Republika
Online edisi: 20 Oct 1999
|
|
KH Abdurrahman Wahid
Kemungkinan dukungan suara dari anggota
fraksi:FPDI-P, FPG, FPPP, FPKB, F-Reformasi, FPDU, FPDKB, FUG
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, 4 Agustus 1940.
Ayahnya, KH Wahid Hasyim adalah anak pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
Hasyim Asy'ari. Ibunya, Hj Sholehah juga merupakan keturunan tokoh
besar NU, KH Bisri Sansuri. Ketika kecil, Gus Dur -- demikian ia
biasa dipanggil -- sempat bercita-cita menjadi anggota ABRI.
Namun, keinginannya itu kandas di tengah jalan karena sejak
berusia 14 tahun ia sudah harus memakai kacamata minus.
Menyelesaikan SD di Jakarta, Gus Dur melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama di Yogyakarta
hingga lulus pada tahun 1957. Selepas itu, Gus Dur memasuki dunia
pendidikan agama secara intensif. Mula-mula ia menimba ilmu agama
selama sekitar dua tahun di Pesantren Tegalrejo (Magelang) di
bawah bimbingan Kiai Chudori. Selanjutnya di Pesantren Tambak
Beras (Jombang), Gus Dur bekerja sambil meneruskan pendidikan di
pesantren sebagai santri senior. Bagi Gus Dur, kehidupan pesantren
tentu saja bukan hal yang baru. Sewaktu kecil, ia sudah diajar
mengaji dan membaca Alquran oleh kakeknya di Pesantren Tebuireng
(Jombang).
Salah satu kesenangan Gus Dur yang terus 'diidapnya'
hingga sekarang adalah mendengarkan musik klasik Barat. Kebiasaan
ini berawal sejak usia SD dari pengalamannya mengikuti les privat
bahasa Belanda. Untuk menambah pelajaran bahasa Belanda, gurunya
kerap memutarkan lagu-lagu klasik Barat.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat menuju Mekah
untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk melanjutkan studinya
di Universitas Al-Azhar di Kairo. Selama di sana ia tinggal
bersama para pelajar asal Indonesia dan sempat menjadi Sekretaris
Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir. Saat di luar negeri itu
jugalah Gus Dur melangsungkan 'pernikahan jarak jauh' dengan Siti
Nuriah. Pasangan ini kemudian dikaruniai empat orang putri: Alissa
Munawarah, Arifah, Chayatunnufus, dan Inayah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, pada
tahun 1966 Gus Dur pindah ke Baghdad, Irak. Di sana ia masuk
Department of Religion di Universitas Baghdad dengan mengambil
spesialisasi ilmu sastra dan humaniora. Dari Baghdad, Gus Dur
meneruskan pengembaraan akademisnya ke sejumlah negara Eropa, dari
satu universitas ke universitas lainnya. Terakhir, ia tinggal di
Belanda selama sekitar enam bulan, dan sempat mendirikan
Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia.
Sekembalinya di Tanah Air, pada tahun 1971 Gus Dur
bergabung dengan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari.
Di universitas kota kelahirannya itu, Gus Dur mengajar teologi dan
beberapa ilmu agama. Selanjutnya sejak tahun 1974 ia dipercaya
sebagai sekretaris pesantren Tebuireng. Berbarengan dengan itu,
nama Gus Dur mulai dikenal orang melalui tulisannya di berbagai
surat kabar, majalah, dan jurnal.
Kiprahnya di dunia politik dimulai sekitar awal
1980-an, ketika ia mulai banyak bersinggungan dan secara terbuka
menawarkan ide-ide tentang pluralisme, demokrasi, HAM, dan
lain-lain. Tindakan politiknya semakin kentara sejak ia terpilih
menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo -- justru
ketika NU ditetapkan kembali pada khittah 1926, yang
berarti NU menarik diri dari dunia politik praktis. Hal ini bisa
terjadi karena memang dengan khittah itulah hubungan NU
dengan pemerintah Orde Baru yang semula tegang menjadi cair.
Melalui peran Gus Dur pula NU menjadi ormas Islam pertama yang
menerima pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kemudian hubungan Gus
Dur dengan pemerintah kembali merenggang karena sikap kritisnya
terhadap pemerintahan Soeharto, posisinya sebagai Ketua Umum PBNU
tetap dapat dipertahankannya selama dua kali muktamar
berturut-turut, yaitu pada tahun 1989 dan 1994.
Oleh sebagian orang, gagasan-gagasan dan tindakan Gus
Dur kerap dipandang sebagai ide kontroversial dan mengejutkan, tak
jarang pula melawan arus. Sekali waktu, Gus Dur menggagas untuk
mengganti salam assalamu'alaikum dengan selamat pagi
-- gagasan yang kontan mendatangkan sergahan dari umat Islam. Pada
lain waktu, Gus Dur mengejutkan banyak orang melalui kunjungannya
ke Israel pada tahun 1994, justru ketika masyarakat banyak
menyoroti kelicikan negeri tersebut terhadap nasib rakyat
Palestina. Bahkan, sepulangnya dari sana Gus Dur menyarankan agar
pemerintah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Belakangan,
Gus Dur seolah memantapkan gelarnya sebagai tokoh kontroversial
ketika ia justru beberapa kali menyambangi Soeharto setelah
penguasa Orde Baru itu lengser. Kontroversi lainnya, ia
dicalonkan sebagai presiden bukan oleh PKB yang dideklarasikannya,
tapi justru oleh beberapa partai Poros Tengah. n
|