Saudara-saudara Permias,
 
Masalah Timtim dari dulu sampai dilaksanakannya jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 memiliki dua dimensi, dimensi act of self determination dan dimensi pelanggaran HAM.
 
Masalah act of self determination terjadi karena PBB dan dunia internasional tidak mengakui integrasi Timtim kedalam Indonesia. Oleh karena itu, apapun dalih Indonesia, mulai dari ancaman komunisme sampai kepada diturunkannya "pasukan sukarelawan" dsb, dunia tidak mau menerimanya. Rakyat Timtim harus diberikan kebebasan untuk menentukan status kedaulatan negara itu.
 
Dilain pihak, masalah pelanggaran HAM terus berlangsung selama 23 tahun integrasi Timtim kedalam Indonesia. Pelanggaran HAM ini sebenarnya juga terjadi di beberapa propinsi lain, namun tidak mengemuka di dunia internasional karena tidak dibarengi dengan dimensi self determination itu. 
 
Sebenarnya banyak negara di dunia yang rela "menutup mata" terhadap masalah act of self determination itu dan mengakui Timtim secara de facto sebagai bagian dari Indonesia, karena pertimbangan strategis maupun karena Timtim memang tidak "feasible" menjadi negara yg merdeka. Namun karena masalah pelanggaran HAM tidak selesai juga, bahkan sebaliknya semakin marak seiring dengan ramainya irama KKN yang terjadi di seluruh Indonesia, maka negara-negara itupun menjadi "kapok" mendukung Indonesia terus-terusan. Keadaan itu tentu saja dibarengi dengan semakin maraknya isu HAM dan Demokrasi dikumandangkan di dunia barat setelah perang dingin selesai. Alasan strategis seperti membendung pengaruh komunisme di Asia Tenggara dsb menjadi tidak relevan lagi setelah kondisi dunia internasional berubah.
 
Bagaimana nasib Timtim sekarang dan masa depan?
 
Masalah act of self determination sebenarnya sudah selesai dengan terlaksananya jajak pendapat tanggal 30 Agustus yang lalu dengan hasil mayoritas rakyat Timtim ingin merdeka. Indonesia harus menghormati keputusan itu, karena memang itulah yang diinginkan oleh rakyat Timtim. Bahwa terdapat tuduhan kecurangan yg dilakukan oleh UNAMET dalam membela pro-kemerdekaan memang tidak dapat disangkal atau diabaikan begitu saja. Namun demikian, hal itu hendaknya tidak mengubah sikap Indonesia untuk menghormati hasil jajak pendapat itu.
 
Sekarang bagaimana dengan masalah HAM?
 
Banyak pihak di dunia yg menginginkan persoalan HAM di Timtim dibongkar lebar-lebar demi keadilan. Hal itu dapat dipahami dan wajar-wajar saja, karena persoalannya memang jelas. Namun kita harus menyadari konsekwensi dari dilaksanakannya hal itu.
 
Konsekwensi pertama, pihak-pihak yg sangat bernapsu "menyeret" Indonesia ke pengadilan internasional tidak segan-segan mengeluarkan cerita-cerita yg luar biasa seramnya tanpa bukti sama sekali. Hal ini jelas suatu rekayasa untuk menghalalkan segala cara demi "menghukum" oknum-oknum tertentu di Indonesia. Akibatnya sangat jelas, yaitu walaupun berbagai narasumber dan berita menjelaskan bahwa tidak ada bukti pembunuhan massal, namun Indonesia terus saja dikecam dan dicaci-maki oleh dunia internasional berdasarkan pemberitaan yang ngawur itu. On top of that, Indonesia diancam dari segala penjuru oleh sanksi ekonomi, perdagangan yg akibatnya tentu saja semakin menghancurkan citra bangsa kita, not to mention implikasi thd semakin terpuruknya ekonomi dan business confidence kpd RI. Terhadap hal ini, kita sebagai bangsa Indonesia tentu saja tidak dapat menerimanya.
 
Kedua, upaya menyeret oknum-oknum itu tidak akan menyelesaikan rekonsiliasi diantara masyarakat Timtim sendiri. Pengadilan itu hanya akan menghakimi mereka yang pro-integrasi, padahal dalam suatu "perang saudara" pelanggaran tentu saja dilakukan kedua pihak. Akibatnya, pihak yang merasa dirugikan oleh proses itu akan terus berusaha mati-matian untuk membuat kondisi sosial dan politik disana kacau. Apabila hal ini terus berlangsung dapat dibayangkan bahwa rekonsiliasi rakyat Timtim yg diperlukan sebagai prakondisi perdamaian di wilayah itu tidak akan terjadi. Oleh karena itu prioritas utama dunia internasional hendaknya bukan menghakimi suatu kelompok di Timtim, namun justru membantu rekonsiliasi rakyat Timtim sesegera mungkin.
 
Untuk menjalankan fungsi itu, dunia internasional harus menghentikan keberpihakan kepada salah satu kelompok yg hanya akan menjadikan masalah tambah runyam. Untuk Indonesia misalnya, kita dapat menyarankan kepada mereka yang pro-integrasi untuk meletakkan senjata dan membentuk parpol dalam konteks persiapan pemerintahan Timtim merdeka. Silakan mereka menyalurkan keinginan untuk tetap menjadi bagian Indonesia dalam konteks percaturan politik dalam negeri Timtim. Indonesia harus berhenti campur-tangan dalam masalah ini, karena pada saatnya nanti sudah menjadi urusan negara lain, Timtim merdeka. Sedangkan untuk PBB, mereka harus berhenti memihak kepada pro-independen dan berusaha mengundang kelompok pro-integrasi dalam proses perundingan perdamaian selanjutnya. Konsep "The winner takes all" tidak dapat diterapkan karena pasti hanya akan mengobarkan kembali perang saudara diantara dua kelompok yang sudah memiliki dendam kesumat tujuh turunan itu.
 
Pelanggar HAM orang Indonesia
 
Bagaimana nasibnya dengan para pelanggar HAM dari Indonesia. Disinilah proses penyelidikan HAM oleh Komnas HAM, peradilan HAM yg baru dan tentu saja, last but not least, goodwill Pemerintah RI yg baru diharapkan dapat menyelidiki, mengadili dan menghukum mereka yang terbukti bersalah. Hal ini adalah persoalan Indonesia karena melibatkan orang Indonesia di wilayah jurisdiksi hukum Indonesia (ingat terjadinya pada saat Timtim belum merdeka). Kalau ternyata kita belum juga dapat menyelesaikan masalah ini, maka jangan heran kalau tekanan dan kecaman internasional akan tetap besar. Lebih dari itu, kekecewaan dari propinsi-propinsi seperti Aceh, Irian Jaya dan sebagainya diperkirakan akan semakin menumpuk. Jika ini yang terjadi...jangan salahkan siapapun.
 
Salam
Mahendra
 

Kirim email ke