Sebagaimana saya kemukakan pada posting saya terdahulu di bawah ini saya
kopikan penjelasan MA Suryawan mengenai Kitab Tadzkirah yang saya kopi
dari sebuah milis yang patut didengar dan dipertimbangkan dengan baik.
Bagi yang tidak bisa menerima penjelasan tersebut, peganglah pendirian
tersebut, supaya tidak menjadi polemic baru lagi. Dan dengan ini saya
akhiri pembahsan saya mengenai Jemaah Ahmadiah di kedua milis ini.
Hanya kepada Allah SWT saja saya mohon keredhaan, petunjuk dan ampunan.
Wassalam, Bandaro Kayo
==================================================================
Soal Buku Tadzkirah
Assalamu'alaikum,
Saya lagi nonton Today's Dialog di Metro TV malam ini (18 Juli 2005), di
mana ada ketua MUI dan Ulil Abshar Abdalla (JIL), mereka bolak-balik
bicara tentang buku Tadzkirah yang dikatakan sebagai kitab suci bagi
orang Ahmadiyah oleh ketua MUI, padahal bukan.
Penjelasannya begini:
Masalah Pembajakan Al-Qur'an dan Kitab Tadzkirah
Tuduhan bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melakukan pembajakan Al-Qur'an
adalah sebuah tuduhan yang mengada-ada dan jelas tanpa bukti yang dapat
dipertanggung-jawabkan. Tuduhan itu didasarkan pada perkataan bahwa
orang Ahmadiyah mempunyai kitab suci sendiri yang bernama Tadzkirah.
Tidak diragukan lagi bagi Jemaat Ahmadiyah bahwa tidak ada kitab suci
lain kecuali Al-Qur'an. Dan nama Tadzkirah yang disebut-sebut sebagai
kitab suci baru muncul sekitar tahun 1992, ketika salah seorang penulis
buku yang terbit di Indonesia yaitu M. Amin Djamaluddin mengarang buku
berjudul Ahmadiyah & Pembajakan Al-Qur'an. Jadi, istilah kitab suci yang
melekat pada buku Tadzkirah diciptakan oleh M. Amin Djamaluddin, bukan
oleh Jemaat Ahmadiyah. Di dalam literatur-literatur Ahmadiyah apa pun,
sejak masa hidup Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. (1835-1908) sampai dengan
hari ini, tidak pernah ditemukan istilah kitab suci untuk Tadzkirah.
Demikian pula dengan Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. menyatakan bahwa kitab
sucinya adalah Al-Qur'an, sbb:
"Tidak ada kitab kami selain Qur'an Syarif. Dan tidak ada Rasul kami
kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu `alaihi wasallam. Dan tidak ada
agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa Nabi kita s.a.w.
adalah Khaatamul Anbiya', dan Qur'an Syarif adalah Khaatamul Kutub.
Jadi, janganlah menjadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan
hendaknya diingat, kami tidak mempunyai pendakwaan lain kecuali sebagai
khadim Islam. Dan siapa saja yang mempertautkan hal [yang bertentangan
dengan] itu pada kami, dia melakukan dusta atas kami. Kami mendapatkan
karunia berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim s.a.w. Dan kami
memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui Qur'an Karim. Jadi,
adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di dalam kalbunya apa pun
yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika tidak, dia akan
mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah Ta'ala. Jika kami bukan
khadim Islam, maka segala upaya kami akan sia-sia dan ditolak, serta
akan diperkarakan." (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4)
Sejarah Tadzkirah
Tadzkirah bukanlah kitab suci bagi Jemaat Ahmadiyah. Kitab suci
Ahmadiyah adalah Al-Qur'an Karim yang diturunkan kepada junjungannya
Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya, yaitu Nabi Besar Muhammad
s.a.w. Tadzkirah adalah sebuah buku yang berisi kumpulan wahyu-wahyu,
kasyaf-kasyaf serta mimpi-mimpi yang diterima oleh Hz. Mirza Ghulam
Ahmad dalam hidupnya selama lebih dari 30 tahun. Selama Hz. Mirza Ghulam
Ahmad hidup, tidak ada buku yang bernama Tadzkirah dalam lingkungan
Jemaat Ahmadiyah dan Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. tidak pernah menulis
buku yang berjudul Tadzkirah.
Buku Tadzkirah ini dibuat kemudian atas prakarsa Hz. Mirza Bashiruddin
Mahmud Ahmad r.a.. Pada sekitar tahun 1935, beliau menginstruksikan
kepada Nazarat Ta'lif wa Tashnif, sebuah biro penerangan dan penerbitan
Jemaat Ahmadiyah pada waktu itu untuk menghimpun wahyu-wahyu,
kasyaf-kasyaf serta mimpi-mimpi yang diterima Hz. Mirza Ghulam Ahmad
a.s. sebagaimana terdapat dalam berbagai macam terbitan (buku-buku,
jurnal-jurnal [selebaran, majalah] dan surat kabar-surat kabar) yang
mana materi terbitan itu telah disebarkan kepada umum pada saat itu.
Selain itu, dari catatan-catatan harian Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. juga
ditemukan keterangan mengenai pengalaman ruhani beliau. Dan juga adanya
kesaksian dari para Sahabat, anggota keluarga, kerabat dan lainnya, di
mana mereka diberitahu oleh Hz. Mirza Ghulam Ahmad mengenai wahyu,
kasyaf, mimpi yang beliau terima dari Allah Ta'ala.
Untuk maksud ini dibentuklah sebuah panitia yang terdiri dari Maulana
Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir dan Maulvi Abdul Rasyid. Panitia
tersebut menyusun buku Tadzkirah secara sistematis dan kronologis.
Setelah pekerjaan tersebut selesai, maka buku tersebut diberi nama
Tadzkirah. Nama Tadzkirah sendiri mempunyai arti kenangan atau
peringatan. Buku ini dicetak dalam jumlah yang terbatas. Di Indonesia
pun jumlahnya sangat terbatas dan hanya dimiliki oleh mereka yang
mengerti bahasa Urdu.
Isi Tadzkirah
Selanjutnya perlu untuk diketahui bahwa isi buku Tadzkirah ini terbagi
menjadi dua bagian:
(i) Tadzkirah (Mimpi-mimpi [dreams], kasyaf-kasyaf [visions] dan wahyu
dalam bentuk lisan [verbal revelations] yang diterima oleh Masih Mau'ud
a.s.), di mana materi ini telah diterbitkan dan disebarluaskan kepada
umum selama hidupnya Hz. Mirza Ghulam Ahmad.
(ii) Zameema Tadzkirah (Wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf dan mimpi-mimpi yang
tidak diterbitkan selama waktu hidupnya Masih Mau'ud a.s.). Materi ini
dikumpulkan dari kesaksian para Sahabat, Ummul Mukminin, anggota
keluarga, kerabat dan lainnya, di mana mereka diberitahu oleh Hz. Masih
Mau'ud a.s. mengenai wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf dan mimpi-mimpi yang
diterima oleh beliau.
Sekarang akan disampaikan sekelumit mengenai bagian dari Tadzkirah yang
diterbitkan kepada umum.
Dalam bagian ini, wahyu yang diterima oleh beliau, disusun oleh para
ulama Muslim Ahmadi secara kronologis sebagai berikut mulai dari:
(i) Periode masa remaja sampai dengan tahun 1870. Dalam periode ini,
wahyu yang diterima oleh beliau sebagian besar dalam bentuk mimpi,
beberapa dalam bentuk kasyaf dan sedikit dalam bentuk wahyu secara lisan;
(ii) Periode tahun 1870 sampai dengan tahun 1908. Dalam periode ini
sangat banyak wahyu yang diterima oleh beliau, baik dalam bentuk
wahyu secara lisan, kasyaf ataupun mimpi.
Dalam bagian ini kita juga dapat menemukan pengalaman-pengalaman ruhani
beliau, baik dalam bentuk mimpi maupun kasyaf, di mana sejak masa remaja
beliau telah melihat dan bertemu dengan junjungannya yaitu Hz. Sayyidina
Muhammad s.a.w., dan pertemuan ini tetap berlanjut pada masa-masa
berikutnya. Selain bertemu dengan Hz. Rasulullah s.a.w., beliau juga
bertemu dengan Hz. Isa a.s., Hz. Ali r.a., Hz. Fatimah Zahra r.a., Hz.
Hassan r.a., Hz. Hussein r.a., Hz.
Krishna a.s., Hz. Guru Baba Nanak r.h. , Hz. Syekh Abdul Qadir Jailani
r.h. dan lain-lain. Juga banyak pula perjumpaan beliau dengan Malaikat.
Dalam bahasa apakah wahyu yang diterima oleh Hz. Mirza Ghulam Ahmad?
Bagian terbesar adalah dalam bahasa Arab dan Urdu. Sebagian kecil dalam
bahasa Persia dan Inggris. Sedikit sekali dalam bahasa Yahudi, Hindi dan
Punjabi.
Ada beberapa wahyu yang beliau terima merupakan pengulangan dari
ayat-ayat Suci Al-Qur'an. Hal tersebut dimaksudkan sebagai penekanan
pada beberapa segi konotasi ayat-ayat tertentu dan penerapannya pada
situasi tertentu. Dan, adanya beberapa wahyu yang sama redaksinya dengan
ayat suci Al-Qur'an serta diulang-ulang, bukanlah pilihan dan
keinginan dari Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai penerima wahyu. Itu
adalah merupakan kehendak dari Allah Ta'ala semata sebagai Pemberi Wahyu.
Jadi, jika tuduhannya adalah membajak ayat-ayat suci Al-Qur'an adalah
tidak ada dasarnya sama sekali, sebab kita dapat temukan juga
`pembajakan' serta pengulangan-pengulangan ayat-ayat Al-Qur'an dalam
kehidupan sehari-hari.
Contohnya adalah pengutipan ayat-ayat Qur'an dalam ceramah-ceramah dan
juga dalam tulisan di berbagai macam buku. Orang-orang yang mengutip
ayat-ayat suci Al-Qur'an itu juga dapat dikatakan telah membajak kitab
suci Al-Qur'an dengan menurutkan tuduhan para penentang Ahmadiyah, sebab
mereka tidak meminta izin dari Pemilik Al-Qur'an yaitu Allah Ta'ala
untuk mengutip isi Al-Qur'an.
Bahkan dalam Al-Qur'an Karim dapat juga kita temukan kesamaan dengan
kitab-kitab suci terdahulu sebelum lahirnya Al-Qur'an. Kalau begitu
keadaannya, apakah kita punya keberanian untuk mengatakan bahwa Islam
telah mengacak-acak dan membajak isi dari kitab-kitab sebelumnya seperti
Taurat dan Injil karena ada beberapa ayat dalam Al-Qur'an Karim
merupakan pengulangan dari kedua kitab tersebut?
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku,…."
(61: 6)
"Dan (ingatlah) ketika Isa Putera Maryam berkata: "Hai Bani Israil,
…." (61: 7)
Apakah kita mau mengatakan bahwa, na'udzubillahii min dzalik, Rasululah
Muhammad s.a.w. telah membajak perkataan Nabi-Nabi sebelumnya? Banyak
juga kisah yang terdapat dalam Taurat juga ada di
dalam Al-Qur'an, apakah kita juga mau mengatakan bahwa Al-Qur'an telah
menyadur dan membajak isi Taurat?
Bahkan ahl-kitab (Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa banyak ayat-ayat
Al-Qur'an yang diambil dari Alkitab (Bible). Dengan kata lain, dapat
pula orang Islam dituduhkan telah membajak isi Alkitab mereka.
Apakah kita sanggup menerima tuduhan ini dengan lapang dada? Tentu tidak.
Layak untuk dicatat bahwa bukan hanya Hz. Mirza Ghulam Ahmad saja yang
menerima wahyu, ada beberapa orang waliullah setelah Nabi Muhammad
s.a.w. yang menerima wahyu, yang mana redaksinya juga merupakan
pengulangan dari ayat-ayat Al-Qur'an.
Sebagai contoh adalah Hz. Imam Muhyiddin Ibnu Arabi r.h., yang terkenal
dengan gelar Khaatamul Auliya, beliau menerima wahyu sebagaimana
terdapat dalam buku Futuuhatul Makiyyah, jld. 3, hlm. 367 yang
diterjemahkan sebagai berikut:
"Katakanlah, "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Yaqub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa
serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya." (2:136) .
Demikian pula dengan Hz. Khawaja Mir Dard r.h., seorang waliullah dari
Hindustan dalam bukunya Ilmul Kitab, hlm. 64 mengatakan bahwa ia telah
menerima wahyu yang diterjemahkan sebagai berikut:
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (26: 214)
"Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka, dan janganlah merasa
sempit terhadap apa yang mereka tipudayakan." (27:70)
"Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin orang-orang buta dari
kesesatan mereka." (27:81)
Dan masih banyak contoh wali-wali Islam lainnya yang telah dianugerahkan
wahyu dari Allah Ta'ala. Bahkan di antara orang awam pun banyak yang
mempunyai pengalaman mimpi mendapat ayat–ayat Qur'an, namun karena tidak
dipublikasikan maka orang lain tidak mendapatkan informasi yang memadai.
Jadi, dengan adanya wahyu yang berkesinambungan, semakin menunjukkan
sifat mutakallim-Nya. Sebab, Tuhan kita bukanlah Tuhan yang mengakhiri
hidupnya di atas tiang salib, sehingga tidak mampu berbicara lagi. Tuhan
kita adalah Tuhan Yang Maha Hidup, Yang Maha Berbicara, Yang Maha
Perkasa, dan itu kekal adanya.
Wahyu, kasyaf serta mimpi yang diterima oleh Hz. Mirza Ghulam Ahmad
merupakan manifestasi dari sifat mutakallim Allah Ta'ala, sebagaimana
kita meyakini dan mengimani sifat-sifat Allah Ta'ala yang lain itu kekal
adanya. Kalau dahulu Dia bercakap-cakap dengan hamba yang
dikehendaki-Nya, maka sampai akhir dunia ini pun Dia akan terus
bercakap-cakap dengan hamba-hamba pilihan-Nya. Dan, bentuk percakapan
Tuhan itu bisa dalam bentuk wahyu secara lisan, kasyaf serta mimpi. Dan
kepada siapa Tuhan menyampaikan wahyu (bercakap-cakap), hal itu adalah
menjadi hak prerogatif Tuhan semata – bukan urusan manusia.
Salam,
M. A. Suryawan
Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________