Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------

Contoh elok yang harus kito tiru untuak bersinergi...

Keiretsu Jepang

Angsa Itu Mulai Beranak Elang

Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu
(corporate groups), memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh 
Amerika
Serikat. Namun ketika kekuatan ekonomi Jepang mulai membaik sekitar 
tahun
1960-an-1970-an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia bisnis Jepang kembali 
membuat
pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa sebelum perang. Namun
berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak 
samar-samar.

Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi 
dan
ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah
memeriksa berapa jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar 
Jepang
untuk menghasilkan sebuah produk. Bila penelitian ini pernah 
dilakukan,
tidak mustahil sejak awal mereka bisa mengetahui bahwa alih 
teknologi dari
Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar bahwa pemindahan
kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih 
hanyalah
sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutama 
sehubungan
dengan yendaka.

Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini
beroperasi, dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada 
di
industri otomotif dan elektronik, yang memiliki ratusan sampai 
ribuan mata
rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat bagaimana imposible-nya
negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut.

Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi
elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa 
satu
perusahaan saja untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi 
alih
teknologi. Tetapi harus membawa ratusan atau ribuan perusahaan yang
tersubordinasi atau yang menjadi pendukung perusahaan utama tersebut.

* * *
PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam
duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini 
baru satu
persoalan saja, yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk 
alih teknologi.

Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan 
atas
struktur organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan
subkontraktor utama. Di luar ini ada dua lagi perusahaan lain, tapi 
tidak
berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total perusahaan pada 
lapisan atas
berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah lagi oleh 
dua
perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan 
Toyota di
pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang 
dikonsentrasikan
pada truk.

Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat 
komponen.
Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association), yang
terdiri dari 183 perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota Prosperity
Association), yang terdiri dari 65 perusahaan. Totalnya 248 
perusahaan, ini
baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu Toyota.

Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa 
angkatan
perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari
ratusan perusahaan. Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada 
dalam
jaringan keiretsu Toyota, barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu.

Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun 
minimal
mendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran 
ini
masih ada pula jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan.

Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk 
membuat
kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang 
memerlukan tiga
atau empat perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas 
untuk
merakit hingga menjadi spion. Keempat perusahaan ini tak mungkin 
sendiri,
karena satu sama lain merupakan dari rangkain sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan 
khas dari
seluruh perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki 
rantai 160
perusahaan, yang masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai 
kecil
hingga yang paling kecil yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian juga 
dengan
Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti pola seperti itu.

Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut 
adalah, soal
terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa 
bulan lalu.
Akibat tidak mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar 
jaringannya, maka
perusahaan ini harus menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya 
Toyota
menderita kerugian milyaran yen, karena harus menunggu salah satu 
pensuplai
dari lingkungan sendiri memproduksi komponen rem yang diperlukan.

* * *
KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, 
jelas
terlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam 
kawanan
angsa menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. 
Ini belum
lagi jika faktor-faktor lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap
perusahaan-perusahaan Jepang yang ada kalanya, jelas-jelas 
menghalangi
negara berkembang untuk melangkah sendiri atau menyalahi garis yang 
ditetapkan.

Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA 
dari
Korsel pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan 
kekecewaan
KIA, karena Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. 
Masih dalam
konteks Korsel, dalam industri semi konduktor, sering kali dikatakan 
koran
bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.

Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh 
bahwa
akibat ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari 
penjualan
semi konduktor tersebut ternyata lebih besar dikantungi Jepang 
beberapa kali
lipat daripada Korsel-nya sendiri.

Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara 
mitra
Jepang di Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah 
tidak
mungkin bahwa industri yang ada di negara berkembang tersebut adalah
jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah, pertanyaan yang 
timbul
selanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta 
aturan atau
komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir
mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan 
industri
yang mandiri.

Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja 
baru,
barangkali kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi
lainnya hanya sekadar untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem 
industri
modern, walau hanya sepotong-sepotong.

Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui 
investasi
Jepang di Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk 
memaksa Jepang
melakukan alih teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian negara
berkembang itu sendiri menjalankan berbagai proses produksi dari 
awal hingga
akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya semua itu tak lebih 
hanyalah
tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang, dari ribuan 
tangan
yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.

Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif 
nasional,
sekali pun telah bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu
ditanggapi sebagai kekecewaan. Masalah itu sebenarnya sudah harus 
disadari
sejak awal, bahwa hal itu memang tidak mungkin pernah terjadi. Kita 
telah
kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena ketidakjelian 
lembaga
terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang 
tetap
berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.

Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, 
Indonesia
mungkin bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di 
belakang
dalam formasi huruf "V" terbalik itu. Melainkan harus berubah 
menjadi elang
yang tangguh. Namun untuk menjadi elang yang tangguh harus ada 
kepastian
hukum, permainan yang adil dan kompetitif, tidak membuang peluang, 
menjaga
kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan, serius, dan tidak
menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.

Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa 
bangsa ini
menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang
dipertaruhkan untuk menjadi elang itu sudah terlalu besar 
dikeluarkan. Kalau
semua pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat ini tak 
diimbangi
dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si induk angsa beserta
rangkainnya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut
menghantamnya. (Banu Astono/ Yusron Ihza)


Muhammad Syahreza
PT. NOK Indonesia
Plant Engineering Dept.
Telp. : 021-898 1041 Ext. 128/135
Fax. : 021-898 0764
e-mail : [EMAIL PROTECTED]

"voorprong van het achterlijkheid."
Orang bisa melompat maju tanpa perlu mengikuti irama pengalaman yang dialami
orang lain tapi dengan belajar meniru menggunakan kemajuan teknologi

Tahukah anda bahwa dunia sudah berubah? Tahukah anda negara lain sudah
berubah? Inginkah anda negara anda juga berubah? Sudahkah anda berubah?

Kita memang miskin sumber daya alam tapi bukan berarti miskin kreatifitas

Perubahan memerlukan upaya dan dimulai dari diri sendiri, dimulai dari hal
yang terkecil dan dimulai saat ini juga
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Kirim email ke