Saya sangat percaya kalau untuk pekerjaan kantor atau untuk textbook, tapi
kalau novel atau bacaan ringan lain-nya, saya kira biar sampai tahun 2010pun
formatnya masih dalam kertas (mungkin bisa 2, komputer ada, kertas ada). Dan
kalau dibilang penggunaan kertas itu akan obsolete dalam tahun 2010, buat saya
itu agak sedikit nonsense.

Ichal


Nasrullah Idris <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
     Banyak pengelola percetakan dan pemimpin penerbitan dewasa ini terus
asyik dengan usahanya yang banyak melibatkan atau berkaitan kertas itu,
terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di antaranya bermimpi,
bagaimana membuat perusahaannya go internasional, dalam artinya, produksinya
bisa menjangkau masyarakat di berbagai pelosok bumi. Ya, siapa pun akan
mendambakan demikian.
     Tetapi tunggu dulu. Cita-cita sih boleh saja. Hanya perlu disertai
pengamatan terhadap perkembangan teknologi. Tidak bisa hanya mengandalkan
referensi normatif berdasarkan grafik marketing perusahaan.
     Soalnya begini. Sinyal tergesernya produk publiser bermodalkan kertas
sudah mulai terasa. Ini tidak bisa dihindarkan lagi akibat cepatnya rekayasa
kombinasi komputer, telekomunikasi, dan informasi untuk gilirannya
menghasilkan fenomena baru. Apalagi kalau bukan publiser elektronik melalui
internet.
     Tidak heranlah bila banyak pakar telekomunikasi memprediksi, kurang
dari satu dasawarsa, bacaan dari kertas semacam buku, majalah, sampai brosur
akan menjadi barang kuno. Saat komputer sudah menjadi kebutuhan primer,
sarana mencari informasi cukup dengan produk elektronik.
     Saat itu akan muncul pengecer koran/penjual buku di trotoar dalam versi
elektronik. Kalau sekarang 10 buku tebal bisa mencapai 12 KG, maka nanti
untuk mengakses pengetahuan dengan substansi sama cukup dengan sarana 50
GRAM saja.
     Malah diperkirakan, fenomena itu sudah akan tampak tahun 2006. Ini
berpangkal dari laju efisiensi/efektivitas dari teknologi informasi yang
membuat para ahli semakin susah untuk melakukan kalkulasi ke masa depan.
     Wakil direktur pada sub Technology Development Microsoft, Dick Brass,
mengisyaratkan bahwa pada tahun 2010 siswa sekolah tidak perlu repot
menjinjing tas. Cukup satu buku elektronik ringan sebagai sumber ilmu serba
guna. Kalau perlu cukup disimpan dalam saku. Kemudian mereka mengaksesnya
secara elektronik.
     Malah perusahaan elektronika di Jepang dikatakannya sudah mampu
memproduksi chip komputer dengan kapasitas 1000 GIGABYTE. Berarti 100 kali
lipat ketimbang komputer trend di Indonesia sekarang : baru sampai 10
GIGABYTE. Jadi bisa menampung ribuan ensiklopedi atau jutaan teksbook.
     Malah Brass memberi harapan bahwa dua tahun lagi satu juta publiser
elektronik bisa dibeli dengan mudah atau diperoleh secara gratis. Lalu tahun
berikutnya omset bisa mencapai satu milyar unit.
     Bukan itu saja. Revolusi teknologi informasi ini akan membawa berbagai
banyak fenomena baru. Para penulis/kolumnis bisa menjual buku karya mereka
kepada publik tanpa lewat penerbitan/percetakan, sebagaimana lazimnya
sekarang. Lalu mereka membuat manajemen baru dalam rangka memudahkan
konsumen menggunakan produk mereka berdasarkan kriteria/jenis tertentu.
     Bila tidak ada aral melintang dengan prediksi Brass itu, maka
penggunaaan kertas cetak dalam partai besar, seperti banyak perusahaan,
sejak penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada abad XV akan mengalami
kegelapan. Tidak mustahil pula bahwa penggunaan kertas dalam urusan
informasi akan dianggap mengganggu tata ruang atau memakan banyak tempat.
Jadi bisa berurusan dengan masalah lingkungan.
     Sekarang saja sebenarnya sudah cukup banyak buku versi elektronik.
Hanya saja belum apresiatif betul. Apalagi di Indonesia. Ia bisa diakses
melalui komputer pribadi (internet) dalam waktu cepat asal mengetahui alamat
homepage-nya.
     Dengan semakin banyaknya dan semakin murahnya harga"buku elektronik"
yang disertai kapasitas simpan yang semakin besar, maka barang itu akan
menjadi perlengkapan primer bagi siapa pun, sebagaimana HP.
     Namun Frank Gilbane, pakar industri penerbitan/percetakan berpendapat
lain. Katanya, tabiat orang cenderung menginginkan bacaan dalam versi
kertas, meskipun sudah pula mempunyai barang sama dalam versi elektronik.
     Komentar ini nggak bisa diabaikan meskipun prospek elektronika ke
berbagai bentuk bacaan sudah memperlihatkan revolusionernya. Pasalnya,
penggunaan kertas di banyak kantor/rumah justru semakin meningkat di banyak
negara. Walaupun sudah mengaksesnya lewat internet, misalkan, toh akhirnya
dicetak dengan printer. Maksudnya adalah agar bisa dibaca lebih tenang/kebih
cermat. Ini pun terjadi pada mereka yang sudah mempunyai sarana komputer
serba canggih. (NSR/sumber : [EMAIL PROTECTED] +
RASI+RSMT+REFERENSI PRIBADI)

Salam,

Nasrullah Idris


____________________________________________________________________
Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at 
http://webmail.netscape.com.

Kirim email ke