Uang dan Ilmu Bahagia
       "Sebagian arti hidup adalah untuk mengalami senang dan susah. Hidup yang 
terus menerus bahagia bukanlah hidup yang baik."
(George Loewenstein, Ekonom di Carnegie Mellon University),
     Satu hari, seorang rekan berseloroh, "Uang bukan segala-galanya, tetapi 
tanpa uang susah segala-galanya." Dalam ucapan yang mengundang senyum itu 
sesungguhnya terkandung falsafah atau kearifan hidup yang tidak saja mendalam, 
tetapi terasa aktual dan relevan. Terasa demikian barangkali justru karena kita 
menyaksikan perikehidupan masyarakat pada umumnya tak kunjung sejahtera, bahkan 
mungkin lebih buruk, sementara di pihak lain tidak sedikit pula pola hidup 
materialistis yang tampil menonjol, membuat uang seolah menjadi obsesi utama 
kehidupan.
     Lalu, ketika uang yang amat diburu itu bisa diraih, benarkah bahagia 
datang mengiringi? Jawaban sertamerta tentu tidak kalau uang tersebut diperoleh 
dari praktik ilegal, dan badan pemburu seperti KPK lalu memperkarakannya. 
Namun, bagaimana kalau uang yang diraih tersebut halal?
  Pertanyaan kuncinya: "Apakah dengan itu kebahagiaan akan serta merta datang?"
    Pertanyaan ini secara tradisional masuk dalam wilayah psikologi dan dari 
waktu ke waktu terus menjadi topik riset. Namun, setidaknya sejak tahun 2004 
telah muncul jawaban kuat bahwa "uang tak bisa membeli kebahagiaan" (Matthew 
Herper, Forbes, 21/9/2004).
    Ketika seseorang yang membutuhkan tiba-tiba mendapat uang, memang saraf 
sukacita di otak akan bereaksi senang. Namun, kesenangan seketika tadi bagi 
sebagian besar orang tidak lalu menjadi kesenangan jangka panjang. 
Survei-survei yang pernah dilakukan mendapati bahwa tingkat kebahagiaan 
orang-orang superkaya yang masuk dalam daftar peringkat Forbes 400 lebih kurang 
sama dengan suku penggembala Maasai di Afrika Timur. Pemenang lotre pun akan 
kembali ke tingkat kebahagiaan semula setelah lima tahun.
     "Hubungan antara uang dan kebahagiaan ternyata kecil saja," ujar Peter 
Ubel, seorang guru besar kedokteran di Universitas Michigan, seperti dikutip 
Forbes.
     Tentu itu tidak bermaksud mengatakan bahwa penambahan penghasilan tidak 
ada artinya sama sekali. Namun, ada survei yang hanya mencatat korelasi 1 
persen saja antara kekayaan dan kebahagiaan.
     Para psikolog pun terus menyelidiki mengapa kekayaan tidak membawa 
perasaan senang yang terusmenerus. Satu kali diamati, pemenang lotre yang lalu 
berhenti bekerja dan membeli rumah bak istana, tetapi di tempat sepi tanpa 
tetangga, justru kesepian dan rasa tertekan yang ia peroleh, bukan kebahagiaan.
     Di sisi lain muncul pertanyaan, jangan-jangan manusia terlalu berlebihan 
memersepsikan kebahagiaan? Apalagi kalau dikaitkan dengan apa yang dikemukakan 
Loewenstein yang diangkat sebagai kutipan di awal artikel ini?
     Di luar pertanyaan kritis di atas, ada satu poin penting menyangkut 
hubungan antara uang dan kebahagiaan. Menurut Ed Diener, peneliti di 
Universitas Illinois yang melakukan survei atas Forbes 400 dan suku Maasai, 
orang yang bahagia nantinya cenderung punya penghasilan lebih tinggi dalam 
hidup. Jadi, meskipun uang mungkin tidak membantu manusia jadi bahagia, orang 
bisa lebih mudah mendapatkan uang kalau bahagia.
     Ke ekonom dan politisi.
     Apabila penelitian di atas lebih terkait dengan pekerjaan psikolog, 
berikutnya para ekonom pun terpanggil untuk meneliti kaitan antara uang dan 
kebahagiaan. Ekonom pun kini menyadari bahwa uang tidak bisa membelikan 
kebahagiaan bagi seseorang. Dalam hal ini, ekonom, antara lain Andrew Oswald 
dari Universitas Warwick di Inggris, membandingkan data mengenai kekayaan, 
pendidikan, status perkawinan, dan hasil survei kebahagiaan.
     Hasil survei menyebutkan, jika satu negara bisa menjadi cukup 
kayasekalipun masih jauh apabila dibandingkan dengan ASmaka pertumbuhan ekonomi 
lebih jauh mungkin tidak akan membuat warganya lebih bahagia lagi (Tim Harford, 
Forbes, 14/2/2006).
     Itu sebabnya, Oswald dlalam satu kuliahnya berani mengatakan, "Sekali satu 
negara sudah bisa mengisi gudang pangannya, tidak ada poihnya negara tersebik 
jadi lebih kaya."
     Sekali lagi muncul penegasan, Seperti diungkapkan Will Wilkinson dari Cato 
Institute, Washington DC, bahwa "dalam setiap masyarakat, pada waktu kapan pun, 
orang lebiH kaya lebih bahagia". Namun, hal itu sendiri tidak bercerita banyak 
tentang hubungan antara uang dan kebahagiaan.
     Terakhir, Newsweek (7/5/2007) menurunkan laporan utama "In Search of 
Happiness". Di sana dikemukakan pertanyaan penting, "mengapa politisi dan 
bahkan CEO mengkaji ulang pemikiran bahwa uang adalah ukuran tertinggi 
(ultimate) sukses nasional".
     Pertanyaan di atas, seperti tertulis dalam laporan yang ditulis hana 
Foroqhar, seolah menggugat hukum penting ekonomi yang mengatakan bahwa 
"kesejahteraan (wellbeing) merupakan fungsi sederhana penghasilan". Artinya, 
makin tinggi penghasilan, makin bahagia, demikian pula sebaliknya.
     Kini, kebahagiaan tidak lagi dipandang sederhana dengan melihat "apa yang 
sudah kita punya, tetapi-misalnya sajaapakah kita punya lebih banyak 
dibandingkan dengan tetangga".
     Dengan berubahnya tafsir atas kebahagiaan, para pembuat kebijakan kini 
banyak menyelidiki apa sesungguhnya yang membuat rakyat bahagia dan bagaimana 
mereka bisa menghadirkan itu bagi rakyat.
     Kini, negara seperti Bhutan, Australia, China, Thailand, dan Inggris, 
telah memperkenalkan "Indeks Kebahagiaan" untuk digunakan bersama dengan produk 
domestik bruto (PDB) guna mengukur kemajuan satu masyarakat.
     Para peneliti kebahagiaan terkemuka dunia saat berkongres di Roma belum 
lama ini memperdebatkan apakah sukacita itu bisa diukur, momentum untuk 
melangkah ke "negara bahagia" (wellbeing state) tampaknya sudah tak terbendung 
lagi. Musim panas ini, sejumlah tokoh penting, mulai dari Perdana Menteri 
Turki, ekonom kepala di Bank Dunia, dan pimpinan Google, akan bertemu untuk 
membahas cara guna beralih dari PDB sebagai ukuran kemajuan manusia.
     Di era 1980-an, misalnya, slogan yang acap kita dengar adalah workaholic 
guna melukiskan bagaimana manusia demikian keranjingan kerja. Kini pun tema 
kompetisi banyak diangkat untuk memacu karyawan agar bekerja lebih keras lagi.
     Pada sisi lain, yang juga telah banyak berkembang di negara maju, kalangan 
pekerja dan eksekutif top justru mulai mengendurkan laju kehidupan. Mereka 
mengatakan rela mendapat penghasilan lebih sedikit asal bisa menikmati hidup 
lebih nyaman, bisa punya waktu lebih banyak untuk berkumpul dengan keluarga, 
dan mengerjakan hal yang menyenangkan hati.
     Buku-buku bertema How to Simplify Your Life atau How to Live A Simple Life 
karangan Elaine St James sempat menjadi bacaan yang menggugah. Namun, sekali 
lagi, tarik menarik pastilah terus berlangsung antara hidup sederhana yang 
nyaman versus hidup dalam kelimpahan materi yang memberi kebebasan luar biasa.
     Sumber : Kompas

Salam,


Yusuf
Alumni CKC Majene


  
       
---------------------------------
Need a vacation? Get great deals to amazing places on Yahoo! Travel. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke