Kang Jaya:

>Hehehe.... iya deh minta maaf. Sebetulnya sejak semalam
>mau kirim email masalah penyogok dan yang disogok. Kebetulan
>postingnya Bung YW agak pas. Berhubung mata masih susah
>dibuka ya hajar bleh aja...

Yw: Dimaapin, Eh, nggak perlu maap-maapan sih sebenernya, sama temen.
    Namanya juga diskusi. Soal sogok-sogokan ini memang bisa asik
    juga. Eh, tapi ini maksudnya sogok-sogokan, lho, dan sama
    sekali bukan sogok-sogokan... Eh, gimana, ya? Maksudnya
    gitu, deh. Tahu kan?

>Jadi gini, selama ini yang selalu kita salahkan adalah orang yang
>terima sogok, suap, semir dan lain sebagainya. Padahal ini kan
>kerjaan dua pihak ya.... jadi ada yang terima dan yg ngasih.
>Mungkin untuk kasus money politics agak susah berhubung
>yang terima sogok jumlahnya banyak. Tetapi pada intinya ini
>adalah kasus suap dalam skala kecil. Besar-kecilnya skala tidak
>penting, yang lebih penting ini adalah keduanya mestinya dapat
>digolongkan tindak suap.

Yw: Ya, secara etik/moral memang bener. Sayangnya aturan
    di kita (dan penegakannya terutama), mengandung kelemahan.
    Mana yg boleh, mana yg tidak aja (secara hukum),
    masih kalang kabut... Dan ini bukan cuma di kita,
    di negara-negara maju (semuanya?) juga ada 'greyarea'
    dalam hal itu.

>Untuk kasus Ghalib, dia adalah pihak penerima (dg asumsi emang
>benar disuap), sedangkan Prayogo yang menyuap. Bisa saja paryogo
>ngaku diperas, atau apa lah... Yang namanya ngeles kan bisa saja
>alasannya. Cuma kalau di sini kan yang menyuap dan yang disuap
>hukumannya sama. Mestinya di masa depan, pelaksanaan hukuman
>di Indonesia juga mesti demikian.

Yw: Jaman jahiliyah (jaman KKN, if you like), rasanya justru
    'nyuap' (in big cases) is the only way to survive...
    Justru (seringnya) yg nggak nyuap yg dapet hukuman
    (nggak dapet kontrak, dipersulit ini itu, etc). Sekarang
    (harusnya) improving... and I think, it really is
    (improving) (soon).

    Kalo bicara jaman jahiliyah... ya, namanya juga jahiliyah... ;-)

>Ini cerita temen nih, barusan di Albany
>sini baik penyuap dan penerima suap dihukum 5 tahun penjara untuk
>suapan $10,000 (Cuman 80 juta relatif thd 9 milyar). Di Indonesia,
>selama ini yang menerima suap saja yang dikejar-kejar. Yang menyuap
>dapat dengan mudah berlenggang kangkung.

Yw: Because they (yg nyuap) just followed the rule of the game.
    Menurut saya siapapun yg memerintah berikutnya (even Golkar)
    akan merubah the rule of the gamenya (kecuali kalo nggak mau
    selamet).

>Habis itu kalau diperiksa ngakunya karena tidak dapat menolak permintaan,
>kalo makin dipepet ngakunya diperas, makin dipepet bilangnya diancam....
>Enak amat ngeles-nya.....

Yw: Bisa sebetulnya dilaporkan (dg bukti-bukti), si X is trying
    to bribe dst. kayak di LN, dan selanjutnya yg (berusaha) nyuap
    (berdasarkan hukum) harus ditindak; tapi ya, (jaman jahiliyah)
    pelapor kayak gitu sering diketawain... Jadi nggak ada yg lapor.
    Dalam hal dua-duanya ketangkep becek (or basah, if you like),...
    sering (dg mudah) terbukti bahwa yg nyuap itu bukan 'nyuap' tapi
    'memberi hadiah' (kepada instansi, bukan kepada oknum)!
    (Dua hal bertanda kutip itu sekarang tipis banget bedanya).

    Berdasarkan hukum, memberi hadiah itu boleh (eh, bener enggak?),
    misalnya: berupa diskon, etc. Namanya orang dagang, masak ngasih
    diskon nggak boleh... Nah, aturannya: diskon ini harus disetor
    balik ke kas negara. If that is the case (tersetor ke kas negara),
    clear...

    Masalahnya sekarang (eh, maksudnya dulu): diskon itu sering
    dicingcai-cingcai. Justru pegawai jujur yg nyetor ke kas negara,
    dan bukan ke his/her big boss, malah sering dapet hukuman
    (sulit naek pangkat, etc).

    Sumber masalahnya: tidak transparan. 'Rakyat' nggak tahu
    ada diskon, etc. Kenapa ini terjadi... yah, long story, lah.
    Kalo mau dibikin lebih jelas (antara hadiah dan suap), harus
    dipaksa: yg ngasih hadiah itu harus mengumumkan secara publik
    (kalo mau selamet), (otherwise dia kena cincang hukum suap).

>Cuma kita tidak konsisten ya... Pada saat kita berbicara pejabat yang
>terima suap, kita sibuk dengan yg NERIMA DOANG, pada saat kita bicara
>money politics, kita sibuk dengan yg NGASIH DOANG. Seperti yang saya
>bilang memang yg terakhir ini sulit untuk ngejar yang nerima, apa lagi
>cuman Rp10-25 ribu. Tapi untuk kasus pertama kan lain. Rupanya kita
>masih jauh dari sikap adil.... jauuuuh sekali.....

Yw: Dalam kasus pejabat, masalahnya: duit hadiah (halal), yg harusnya
    dikirim ke kas negara, dibikin kendurian sendiri. Jadi dia yg
    salah, yg ngasih (sementara ini, sesuai aturan yg ada), nggak salah.
    Kenapa aturannya gitu? Ada yg nyetel (you know who, lah).

    Dalam hal money politics, menerimanya itu halal (wong nggak nyuri).
    Sementara ngasihnya itu (melalui serangan fajar menyingsing,
    whatever) itu yg salah, jadi itu yg diurus. Ini tidak masuk
    kategori menerima suap (bagi yg menerima), soalnya mereka tidak
    dalam posisi memegang jabatan/komitmen apa-apa. Banyak orang (mungkin
    saya juga termasuk, kalo ada yg ngasih gede-gedean; kalo perlu dari
    dua sumber atau lebih ;-) terus terang malah nunggu serangan fajar,...
    lalu tetep aja milih sesuai 'hati nurani' (whatever that means)
    (atau tidak memilih sama sekali). Habis kalo dibilang yg terima
    money politics itu salah, salahnya dimana? (secara moral, secara
    agama, secara hukum, atau secara apapun).

    Anyway, serangan yg ditunggu-tunggu itu nggak ada. ;-)

    Jadi kalo bicara keadilan, yg melanggar hukum, kena hukuman,
    yg tidak melanggar, ya sudah (tadi 'dibina' utk tdk melanggar
    hukum, dan tdk membuka peluang orang lain utk melanggar hukum).

...

Kirim email ke