Kenapa ya, wanita selalu jadi korban, mulai dari para wanita di Aceh,
wanita keturunan Chinese, wanita Timor, wanita Papua dan wanita-wanita
lain yang menjadi korban kekerasan aparat keamanan.
Apakah para rekan-rekan tentara, atau abang-abang perwira tidak bisa
melihat "Pantulan Cermin" seorang wanita adalah pantulan cermin IBUNDANYA
sendiri? Apakah sampai segitu TEGA-nya hanya karena NAFSU BINATANG JALANG
yang merasuki jiwa para penjaga keamanan (yang seharusnya menjaga rasa
aman) sehingga melihat kelemahan, muka-muka ketakutan, dan tubuh-tubuh
yang tidak bisa membela diri, timbulah perasaan ingin MENGGAGAHI dan
MENJALANGI para makhluk-mahkluk lemah yang seharusnya dilindungi ini.
Sebegitu teganya hingga berani MENIDURI ibundanya sendiri....

Sudah sebegitu bejatnya MENTAL dan MORAL para kesatria-kesatria ini?
Kasihan Bangsaku....

Tolong Baca bahan dibawah ini:

Diambil dari:
http://www.indo-news.com/98/9912/Monday/1210979.shtml

********************************************************************
Senin, 22 Maret 1999

 Kekerasan Seks oleh ABRI Diungkap

 Dalam Seminar Hak Asasi di Washington

 Washington, JP.-

 Berbagai pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang
 masih terjadi di Indonesia diungkap oleh Ketua Tim Relawan
 Kalyanamitra Ita F. Nadia ketika berbicara dalam ceramah dan diskusi
 yang
 diselenggarakan INFHRI (International Forum for Human Rights in
 Indonesia), Sabtu siang (Ahad pagi WIB).

 Wartawan Jawa Pos di Washington DC Ramadhan Pohan
 melaporkan, selain Ketua Tim Relawan Kalyanamitra itu, acara
 yang digelar di Corcoran Hall The George Washington University
 ini dihadiri pengamat ekonomi politik Drs Christianto Wibisono. Di
 depan sekitar 40 peserta yang menghadiri ceramah, Ita F. Nadia dan
 Christianto menganalisis perkembangan terakhir politik Indonesia.

 Para peserta yang kebanyakan kalangan mahasiswa
 dan komunitas etnis Cina-Indonesia mendapat gambaran yang lebih
 nyata dan faktual aneka kemelut politik, sosial, dan ekonomi di
 tanah air belakangan ini. Apa lagi Ita Nadia, yang tergabung bersama
 Kelompok Romo Sandyawan ini, mempunyai pengalaman empiris
 sendiri, yakni terjun langsung memberikan bantuan moral, makanan, dan
 obat-obatan kepada para korban di Ambon, Aceh, dan
 daerah-daerah lainnya.

 Ita mengungkap praktik-praktik kekerasan dan
 pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan para aparat ABRI
 di beberapa wilayah. Pemerkosaan seolah-olah sudah menjadi
 alat penekan dari aparat dan berkesan digunakan secara
 sistematis, kata Ita.

 Ia mengaku pilu atas perlakuan tidak manusiawi
 itu. Pemerkosaan digunakan dalam konflik bersenjata sebagai
 senjata teror, terutama untuk menaklukkan sebuah bangsa atau etnis,
 kata Ita yang banyak mengambil contoh kasus kekerasan seksual yang
 terjadi di Timtim, Aceh, Jakarta, dan Irian Jaya.

 Yang lebih menyedihkan lagi, kata Ita, kaum
 wanita kita harus menghadapi ketidakadilan itu dalam kehidupan
 sehari-hari, bahkan dalam masa damai sekalipun.

 Selama ceramah berlangsung, ada sebuah kotak
 karton yang diedarkan. Para peserta ceramah memasukkan
 lembaran uang dolar ke kotak itu.

 Kotak dana ini disediakan bagi yang ingin
 menyumbang para korban, yang akan disumbangkan melalui Mbak Ita
 Nadia,
 kata panitia, salah seorang mahasiswa Tionghoa.

 Dalam waktu singkat, terkumpul sekitar USD 650
 yang langsung diserahkan kepada Ita. Uang ini akan berarti
 sekali bagi saudara kita di tanah air dan akan kita salurkan kepada
 para
 korban pengungsi dan masyarakat kita yang saat ini tengah
 membutuhkannya di berbagai daerah di Indonesia, kata Ita.

 Sejak tiba di Washington Jumat kemarin, Ita telah
 melakukan pertemuan dengan anggota Kongres Nancy Peloci di Capitol
 Hill. Selain itu, Ita bertemu dengan seorang Deputi Direktur Kemlu AS
 Susan Sutton di kantor Kemlu.

 Apa yang dilakukan Tim Relawan ini dalam
 pertemuannya dengan pejabat pemerintah dan anggota Kongres AS itu?

 Lobi. Kita menginginkan penggunaan kekerasan
 yang masih berlangsung di Indonesia agar diakhiri, kata
 Ita kepada Jawa Pos.

 Menurut pengakuan Ita, seruan Tim Relawan ini
 ditanggapi positif.

 Susan Sutton dikenal sebagai sosok yang sangat
 memberikan perhatian kepada persoalan demokrasi. Pejabat Kemlu AS ini
 berpandangan bahwa HAM merupakan bagian di dalam demokrasi.

 Hingga pemerintahan Habibie sekarang ternyata
 kekerasan dan pelanggaran HAM masih belum bisa dihentikan,
 kata Ita.

Kirim email ke