Dari http://www.hariansinggalang.co.id/isi_berita/Komentar/20okto_komen.php

Idul Fitri (Mungkin) Bertikai Lagi ,
Oleh: Khairul Jasmi

Saya ingin mengajukan sebuah pernyataan nakal. Kalaulah Muhamam­diyah, 
NU dan ormas Islam lainnya tidak ada, tentulah, umat Islam Indonesia 
akan merayakan Idul Fitri serentak pada hari yang sama. Tapi tidak. Di 
sini ada Muhammadiyah, ada NU, ada Perti, ada Tarbiyah, ada Satariyah, 
ada sejumlah ormas lainnya. Tiapnya punya umat.

Kemudian, kalaulah ormas-ormas itu dan pemerintah kompak, tentu 
serentak pula Lebaran kita. Bukan tidak ada orang Islam yang muak, 
karena di ?puncak selera' benar kita langsung berbeda. Apalagi, baru 
beberapa hari Ramadan, sudah ada ormas yang mengu­mumkan Hari Raya Idul 
Fitri jatuh tanggal sekian. Sabalah stek baanye. Seperti bertanding 
pula, begitu rakyat membaca, saling mendahului. Hisab dan ru'yah, mana 
yang benar? Nan bana Rasulul­lah , kata kakek saya.

Perbedaan hari Idul Fitri, kata para pemimpin ormas itu, adalah rahmat. 
Idul Fitri bertikai lagi, itulah rahmat (?) Perbedaan adalah keindahan. 
Alangkah indahnya perbedaan. Yang tidak indah justru, menghalangi 
perbedaan. Tapi, ada kalimat lain yang sehar­usnya juga diucapkan: 
Alangkah indahnya kebersamaan.

Saya dapat memahami alasan masing-masing pihak, hingga kemudian Idul 
Fitri dirayakan pada hari yang berbeda. Namun, para pemimpin ormas itu, 
yang dengan alasannya yang kuat itu, telah merenggut­kan kebahagiaan 
banyak orang. Menurut seorang ulama, cendikiawan yang saya, tanya, 
bisakah Idul Fitri serentak ?Bisa!? Katanya. Caranya? Ego masing-masing 
ormas jangan ditonjolkan. Jangan merasa dikucilkan. Selagi masih 
menegakkan ego, maka niscaya perbedaan akan tetap ada. Nah...

Menurut perkiraan saya, hampir 2/3 atau memang 2/3 penduduk Sumbar 
bukanlah Muhammadiyah, bukanlah NU, bukanlah Perti, Tar­biyah, bukan 
Satariyah. Mereka adalah orang-orang seperti saya, seperti anak saya, 
seperti saudara-saudara saya, teman-teman saya, seperti nenek-nenek 
saya, seperti orang kampung saya. Mereka menjalankan ibadah puasa 
dengan lurus, bekerja dengan baik, mengharap bisa merayakan Idul Fitri 
dengan riang gembira.

Banyak sekali di antara mereka yang tidak mengerti mengapa ulama-ulama 
hebat itu, hanya untuk Idul Fitri tak bisa kompak. Bagaima­na bisa 
menyontoh ulama seperti itu? Keras kepala masing-masing dipertontonkan 
kepada umat. Lalu umat dijinakkan dengan kata-kata: Perbedaan dalam 
Islam adalah rahmat!

Kalau untuk hari besar agama, hari raya saja mereka berbeda, apalagi 
untuk urusan lain? Tapi, bukan tidak pernah ada mereka kompak. 
Sama-sama beridul fitri pada hari yang sama.

Selalu dan selalu saja, Muhammadiyah, NU dan pemerintah mengumum­kan 
kepada rakyat yang berbeda. Padahal, jika dirunut jauh ke belakang, 
ajaran Islam hanyalah satu, yaitu ajaran yang dibawa Nabi Besar 
Muhammad SAW. Bahwa menetap[kan satu Syawal berbeda metode, 
bukanberarti hasilnya harus berbeda pula.

Secara pribadi dengan ilmu yang saya miliki, saya memahami perbe­daan 
hari Idul Fitri itu. Namun saya sedih, perasaan bahagia umat menjadi 
rusak. Berbulan-bulan bekerja, mencari uang, pulang dari rantau yang 
jauh. Anak-anak yang bergembira ria dengan baju barunya, para remaja 
kita, menemukan kenyataan di luar pikiran mereka. Kenapa untuk Natal 
orang Kristen tak pernah berbeda. Kenapa untuk hari besar Islam, orang 
Islam tak pernah bisa sama?

Padahal Idul Fitri bukan sekedar perayaan hari besar agama. Intinya 
memang hari besar agama. Tapi, Idul Fitri sudah membesar menjadi 
kebudayaan nasional. Ratusan juta orang mudik. Ratusan juta penduduk 
Indonesia membelanjakan uangnya. Jutaan perusahaan mengeluarkan THR. 
Setiap orang tua, termasuk ulama paling besar sekali pun membelikan 
anaknya baju baru, hanya untuk Lebaran.

?Idul Fitri bukan berarti berbaju baru, tapi kembali ke fitrah, jangan 
berlebihan menyabut Lebaran,? himbauan yang terdengar dari menara 
masjid. Tiap tahun himbauan itu terdengar. Tapi, rakyat membeli baju 
baru hanya sekali setahun. Dan itu, waktu Idul Fitri. Kita adalah 
pemeluk Islam keturunan, karena itu, agama dan tradisi, kebudayaan 
bahkan peradaban sering menyatu. Jadi, menur­ut saya, jangan 
dihimbau-himbau jugalah orang untuk tidak membeli baju baru menjelang 
Lebaran ini. Mereka tahu kok , Lebaran tak boleh berlebihan. Lagi pula, 
hidup marasai seperti sekarang, apa pula yang dilebih-lebihkan. Tapi 
kini pula saatnya mereka membeli baju baru. Tokh yang membeli baju baru 
itu, diutamakan untuk anak-anak, remaja dan para perantau. Yang punya 
uang bisa membeli baju baru kapan saja.

Saya merasa-rasa, hampir saja kita kehilangan makna akibat perbe­daan 
yang ?indah itu?.

Mudah-mudahan, pada Idul Fitri tahun ini kita rayakan tidak pada hari 
berbeda. Kawan saya berharap Gus Dur akan mengeluarkan pernyataan 
bernada anekdot, bahwa penetapan tanggal hari raya Idul Fitri merupakan 
hal mudah, sehingga tidak perlu ada perbe­daan. Menurut kawan saya itu, 
Gus Dur pasti akan memastikan, Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawal. 
(Silahkan juga baca Tajuk Rencana hari ini) (*)


--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Kirim email ke