Mas.... coba tolong dibaca lagi, kali ini jangan pakai emosi, tenangkan
pikiran dan hati...:)). Yang didiskusiin disini ada bahasa daerah, itu
perbedaan yang menurut saya harus di hapuskan, atau setidak2nya di kurangi
peranannya di kehidupan sehari-hari. Sebaiknya bahasa daerah itu hanya
dibatasi untuk upacara2 atau acara2 daerah saja.

Sekali lagi: bahasa daerah menghambat persatuan Indonesia, dengan alasan2 yang
sudah saya kasih tau di e-mail sebelumnya.   

Saya dan, saya yakin mas Juni juga, tidak ada keinginan untuk menyamakan suku
bangsa, apalagi memaksakan budaya/adat istiadat suatu suku ke tempat lain.
Kita sadar bahwa adat istiadat daerah adalah merupakan heritage kita, yang
tidak mungkin (dan kita juga tidak mau) di hapuskan begitu saja. 
    Niat saya untuk menyadarkan semua orang bahwa WALAUPUN... kita berbeda
tapi kita punya sesuatu yang sama. Dan sesuatu yang sama itu harus kita
besarkan didalam hati kita. Suku itu lebih kecil daripada negara, sudah
sepantasnya bahasa negara ditempatkan di atas bahasa suku, simple khan???.
      
Perbedaan, pada level tertentu itu sangat bagus, tapi lewat dari itu adalah
RACUN dalam tubuh kita. Itu yang sudah terjadi di tubuh orang2 Indonesia.
Generalisasi dan asumsi2 yang mas Juni sebutkan diemail sebelumnya, adalah
indikasi bahwa masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat yang rasialis. 
 
 Sebenarnya pikiran anda itu berada di right track, bedanya perbedaan yang
anda bicarakan itu adalah perbedaan dalam skala normal, yang mas Juni dan saya
bicarakan adalah perbedaan SARA, dimana menurut saya bahasa daerah itu adalah
bibit dari adanya SARA di Indonesia. Lihat case2 di Indonesia, orang madura
dan dayak, saling membunuh, ambon, dll. Bisa gitu anda bicara: "Oleh karena
perbedaan itu memang ada, marilah kita buka wacana federalisme untuk
indonesia"...
   Selama kita masih berpegang teguh terhadap kesukuan kita sendiri, tidak
sadar, kalau kita berada dibawah 1 payung: Indonesia, dimana bahasa yang harus
kita junjung tinggi adalah bahasa Indonesia, ide negara Federasi yang anda
idam2kan itu, adalah isapan jempol belaka. Dengan masih tingginya semangat
sukuisme di Indonesia, bukan negara federasi yang kita dapat, tapi negara2
kecil yang akan bersaing satu sama lainnya, yang nantinya akan menuju ke
perpecahan dan peperangan.

Ichal




Muhammad Nahar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Saya cuma punya perasaan saja, kalau semua yang diceritakan itu (perpecahan
de-es-be) adalah akibat kita semua takut berbeda. Being different is natural.
Look around you, tidak ada sesuatupun yang sama bukan? Jadi kalau demikian,
adalah menentang alam namanya kalau ada usaha-usaha untuk menyamakan segala
sesuatu di muka bumi ini.

Lihat apa yang sudah diperbuat Suharto dengan menganggap semua suku di
Indonesia dapat menerima budaya jawa, dia telah menyalakan api dalam gunungan
sekam Indonesia.

Tidak ada salahnya kita berbeda, karena dengan berbeda itulah kita menunjukkan
identiti kita? Toh, tidak ada kewajiban bagi kita untuk sederajat semuanya.
Silahkan anda jadi orang Kristen, silahkan jadi orang Islam, silahkan jadi
orang Jawa, silahkan jadi orang Irian, silahkan menganggap diri lebih pintar,
silahkan anda masuk ke golongan orang elit, silahkan anda tinggal di tepi
kali. Tapi jangan coba-coba anda memaksa saya menerima bahwa anda lebih hebat
dari saya. Cukuplah kita masing-masing menganggap diri kita yang paling baik
tanpa harus memaksa orang lain mengakuinya.

Oleh karena perbedaan itu memang ada, marilah kita buka wacana federalime
untuk indonesia. (Bukan salah saya kalau anda jadi bingung kok nyambungnya ke
mari. Ini semua salah anda karena tidak bisa mengerti, tak iye :) )


~~~~~~~~~~~
Disclaimer:
"Spelling should be pensioned off...
It terrorises human beings from birth."
(Gabriel Garcia Marquez)


On Sun, 5 Dec 1999 11:30:06    Rizal Az wrote:
>   mba' Juni, terima kasih sekali atas dukungannya...:). dan terima kasih
pula
>sudah memperjelas duduk perkara dan asal-usul timbulnya persoalan ini. Ma'af
>mba' e-mail sifat bukan menjawab, tapi lebih ke asal -usul mengapa saya
>menulis ini 'in the first place". Mungkin relevan mungkin tidak, boleh
dibaca,
>boleh tidak...:)).
>
>   Alasan pertama saya menulis seperti itu adalah saya dilahirkan dari orang
>tua yang punya perbedaan suku (1 Jawa, 1 Sunda). Walaupun, sama2 dari jawa,
>kakak saya bisa "anti-jawa", dia maunya dibilang "Sunda", ngomong Sunda mau,
>ngomong Jawa engga' mau. Walaupun tidak berat sifatnya, tapi perpecahan ini
>terjadi di dalam core dari society itu sendiri, yaitu: kelurga. Saya yakin,
>seyakin yakinnya bahwa situasi seperti ini banyak dialami oleh orang2 yang
>mempunyai orang tua beda suku.
>   Alasan yang kedua, saya tidak bisa bahasa daerah, dan tidak mau belajar
>bahasa daerah (karena alasan pertama tersebut). Sekarang di tempat saya
>tinggal, beberapa dari teman2 saya berbahasa daerah. Walaupun mereka semua
>adalah teman2 baik saya, dan saya sangat menghormati mereka dan begitu juga
>sebaliknya. Di saat mereka ngomong bahasa daerah, di saat itu juga, mereka
>secara tidak langsung membuat saya merasa "tersingkir". Perasaan seperti
>lama-kelamaan akan dapat berubah menjadi kebencian. Sekali lagi ini yang
>mengakibatkan perpecahan di dalam bangsa Indonesia sendiri.
>   Alasan saya yang ketiga, menyangkutkan ras/suku dengan geografis, ini
juga
>salah satu sumber utama perpecahan bangsa kita. Tidak hanya dengan melayu,
>tapi juga dengan orang cina, mereka sendiri terpecah2, cina jawa, terlebih
>cina2 yang berasal, mulai dari daerah Jawa Tengah terus ke Timur, mereka
lebih
>suka ngumpul sama cina jawa (karena bisa ngomong jawa, lebih halus, dan
lebih
>sesuai dengan perasaan mereka), cina jakarta (merasa anak metropolitan)
>ngumpul sama cina jakarta (ngomong tionghoa, kiblat: HongKong), mereka
sendiri
>merasa kurang senang dengan cina medan, yang menurut mereka perusak nama
cina
>di Indonesia, akibatnya, cina medan ngumpul sendiri. Tidak ada seorang yang
>menyadari hal2 tersebut karena masing2 punya 1 common enemy, yang melayu
>terhadap cina, yang cina terhadap melayu-nya. Populasi cina yang menjadi
>minoritas di Indonesia, membuat mereka terlihat lebih bersatu kebanding
>saudara2 melayunya. Ini yang membuat perasaan "anti-cina" atau
"anti-melayu",
>tapi apakah ini bisa disalahkan? jelas tidak, karena perasaan tersebut tidak
>dimulai dari perasaan anti ras, tapi sifatnya lebih ke kedaerahan. Di agama
>pun juga begitu, munculnya gereja jawa, gereja batak, gereja daerah2
lainnya.
>Secara langsung, maupun tidak langsung, mengkontribusi ke perasaan sukuisme
>yang tinggi, dan menyebabkan perpecahan bangsa.
>
>   Kemampuan kita, untuk merubah udara menjadi bermacam2 suara dengan vocal
>cord kita, adalah pemberian Tuhan yang sangat berharga kepada kita. Ini
adalah
>salah satu step awal di evolusi manusia, yang membedakan manusia dengan
>binatang. Bahasa ini pulalah yang telah mengantarkan manusia keluar dari
gua2,
>dan memulai peradaban.
>  Berdasarkan ini saya melihat bahwa bahwa bahasa adalah pengikat suatu
bangsa
>atau community, dan itu yang harus kita semua sadari.Bahwa bahasa Indonesia,
>adalah bahasa nasional, bahasa pengikat seluruh warganegara Indonesia. Sudah
>menjadi kewajiban kita semua untuk menjunjung tinggi bahasa nasional kita.
>Seperti orang2 Islam, Yahudi atau Hindu yang menjunjung tinggi dan memilih
>bahasa arab, Hebrew, atau Sansekerta (respectively) sebagai bahasa kitabnya.
>Kita harus dapat mengusahakan supaya bahasa daerah hanya dipakai untuk
>upacara2 kedaerahan.
>Usaha yang saya upayakan disini adalah menyadarkan sebanyak mungkin manusia
>Indonesia, bahwa bahasa Indonesia itu bukan bahasa kedua, bahasa alternatif,
>bahasa terjemahan, untuk orang2 yang tidak mengerti bahasa daerah.
>   Atas dasar paham ini, saya berkesimpulan bahwa, bahasa daerah  maupun
>bahasa asal itu sangat buruk pengaruhnya untuk menjaga keutuhan bangsa.
>
>Telepas dari semua BS yang saya uraikan diatas...:)). 1 yang tetap mejadi
>pertanyaan saya: Mungkinkah memisahkan budaya daerah/asal dari bahasa
>daerah/asal?. Melihat perkembangan agama yang ada di Indonesia, saya kira
>mungkin. Seandainya kita dapat memisahkan bahasa kitab dengan bahasa
sehari2,
>bukanlah tidak mungkin membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari2, dan
>bahasa daerah sebagai bahasa Tradisional. Mungkin dengan mengshuffle staff
>guru dari satu daerah ke daerah yang lain (ini saangggaaat berat...:)), atau
>menghilangkan pelajaran bahasa daerah, di instansi2 sekolah di daerah2 +
>menanamkan kesadaran yang tinggi terhadap guna dan makna memakai bahasa
>Indonesia, kita dapat mengembalikan persatuan Indonesia, tanpa
>menghapus/menghilangkan kebudayaan daerah, atau hormat kita terhadap
>adat/istiadat nenek moyang kita.
>
>Ichal
>
>
>E R Juni <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>kalau mau mendukung boleh nggak ? :-)
>
>menurut saya ini seperti buah simalakama, yang mau tidak mau harus pilih
>salah satu (karena cara yang salah tentunya) padahal bisa kita 'makan'
>dua2nya kalau mau berpikir sedikit...
>
>1. konsep yang didapat dari orang tua adalah : pertahankan adat, junjung
>tinggi asal daerah dan nenek moyang masing2... (mulia)
>
>2. menyingkirkan segala perbedaan, bersatu sebagai bangsa indonesia yang
>tak perduli bahwa kita berbeda, bhinneka tunggal ika, maju tak gentar
>menghadapi dunia... (mulia juga)
>
>tapi karena bangsa indonesia bangsa yang luhur budi dan menjunjung tinggi
>nenek moyang, tapi dengan mental yang terjajah, implementasinya adalah :
>
>1. primordialisme, rasa kesukuan yang tinggi, diskriminasi (baik S, A, R
>maupun A) yang gila2an, pelaksanaan pesta adat yang berlebihan (boros
>materi, buang2 uang, ini terutama pesta pernikahan), menghindari pernikahan
>antar suku/ras, dan lain2..
>
>2. dihindari, karena bisa mengganggu nomor 1, akibatnya indonesia sulit
>maju, 200 juta lebih penduduk yang saya yakin minimal 5 % adalah bibit
>unggul (itu aja udah berapa tuh, tidak usahlah kita bicara pembodohan
>nasional 54 tahun...heheh..), jadi tidak pernah matang karena selalu
>ditekan oleh 'kewajiban' nomor 1 di atas, yang nggak berani ditentang cuma
>karena nggak ngerti prinsipnya *sebenarnya* apa. dan ketidakmengertian ini
>sudah berlangsung sekian generasi, jadi memang butuh 'pemberontak' untuk
>membongkarnya...
>
>miskin kreatifitas, jadi teruskan saja apa yang selama ini dilakukan orang
>tua kita, upacara sana dan upacara sini, tanpa ngerti itu maksudnya apa...
>dan hasilnya bisa diduga, dari dulu orang indonesia ya begini terus, kalau
>mau ngadu domba gampang, tinggal ungkit sedikit perbedaan salah satu unsur
>sara, pasti langsung berantem, contoh paling gampang ya di milis permias
>ini (contoh valid karena anggotanya supposedly terpelajar dan punya pikiran
>terbuka), cukup senggol S, atau A, pasti sibuk adu pendapat tanpa hasil
>yang jelas karena semua cuma mementingkan golongannya masing2. walaupun
>begitu yang paling sering saya lihat sih adalah A yang terakhir
>(antargolongan), coba aja inget jaman sidang umum kemarin, yang satu
>nyenggol mega, yang sini nyenggol akbar tanjung, terus udah deh sibuk
>belain jagoan masing2...  what a BIG BS ! (sesuai dengan subject nih)
>
>hehe.... kita ini bodoh banget sih... ? mau aja terus2an diadu
>begitu....  semua berasa paling bener, kritik sana kritik sini.... heh...
>:-) terus lupa bahwa tujuan utama adalah bikin maju bangsa, bukan
>membuktikan bahwa 'megawati emang nggak ngapa2in', 'amien rais harus turun'
>dan lain2....  masa iya milis permias isinya juga cuma lawak seperti di
>tanah air sana ? malu ah...
>
>
>e r juni



Get your FREE Email at http://mailcity.lycos.com
Get your PERSONALIZED START PAGE at http://my.lycos.com


____________________________________________________________________
Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at 
http://webmail.netscape.com.

Kirim email ke