Berikut titipan dari Uni Rahima.

-- 
Ahmad Ridha bin Zainal Arifin bin Muhammad Hamim
(l. 1400 H/1980 M)


---------- Forwarded message ----------
From: Rahima <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Sep 26, 2006 1:51 PM
Subject: Bagaimana kedudukan harta warisan istri/suami dalam Islam?
To: Ahmad Ridha <[EMAIL PROTECTED]>


Silahkan dikirim dik Ridha ke RN


Assalamualaikum

Wa'alaikumslaamwarahmatullahiwabarakaatuhu.

Tampaknyo Uni Rahima ko masih alun paham satantang
adat Minang

Rahima:.

Jelas saya ngak faham, karena itu saya selalu
bertanya, saya melihat antara slogan dan realita
berbeda, itu yang selalu saya tanyakan.

Ben:

 ko
lai...tarutamo tantang harta pusako..saran ambo
tolonglah dipelajari
dulu elok elok dan baru dipelajari dan diadu jo
syarak..pelajari
dulu apo itu harta pusako asal muasalnyo..

Rahima:

Saya sudah diskusikan masalah ini dulunya, dan sudah
saya tanyakan asal usul harta pusako. Ada yang jawab
harta nenek-nenek dulunya. Dan saya jawab dengan
firman Allah: "Apa-apa saja yang ditinggalkan oleh
kedua ibu bapa, karib kerabat kamu, Allahlah yang
mengatur pembahagian harta tersebut".
Saya tanyakan kenapa di Minang justru harta jatuh
hanya pada garis keturunan ibu saja, bukankah nenek
kita dulu itu punya suami, ayah, ibu, nenek dan karib
kerabat juga?

Kemudian dijawab lagi, itu karena harta pusaka tinggi
yang merupakan amanah. Saya jawab, dalam Islam, amanah
juga punya aturan, tidak lebih dari sepertiga harta,
sementara di Minang keseluruhan harta pusaka itu jatuh
pada garis pihak keturunan ibu saja, bukankah ia punya
suami/ayah, dan karib kerabat lainnya?

Kemudian dijawab lagi.

Karena itu adalah tanah yang didapat oleh beberapa
suku, ini yang namanya tanah Ulayat. Saya jawab, kalau
tanah Ulayat dalam Islam itu namanya tanah serikat,
dan dibagi sesuai orang yang mendapatkannya. Bukan
tanah pusaka yang nenek-nenek itu. Yang saya maksudkan
adalah tanah nenek moyang itu, bukan tanah Ulayat.

Jadi ada beberapa macam tanah di Minang itu. Yang saya
fahami. Tanah ortu hasil pencaharian ortu. Katanya
sudah dibagi menurut warisan secara Islam.

Ada tanah Ulayat, yang dulunya didapatkan oleh
misalkan tiga orang suku, spt yang mendapatkannya suku
Sikumbang, suku Koto, suku Guchi, maka tanah itu
menjadi milik ketiga suku itu. Its okay-okay saja,
dalam Islam juga ada aturan dalam hal ini, jadi memang
yang berhak menetukannya adalah yang mendapatkannya.

Ketiga tanah peninggalan nenek (yang bukan tanah
ulayat). Ini yang saya pertanyakan, dan salah
pembagiannya menurut Islam, karena hanya jatuh pada
garis keturunan pihak padusi saja.

Oh yah, dulu sudah saya kemukakan kisah sahabat Umar
radhiallahu'anhu, beliau mendapatkan sebidang tanah
yang tak berpemilik, karena sahabat Umar tau disana
lokasinya ngak bagus, maka beliau ingin
memindahkannya, tidak ada cara lain, kecuali dengan
menjualnya, kemudian beliau bertanya pada Rasulullah,
apakah boleh dijual? Jawab Rasulullah boleh saja
dijual, asalkan diganti dengan yang lebih baik lagi,
atau setara dengan itu.

Dan Umarpun kala itu mempergunakan tanah  itu untuk
kepentingan kaum muslimin secara keseluruhan bukan
untuk kepentingan beliau saja, atau kepentingan suku
beliau saja, karena ia tau, itu tanah yang didapatnya
tanpa berpemilik, walaupun pada hakikatnya, tanah atau
harta dapatan, dalam jangka setahun bila tak ada yang
mengakui itu miliknya, maka yang mendapatkan berhak
menjadi pemiliknya, berhak ia gunakan , dijual, dan
diwariskan, asalkan memang kita sendiri yang
mendapatkannya. Tetapi Umar tidak egois, beliau telah
menjadikan harta yang tidak berpemilik dan ia
dapatkan, diberikannya kepada kepentingan kaum
muslimin secara keseluruhan.

Dalam Islam, bila satu orang mendapatkan harta berupa
tanah, sawah, atau apa sajalah namanya, maka bila
setahun tidak ada yang mengakui memilikinya (tapi kalau
ada yang mengakui itu harta miliknya dengan
sebenar-benarnya, maka yang mendapatkan berkewajiban
memulangkannya), kalau tidak ada yang mengakui, maka
harta itu penuh milik yang mendapatkannya, dan dalam
islam, harta itu harus dibagi kelak, bila ia meninggal
sesuai dengan pembagian warisan dalam Islam.Inilah
yang dikatakan dalam Islam, harta Luqthah (dapatan).

Bagaimana kalau yang menemukannya berserikat? Itulah
yang namanya tanah Ulayat, silahkan pembagiannya
berdasarkan orang yang berserikat itu juga.
Kalau jelaskan ketika mendapatkan tanah itu
orang-orangnya, maka pada hakikatnya bila yang
mendapatkan dari ketiga orang itu meninggal, harus
dibagi sesuai dengan hukum Islam. Yang jadi masalah
adalah yang mendapatkan itu dari tiga suku yang
jumlahnya banyak. Itu sudah jelas tanah milik bersama
ketiga suku tersebut, hasilnya merekalah yang
menikmati. Dan ini sah-sah saja dalam Islam, tanah
serikat namanya.Mau dijual atau tidak boleh dijual,
terserah pemiliknyalah. Tetapi dalam Islam, tanah apa
saja bisa dijual, asalkan bukan tanah wakaf.

Tanah wakaf adalah tanah pemberian seseorang dan
diucapkan oleh sang pemberi bahwa itu tanah wakaf dan
untuk kepentingan kaum muslimin atau bila ia berwakaf
hanya untuk kepentingan satu suku saja yang ia
kehendaki. Boleh-boleh saja.

Ben:

dan apo itu tambilang ameh
dan asal muasalnyo..kalau nio baraja elok japri sajo
Mak Datuak
Endang..anyo pasti labiah paham..

Rahima:

Ambo batanyo, apa itu tambilang ameh dan asal
muasalnya bagaimana? Silahkan jawab pertanyaan saya
ini. Ngak perlu dijapri, biar diumum saja, mana tau
yang lain juga bisa menambahkan, menjelaskan kepada
saya, dan ngak perlu saya tanyakan sama kanda Datuk
Endang, karena sanak Ben yang mengeluarkan statemen
ini pada saya. tetapi kalau dijawab oleh datuk Endang
silahkan saja. Tp siap-siap juga dengan berbagai
pertanyaan, atau argument saya yang saya pandang
menurut agama, ini termasuk harta yang bagaimana
menurut Islam?  Saya sampai titik akhir s suka jelas
mendapatkan duduk persoalannya bagaimana.

Saya tanyakan:"Apakah yang katanya 75 % harta (tanah)
yang di Minang itu tanah Ulayat? Tanah yang didapatkan
beberapa suku? Kenapa kenyataannya tidak. Salah satu
contoh kecil saja. Banyak satu keluarga yang
berselisih dalam masalah harta ini. Antara paman dan
kemenakan, anatar satu saudara dengan saudara lainnya.
Apakah sejujurnya tanah yang ada di Minang 75% itu
adalah tanah ulayat yang didapatkan oleh berbagai suku
dalam jumlah yang mendapatkannya banyak orangnya?

Setahu saya tidak, hanya sebahagaian saja. Yang banyak
itu justru tanah pusaka keluarga, yang katanya harta
peninggalan nenek mereka. Pembagian hanya kepada garis
keturunan pihak ibu saja yang menerima inilah yang
salah dalam Islam.

Siapa bilang harta yang dibagi sesuai dengan harta
warisan hanyalah harta dari penghasilan kedua belah
pihak suami istri ketika hidup bersama saja, yaitu
harta gono gini, sementara harta warisan dari kedua
belah pihak dari ortu atau saudara masing-masing tidak
dibagi menurut warisan secara Islam? Bpk Hamka?
Landasan syaraknya apa, apakah benar beliau mengatakan
hal tersebut, bagaimana ulama lainnya, kalau saya
pijakan saya cukup apa yang sudah jelas dari AlQuran
saja, (Dan bagi kamu setengah apa-apa yang
ditinggalkan oleh istri kamu, bila mereka tidak
memiliki anak lelaki…)

Kalaupun benar Hamka mengatakan hal tersebut, andaikan
beliau masih hidup akan saya tanyakan, landasan
syaraknya apa, kalau ada, sungguh, saya akan
menerimanya.Saya paling sulit menerima perkataan
seseorang, siapapun orang tersebut, orang besar
bagaimanapun ia, Presdien sekalipun beliau, kalau saya
sudah jelas melihat hukum itu ada dalam AlQuran dan
sunnah, dan tidak ada penjelasannya dari Assunnah,
atau Ijmak para ulama dalam penentuan suatu hukum.Saya
cukup berpatokan pada apa yang ada dalam AlQuan dan
hadist, kalau ngak ada qiyas, kalau ngak ada Ijmak
para ulama. Kalau ada dalam AlQuran, saya lihat ada
ngak pegkaitannya dalam Assunnah, dan bagaimana
kedudukan hadist itu, shahihkah, atau dha'ifkan?

Lagi-lagi menyalahi AlQuran namanya, sudah jelas
sekali ayat yang muhkamat itu, ngak perlu penafsiran
lagi, bahwa apa saja harta yang ditinggalkan oleh
istri /suami kamu, maka pembagiannya ditentukan oleh
agama. Ngak ada ayat Allah bilang, apa saja harta
pencaharian istri-istri kamu, dan bukan harta warisan
ibu bapa kerabat saudara istri kamu itu, maka
sekian-kian kamu mendapatkannya.

Tidak ada, baik AlQuran ataupun Hadist Rasulullah yang
mengkaitkan pembagian harta warisan semacam itu. Yang
ada hanyalah, apa saja harta yang ditinggalkan oleh
istri kamu,(apakah itu harta dari hasil
pencahariannya, atau harta dari warisan ortunya), maka
sang suami mendapatkan setengahnya, kalau punya anak
seperempatnya, bila sang istri meninggal dunia,
setelah diselesaikan bila ada wasiat istri dan
hutang-hutangnya.

Kalau ada pengkaitan dalam hadist bahwa yang dibagi
dari harta istri/suami hanyalah harta pencaharian
saja, ngak jadi masalah, ada qayyad dari hadist
Rasulullah namanya.Ini ngak ada sama sekali, kenapa
adat Minang, atau masyarakat Minang  harus
mengqayyadkannya. Bukankah ini namanya kita membuat
peraturan atau hukum diluar peraturan yang sudah
ditentukan oleh Allah Ta'ala? Tolonglah jawab
pertanyaan saya ini dengan argument dari AlQuran dan
Assunnah, mana tau, saya belum mendapatkan dalilnya?
Seperti yang saya katakan sampai titik akhir akan saya
pertanyakan terus, saya suka segala sesuatu itu jelas
dan benar-benar berlandasan hukum syariat. Saya tidak
akan menentang kalau saya lihat sesuai dengan syariat
percayalah itu.

Sekali lagi, kalau hanya berbeda, tetapi tidak
menyalahi hukum Allah bagi saya tak
mengapa.yah..seperti meminang padusi, ada sebahagian
di Pariaman katanya, kalau yang meminang adalah
padusi, sementara dalam Islam yang meminang adalah
lelaki. Berbeda bukan, walaupun landasan meminang
padusi itu bukan dari syarak namanya, tetapi bagi saya
hanya berbeda saja, tetapi bukan menyalahi agama, ngak
jadi masalah. Its, Ok.

Begitupun dengan nama kita memakai suku dari pihak
garis keturunan ibu. Contoh saya suku Sikumbang, kan
dari ibu saya, bukan dari ayah saya. Ngak jadi
masalah, karena ngak ada pula dalam Islam. Toh ada
khilafiyyah Fathimiyyah, Khilafiyah Abbasiyyah. Asal
jangan pula saya nasabkan nama saya dengan nama Rahima
binti Sikumbang, ia saya telah menyalahi AlQuran
namanya, jelas dalam AlQuran nasab dinisbahkan pada
ayah.Ini namanya sayakan Rahima Sikumbang binti
Sarmadi Yusuf. Benar kesukuan saya diambil dari garis
ibu. Ini masalah harta peninggalan ayah atau ibu,
saudara, nenek , kenapa harus jatuh pada garis
keturunan pihak ibu saja? Kemana pihak ayahnya,
dikemanakan suami, dikemanakan ayah kita? Dikemanakan
saudara lelaki kita? Tolong jawab ini.

Soal kemunduran Minang, saya ngak ada katakan
kemunduran Minang karena adat. Ngak pernah sama sekali
saya mengatakan hal ini, baik tersirat ataupun
tertulis. Kemunduran Minang setahu saya tergantung
dari pribadi Minang itu sendiri, mau berobah apa
kagak?, watak pancimeeh, iri, dengki, ngak bisa lihat
orang maju, buruak sangko, dan penyakit hati lainnya.
Bangga sajo nan ado dihati awak, bukan indak buliah
berbagga. Bangga tanda syukur atas segala hasil usaha
yang kita capat dengan ucapan rasa sykur pada Allah
tidak mengapa.

Soal freesex bukan di Minang saja penyebab kemunduran
suatu daerah atau negara, rata-rata di mana saja,
pengaruh Barat, dan lainnya. Kalau saja ia seseorang
kuat, pengaruh Barat itu akan kerkikis dengan
sendirinya. Ikan yang berada didalam laut yang asinpun
tidak terpengaruh menjadi ikan asin (kecuali dijadikan
ikan asin), hanya gara-gara pengaruh air asin yang
berada di sekelilingnya bukan, tetap saja rasa ikan itu
tawar, ngak asin. Itu karena pertahanan tubuh yang ada
dalam ikan itu cukup kuat menahan air laut yang asin
itu.

Nah pertahanan semacam ikan bagi masyarakat Minang itu
apa yang diperlukan. Itu dianya Iman yang kuat, dan
pegangan yang dipegang sesuai dengan apa yang disuruh
oleh Rasulullah shallalaahu'alaihi wasalllam. Dalam
sabda beliau: "Aku tinggalkan kepada kamu dua hal,
yang kamu tidak akan sesat selamanya, yaitu AlQuran
dan Assunnah".

Manusia tidak akan pernah sesat sepanjang patokan yang
dipegangnya adalah AlQuran dan Assunnah. Itu saja,
tanyakan saja pada diri kita masing-masing, apakah
pegangan dan pilihan kita sudah benar-benar pada kedua
hal diatas. Pengaruh mana sajapun yang datang tidak
akan berpengaruh sama sekali bagi mereka yang kuat
dengan teguh melaksanakan kedua ajaran tersebut.

Sekali lagi, kalau soal kemajuan di Minang, tergantung
kita mau maju dibidang apa, mau dibidang pendidikan,
silahkan tingkatkan pendidikannya,mau dibidang
ekonomi, silahkan tingkatkan ekonomi.jadi kemauan itu,
kalau begitu kondisinya, adalah bekerja
sendiri-sendiri, namun semuanya sama-sama bisa
bekerja. Namun, untuk menciptakan kerjasama, akan
sangat sulit, karena landasan, pondasi berpijak
keduanya berbeda.

Dan sekali lagi, bagi yang menyimpang ajaran agama,
Allah sudah katakan "Tidak ada seseorang menanggung
dosa orang lain", Yang di hukum hanyalah yang
menyimpang saja, Alllah ngak akan pernah mendzalimi
siapapun juga".

Ketika para Malaikat mencoba berdiskusi dengan Allah,
karena Allah akan menciptakan manusia sebagai khalifah
dimuka bumi ini, karena menurut sejarah dalam tafisr
ayat dikatakan bahwa sebelumnya Malaikat telah pernah
tau ada makhluk lain dimuka bumi ini. Seakan-akan
Malaikat sangat tau sekali kalau akan terjadi
pertumpahan darah dimuka bumi ini.

Kemudian apa jawab Allah "Sesungguhnya Aku lebih
mengetahui dari apa-apa yang tidak kamu ketahui". Kita
katakan, kami lebih mengetahui sebelum kamu melangkah,
Allah jawab, aku lebih mengetahui  apa yang tidak kamu
ketahui.Saya hanya bisa mengambil perkataan Allah
dalam soal ghaib, masa depan itu.

Allah sebutkan dalam sebuah hadist Qudsi: "Apabila
hamba mendekatiNya dengan jalan berlari, maka Allah
lebih lagi mendekati hamba itu dengan berlari"

Jadi hukum , perkataan Allah, jauh lebih tinggi dari
perkataan manusia, siapapun manusia itu.

Allah sudah firmankan dalam AlQuran sudah sangat jelas
sekali, apa saja harta yang ditinggalkan oleh istri
kamu, kamu mendapat setengahnya bila mereka tidak
punya anak…dst.."

Kenapa kita harus mengkaidkannya dengan pembagian
harta pusaka yang dibagi menurut ahli waris hanya
sebatas harta mata pencaharian kita semasa hidup saja,
bukan termasuk disana harta warisan dari ortu kita?
Bukankah ini sekali lagi menyalahi Firman Allah yang
sangat-sangat jelas, ngak ada dikaitkan oleh hadist
manapun. Mungkin di sinilah letak mengapa ada di Minang
harta jatuh pada garis keturunan pihak padusi saja.
Karena merasa harta warisan dari ibunya istri kita
itu. Jd sang suami ngak berhak mewarisinya. Jelas
salah sekali dalam Islam.


Demikian, mohon maaf.

Wassalamu'alaikum. Rahima.
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke