumah Hengki membuatku
 sedih. Rumah itu kecil, kumuh sekali. Lebih mirip gudang. Di sebelahnya
 ada kandang-kandang ayam. Tapi kata Hengki tinggal kandangnya, sudah tak
 ada ayamnya lagi. Aku tidak bisa membayangkan ada orang menempati rumah
 seperti ini. Ya Allah aku istighfar dan menahan airmataku yang ingin cepat
 turun.

 Ternyata Hengki anak yatim. Yang membuatku ingin menangis lagi, Ibu
 Hengki sebenarnya masih hidup. Tapi pergi meninggalkannya begitu saja.
 Hengki hidup bersama kakek dan neneknya. Neneknya punya warung mungil di
 depan rumah mereka. Hengki sering membantu neneknya berjualan. Aku juga
 ngobrol dengan nenek Hengki yang ramah. Hatiku tersayat lagi melihat orang
 setua itu masih harus bekerja.

 Aku kagum, meski mereka kesusahan tapi sangat mengutamakan tamu. Aku
 minum teh botol tapi mereka tak mau dibayar. Terang saja aku memaksa.
 Aku paksa Hengki sekalian menerima sedikit tabunganku yang kubawa hari
 itu. Hengki kaget. Dia malu tapi bersyukur. Rupanya dia belum bayar uang
 sekolah beberapa bulan. Aku juga memberikan buku-buku karyaku pada Hengki.
 Hengki tertawa. Katanya dia sudah membaca semua puisiku di Rumah Cahaya,
 tapi belum punya bukunya. Dia berterimakasih sekali. Ah, Hengki.
 Sebenarnya aku yang berterimakasih padamu. Kamu mengingatkanku lagi akan
 arti syukur dan peduli pada sesama.

 Sayang, aku tak bisa lama mengobrol dengan Hengki. Sebab acara di Rumah
 Cahaya belum selesai. Aku harus kembali ke sana. Aku menyalami nenek,
 menyalami dan memeluk Hengki. Aku katakan padanya begini: "Kita terus
 bersahabat ya! Apapun yang terjadi!"

 Hengki mengangguk dan menjabatku erat.

 "Kamu tahu Hengki, aku yakin, meski keadaanmu sekarang begini, suatu
 saat kamu akan jadi orang hebat! Orang penting! Jadi kamu tidak boleh
 menyerah sekarang!" pesanku padanya.

 Hengki tertawa, menampakkan giginya yang putih bersih. Aku senang
 melihat Hengki yang hitam manis. Dia cerdas dan baik hati. Aku tahu
 suatu saat, kalau dia tetap berjuang dan dekat dengan Tuhan, dia
 benar-benar akan menjadi orang penting di negara ini!

 "Aku akan datang lagi!" seruku. Aku melambai pada Hengki dan nenek,
 sambil berusaha menahan haru.

 Ditemani Om Rojak, Om Joni, Om Tarjo, preman-preman baik hati itu, aku
 kembali menuju Rumah Cahaya Penjaringan. Mereka menatapku heran. Aku juga
 menatap mereka kagum.

 Preman pahlawan, aku tahu Allah akan menjaga sahabatku Hengki Rifai.
 Tapi tolong ya, aku titip juga calon orang penting ini pada kalian!

 (Abdurahman Faiz)


_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke