Artikel ini sedikit memberi gambaran tentang salah satu persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Yaitu hancurnya sistem tata nilai yang dimiliki oleh masyarakat (kesukuan atau komunitas) sebagai akibat sistem yang tidak menghormati model yang berkembang dari masyarakat itu sendiri. Kehancuran seperti dijelaskan dalam artikel ini juga terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Semoga artikel ini sedikit memberi penjelasan pada kita semua.

Adri Amiruddin
[EMAIL PROTECTED]

:                           MENELAAH  PERANG  AMBON 1999
:
:                              by : Semmy Littik
:                   Dosen Fakultas Perikanan UNPATTI, AMbon
:
: Seperti kita sudah ketahui, perang saudara baru saja usai di AMbon dan
: beberapa kota di Maluku.  Bagi kalangan formal, perang tersebut dinamakan
: kerusuhan.  Padahal dalam kenyataannya, telah terjadi penyembelihan dan
: pembakaran ratusan manusia, pembakaran ratusan rumah, penghancuran gedung-
: gedung ibadah, pemboman, penembakan terhadap manusia, pembakaran
: membabi-buta terhadap sarana transportasi umum, pengungsian, katakutan
: massa, trauma dan
: lain-lain akibat sebagaimana layaknya sebuah perang. Belum lagi dicatat
: dampak perang itu terhadap pengangguran, wabah penyakit, pemborosan
: anggaran pembangunan, eksodus besar-besaran dan sebagainya.  Ribuan
: keluarga kehilangan ayah, ibu, kakak, adik, bayi.  Sebagian kalangan
: bahkan menilai perang Ambon 1999 hanya selangkah di bawah perang Bosnia.
: Walikotamadya Ambon, Drs. Chris Tanasale, menyebut chaos tersebut persis
: seperti perang dunia kedua.  Memang benar, di berbagai sudut kota dan
: perkampungan atau dusun yang hancur, puing-puing bangunan dan benda-benda
: yang terbakar berserakan sedemikian rupa seperti baru saja terjadi pemboman.
: Sampah mulai bertumpuk di pinggiran jalan dan taman-taman kota dan pinggiran
: pantai Mardika tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk melepas lelah
: seperti sedia kala.  Penyakit tifus mulai menyerang anak-anak.
:
: Sungguh ironis, tragis dan mengerikan, mengingat julukan MANISE yang selama
: ini melekat pada kota Ambon.  Kedamaian dan keindahan kota Ambon terasa
: lenyap begitu saja, seolah kota ini telah menjadi kota hantu.  Kalangan
: formal (terutama pihak Pemerintah Daerah dan ABRI) telah menyatakan bahwa
: kota ini sudah aman.  Sementara pihak awam, terutama para pengguna jasa
: transportasi umum dan bahkan sebagian besar pegawai negeri, pelajar dan
: mahasiswa, masih was-was dan takut serta trauma dengan perang yang berlangsung
: hampir seminggu itu.  Masyarakat masih takut keluar rumah setelah jam 18:00
: malam, walaupun tidak ada pemberlakuan jam malam.  Mereka tidak percaya
: ada jaminan keamanan terhadap jiwa mereka seiring dengan datangnya kegelapan
: malam.  Siang hari pun, masyarakat memilih menghindari wilayah kota yang
: sepi.  Hanya sedikit toko yang berani buka, walau pada siang hari. Itupun
: hanya sebuah pintu yang setengah terbuka untuk dilewati satu orang saja.
: Kantor-kantor dan sekolah-sekolah belum berjalan normal.  Barak-barak
: pengungsian masih penuh pengungsi yang enggan pulang ke desa-desa mereka.
: Sementara itu belum ada satupun orang yang diajukan ke pengadilan dalam
: kaitan dengan perang Ambon 1999 itu. Memang tidak mungkin menghilangkan
: trauma dan puing-puing akibat perang itu hanya dalam tempo 2 minggu
: pasca-perang.
:
:                         -----***********-----
:
: Seiring dengan usaha pemulihan kehidupan kota, merebak pula berbagai diskusi
: dan telaah terhadap sebab musabab dan jalan keluar untuk menghindari timbul-
: nya perang serupa di masa depan.  Nampaknya banyak pihak ingin menjadikan
: pertumpahan darah dan kerusakan yang begitu hebat dan dahsyat di kota AMbon
: itu sebagai catatan sejarah kelabu yang pertama dan terakhir, alfa dan omega.
: Tentu harapan baik tersebut tidak begitu saja dapat terwujud apabila akar
: pemicu dan iklim pendukung timbulnya perang saudara itu tidak dicari, dikaji
: dan dimusnahkan secara sistematis, logis dan adil.  Ibarat api dalam sekam,
: faktor-faktor apapun yang sengaja disembunyikan di balik peristiwa ini,
: akan kembali membakar dan menghanguskan kota Ambon, cepat atau lambat,
: khususnya dalam suasana politik, ekonomi dan sosial budaya nasional yang
: hingar-bingar dan amburadul seperti saat ini.
:
: Sebagai sumbangan pemikiran bagi pulihnya kondisi Ambon, bahkan Maluku,
: pasca-perang AMbon 1999, maka berikut ini penulis sampaikan pendapat
: yang penulis sampaikan pada pertemuan antara tim Komisi HAM Nasional
: Indonesia (Bapak ALbert Hasibuan, SH dan Bapak Benjamin Mangkudilaga, SH)
: dengan civitas akademika Unpatti di AMbon tanggal 1 Februari 1999 yang lalu.
:
: Pertama, telah terjadi salah kaprah dalam menilai akar penyebab perang
: antar suku dan agama di Ambon.  Begitu perang itu pecah tanggal 19 Januari
: 1999, para birokrat dan pemuka agama di level nasional dan daerah serta
: sebagian masyarakat Maluku, mempertanyakan efektifitas nilai pela dan gandong.
: Banyak pihak hanyut dan latah (ikut-ikutan) menyuarakan hal itu.  Namun
: tidak ada suara yang mempertanyakan keberadaan SISTEM ADAT yang di dalamnya
: nilai-nilai pela dan gandong itu berada.  Sistem adat tersebut sebenarnya
: sudah dirusak secara sistematis selama pemerintahan Orde Baru yang memakai
: aspek legalitas hukum sebagai alat perusak.  Hal ini jelas terlihat dengan
: penyeragaman institusi-institusi pemerintahan desa di seluruh Indonesia.
: Sistem adat di Maluku Tengah, misalnya, tidak mengenal desa, lurah, LKMD,
: LMD, PKK, Babinsa, dan sebagainya.  Di sini, sistem dan nilai-nilai adat
: terpelihara ratusan tahun melalui negeri, bapa raja, saniri negeri, jojaro-
: mangari, kewang, marinyo, dan lain-lain.  Upaya penyeragaman institusional
: dan struktural oleh pemerintahan Orba telah menghapus secara sengaja nilai-
: nilai adat di Maluku, termasuk pela dan gandong yang disebut-sebut sebagai
: kebanggaan masyarakat Maluku itu.  Karenanya, mempertanyakan efektifitas
: nilai pela dan gandong tanpa mempertanyakan sistem adat itu sendiri sama
: artinya dengan mempertanyakan efektifitas potongan tangan yang sudah
: diamputasi dari tubuh manusia.
:
: Kedua, kelatahan dan kesalah-kaprahan dalam menempatkan pela dan gandong
: sebagai barometer kerukunan antar suku dan agama dalam konteks perang
: Ambon 1999 dapat pula dilihat dari kenyataan bahwa yang berperang adalah
: suku Ambon (secara umum) dengan suku Bugis, Buton dan Makassar (BBM),
: walaupun yang menjadi sasaran utama adalah suku Bugis sebab pemicu pertama
: perang ini adalah tindakan seorang preman yang kebetulan dari suku Bugis.
: Sejauh ini, belum ada ikatan pela dan gandong antara suku Ambon dan BBM itu.
: Oleh sebab itu, penempatan nilai pela dan gandong dalam konteks ini sama
: saja dengan memanipulasi dan memperkosa nilai adat pela dan gandong itu
: sendiri.  Mungkin saja setelah perang ini usai dan tuntas diselesaikan
: secara adil akan ada prakarsa untuk mengikat suku-suku yang bertikai dalam
: suatu pela. Walahualam!
:
: Ketiga, ikatan pela dan gandong itu sifatnya eksklusif, dalam arti terjadi
: antara desa-desa tertentu, bukan berlaku umum untuk seluruh desa di Maluku.
: Artinya, jika masyarakat desa A yang beragama Islam dan desa B yang beragama
: Kristen terikat secara pela atau gandong, maka keduanya
: tidak akan saling menyerang dan akan saling melindungi dalam perang.  Namun
: tidak ada masalah pela atau gandong kalau desa A berperang dengan desa C,
: walaupun masyarakat desa C memeluk agama yang sama dengan masyarakat di desa
: B. Itulah sebabnya, serangan masyarakat Muslim dari desa-desa dari sebelah
: timur jazirah Leihitu ke masyarakat Kristen di desa-desa lainnya, tidak relevan
: jika dikaitkan dengan pela dan gandong sebab desa-desa tersebut tidak terikat
: secara pela maupun gandong.  Serangan itu seharusnya dilihat sebagai kejahatan
: perang yang harus dihukum dengan berat sebab telah menghilangkan nyawa orang-
: orang yang tidak bersalah tanpa ada pernyataan bermusuhan sebelum serangan itu.
:
: Keempat, perlu disingkapkan secara transparan dan faktual tentang kemungkinan
: terlibatnya oknum-oknum ABRI dan PNS sebagai dalang dan provokator perang
: Ambon 1999.  Laporan para pengungsi (yang perlu di-cek dan rechek)
: menyebutkan  adanya keterlibatan oknum ABRI; sedangkan leluasanya para
: penyerang dari jazirah Leihitu berjalan dari Hitu yang memiliki Koramil dan
: Polsek serta melewati dua markas TNI-AD di Waiheru masih menimbulkan tanda
: tanya besar di kalangan masyarakat di Ambon.  Demi keadilan dan kemanusian,
: serta demi menjaga martabat prajurit dan perwira ABRI yang sudah bersusah
: payah mengatasi perang tersebut, maka selayaknya permintaan ini ditanggapi
: secara ksatria oleh pihak pimpinan ABRI dengan segera melakukan pemeriksaan
: kepada komandan-komandan yang ada
: di instalasi-instalasi militer dan kepolisian tersebut.
:
: Kelima, secara global perlu dicermati upaya pengadudombaan antara suku Bugis
: dengan suku-suku lain di Indonesia timur sebab setelah naiknya Habibie ke
: pucuk pimpinan negara dan pengangkatan (nepotisme) orang-orang Bugis pada
: jabatan-jabatan strategis nasional, telah timbul penganiayaan dan eksodus
: orang-orang Bugis dari Timtim, NTT dan terakhir Maluku.  Hal ini mengherankan
: sebab sejak dulu orang-orang Bugis sudah hidup berdampingan dengan masyarakat
: di Maluku.  Bahkan pada jaman pendudukan Jepang, pelaut-pelaut Bugis merupakan
: satu-satunya sarana penyampai berita antar pulau sebab mereka memiliki perahu-
: perahu yang aktif membeli hasil-hasil laut dan rempah-rempah dari Maluku.
: Di Jawa, orang-orang Indonesia timur, termasuk di dalamnya orang-orang Bugis,
: Maluku, Irian, Timor, dan Sulawesi lainnya dikenal sebagai 'orang2 seberang'.
: Mengapa setelah Soeharto (yang orang Jawa itu) lengser keprabon baru terjadi
: perang di antara 'orang-orang seberang' di Indonesia timur?  Siapa sebenarnya
: yang berkepentingan melemahkan ikatan persaudaraan antara orang-orang
: Bugis dengan suku-suku lainnya di Indonesia bagian timur?  Suatu teori kon-
: spirasi yang menarik untuk dicermati secara hati-hati oleh kita semua di
: Indonesia timur.  Semoga teori ini tidak benar adanya.
:
:                         -----***--------
:
: Setelah menguraikan poin-poin di atas, penulis telah mengusulkan solusi
: sebagai masukan bagi Komnas HAM RI, yakni :
:
: 1. Agar pemerintah segera menghapus dan mencabut semua aturan hukum yang
: selama ini telah melecehkan dan menghancurkan sistem-sistem adat di Indonesia
: pada umumnya, dan Maluku pada khususnya.  Bersamaan dengan itu, segera
: dibuat perangkat hukum yang mengakui dan melindungi sistem adat di
: Indonesia.  Perlu disadari bahwa sistem adat bukan cuma menyangkut keabsahan
: wilayah, kekayaan alam, institusi dan ritual-ritual serta hukum adat suatu
: suku bangsa.  Secara hakiki, sistem adat menyangkut HARGA DIRI setiap suku
: bangsa di Indonesia.  Penghancuran sistem adat suatu suku sama artinya
: dengan pelecahan harga diri suku tersebut.  Karenany, pembantaian yang
: terjadi selama perang AMbon 1999 dapat dijadikan pelajaran supaya jangan
: sampai terulang lagi ada suku bangsa yang membunuh hanya untuk menegaskan
: eksistensi dan harga dirinya.
:
: 2. Secara ekstrim, jika pemerintah pusat tidak mampu lagi mengatasi kondisi
: chaos dan pembunuhan antar manusia di daerah-daerah, maka Maluku harus memi-
: sahkan diri dari Negara Kesatuan RI.  Daerah ini memiliki SDM dan SDA serta
: nilai-nilai kemanusiaan yang bermutu tinggi sehingga tidak pada tempatnya
: daerah ini dijadikan ajang permainan politik kotor yang biadab dengan mengadu
: manusia, seperti mengadu binatang.  Apalah artinya negara kesatuan yang di
: dalamnya masyarakat Maluku dan suku-suku lainnya yang tidak berdosa dijadikan
: 'ayam sabungan' dengan dalih ada provokator dan ketegangan SARA.  Sekiranya
: usulan Maluku merdeka itu dirasa ekstrim dan mengada-ada, maka sebaiknya
: segera diselesaikan dan diberlakukan UU yang mengatur otonomi daerah yang
: seluas-luasnya bagi semua propinsi di Indonesia.  Dengan otonomi itu, akan
: dapat dijamin masa depan orang-orang Maluku yang bebas dari cengkeraman
: birokrasi pusat yang selama ini hanya bertindak sebagai penghisap kekayaan
: dan keringat orang-orang daerah, termasuk masyarakat Maluku.  Hal ini sudah
: terbukti dengan larinya pejabat-pejabat Pemda dan Kakanwil-Kakanwil tertentu
: ketika meletus perang Ambon 1999.  Mereka tanpa rasa ragu menikmati fasilitas
: kesejahteraan hidup di Maluku pada saat damai, dan lari tunggang langgang
: tanpa malu dan berdosa ketika rakyat Maluku berada dalam kepedihan hati dan
: kubangan air mata.  Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa mereka.
:
:                                 ----***----
:
: Walaupun telaah ini bukanlah suatu telaah ilmiah yang ketat menurut kaidah-
: kaidah ilmu antropologi, hukum, politik dan budaya, namun sebagai warga
: masyarakat di Maluku, penulis ingin menyumbangkan pikiran-pikiran di atas
: sebagai titik-titik air di tengah samudera pendapat yang sedang berkembang
: di kalangan masyarakat.  Bagaimanapun, sebuah samudera tidak pernah ada
: tanpa titik-titik air yang menyusunnya.  Semoga Tuhan Yang Maha Pengampun
: dan Adil selalu mengasihi dan memberkati kita sebagai manusia dan bangsa
: yang beradab
: dan beradat.
:

Kirim email ke