In a message dated 1/3/00 8:05:17 PM Eastern Standard Time, 
[EMAIL PROTECTED] writes:

> Maaf, saya bukan pembuat kliping yang baik, tapi anda bisa membacanya di
>  sumber-sumber pemberitaan yang terbit pada tanggal-tanggal peristiwa
>  tersebut.
>  Yang ingin saya tekankan disini (saya berupaya untuk bersikap netral) bukan
>  kronologis hari per hari, akan tetapi kronologis pada saat-saat khusus,
>  dalam hal ini pada saat berlangsungnya peringatan hari-hari keagamaan.
>  Saran saya sih, kita lihat saja nanti tanggal 1 Syawal 1420 H.  Apa yang
>  akan terjadi ?
>  
>  YMT


Irwan:
Terima kasih. Anda katakan pada Natal kemarin aman2
saja di Maluku. Sayangnya, baru saja saya coba2 baca
berita, ternyata terjadi peristiwa menyedihkan pada Natal kemarin.
Tapi saya maklum koq kalau berita tersebut terlewat oleh
anda dan juga rekan2 lainnya yg mungkin hanya mencoba
mencari berita dari Republika online saja.
Ini saya kutipkan berita peristiwa sedihnya.
Mohon diingat, sumber di bawah ini saya yakini dari sumber sisi orang Kristen.
Silahkan melakukan check and recheck dan menilai keobyektifan dari berita
di bawah ini.


jabat erat,
Irwan Ariston Napitupulu

-----------
kutipan
----------
Maluku Report (1) : Ambon, 23 Desember 1999
          
        I. Tragedi Natal Namlea di akhir Abad ini  
          
        Kerusuhan di wilayah Buru Utara pada hari Rabu 22 Desember 1999, yang 
terjadi di wilayah Waenibe, Waekose & Waepoti, dikabarkan
        berawal dari  perselisihan antar dua karyawan PT. Wainebe Wood 
Industry (WWI) yang kebetulan masing-masing beragama Islam dan
        Kristen. Buntut dari perselisihan ini adalah aksi kekerasan 
individual yang kemudian berubah menjadi aksi kekerasan massal. Jumlah
        korban menurut versi Kapolda ialah 22 orang (tiga berhasil 
diidentifikasi).  
          
        Pada hari itu juga kontak kekerasan melebar ke Namlea, ibukota 
kecamatan Buru Utara, yang berjarak kurang lebih 1 jam perjalanan dari
        Waenibe. Diawali kurang lebih 30 rumah keluarga Kristen dirusak, 
massa kemudian membakar 7 rumah diantaranya dan 1 buah gedung
        gereja Sidang Jemaat Allah Namlea. Dikabarkan, estimasi rumah yang 
dihancurkan/dibakar mencapai 200-an. Akibat kekerasaan massa
        ini, situasi Namlea menjadi tegang. Hampir seluruh warga Kristen yang 
bermukim di kota Namlea terpaksa mengamankan diri di halaman
        Kapolres Namlea. Dan menurut pernyataan kapolda MaLuku sebagaimana 
yang disiarkan oleh TVRI, Kamis 23 Desember 1999, sebuah
        kapal fregat TNI-AL telah dikirim untuk mengevakuasi mereka pada hari 
Jumat 24 Desember 1999 menuju Ambon.  
          
        II. Informasi peristiwa Kampung Jawa  
          
        Penembakkan pihak aparat keamanan yang mengakibatkan korban jiwa pada 
peristiwa konflik kekerasan di Kampung Jawa Rumah
        Tiga-Poka,  Minggu 19 Desember 1999, berhasil diidentifikasi yakni 4 
orang dari kesatuan DenZipur. Saat ini mereka sedang diperiksa
        oleh POMDAM.  
          
        III. Isu Natal berdarah & Pengagalan penyerangan ke Suli.  
          
        Isu Natal berdarah merupakan salah satu isu yang dilemparkan ke 
publik namun isu ini sendiri sulit diungkapkan kecuali bahwa ada
        upaya mengadakan kaos oblong yang bertuliskan Natal berdarah di 
daerah Laha. Walaupun demikian, salah satu isu yang berhasil
        terungkap jsutru pada Rabu pagi 22 Desember 1999. Saat itu Aparat 
Marinir berhasil menggagalkan kelompok massa dari Tulehu (desa
        Muslim) yang tengah bergerak menyerang desa Suli (desa Kristen).  
          

          
        Maluku Report (2)  

        I. Deklarasi Menahan Diri   

        Dari Ambon dikabarkan telah disepakati "DEKLARASI MENAHAN DIRI" oleh 
Forum Peduli Maluku. Forum ini merupakan bentukan 3
        kelompok masyarakat yakni [1] gerakan NUNUSAKU (Kristen) [2] Crisis 
Centre Khatolik di Ambon & [3] Forum kerukunan umat Islam
        Maluku. Forum ini sendiri diprakarsai oleh 20 orang anggota 
masyarakat yang masing-masing memiliki kekuatan massa di lapangan.
        Oleh sebab itu, ketenangan Ambon dalam dua minggu terakhir ini bisa 
tercipta justru karena adanya dukungan ketiga kelompok ini.  

        II. Gerakan Pengacau di Perairan Maluku    

        Peristiwa penembakkan kapal motor penyeberangan antar-pulau di 
sekitar pulau Ambon-Seram-Haruku-Saparua yang terjadi Sabtu 18
        Desember 1999, bukanlah yang terakhir sebab menurut laporan, motif 
penyerangan ini masih berlangsung terus secara rutin. Jalur
        angkutan laut yang menjadi target penyerangan ialah trayek Passo 
(pulau Ambon - P. Seram. Penyerangan dan penembakkan dilakukan
        bukan dari darat melainkan dari laut dengan menggunakan kapal motor 
penangkap ikan atau speedboat.  

        Pada hari Rabu, 22 Des '99, sebuah angkutan penyebaran laut kembali 
diserang dan mengakibatkan jatuh korban jiwa bernama Yohanes
        Tutuharima dan 1 luka yakni Petrus Persulesi. ironi dari kejadian ini 
ialah kedua korban ini adalah warga desa Galala, desa pada hari
        sabtu, 21 Des, salah seorang warganya yang kebetulan seorang nelayan 
telah menolong 5 orang warga Muslim yang sementara
        terapung-apung dilaut akibat musibah kapal tenggelam. [Lihat 
pemberitaannya di Republika Online edisi:18 Dec 1999]. kedua korban ini
        ditembak dalam perjalanan melewati Tulehu dan ditembak oleh kelompok 
penyerang dari desa Kulor.  

        III. Degradasi Moral Kaum Muda   

        Moralitas kekerasan di kalangan kaum muda Maluku semakin 
memprihatinkan dengan menjamurnya kegiatan minuman keras dan judi
        buntut, disamping penyelundupan narkoba yang sempat terkuak pada 
razia aparat di KMP. Dobonsolo. Yang menarik dari fenomena ini
        ialah ketidak-pedulian aparat terhadap praktek-praktek tersebut. 
Malah dalam sebuah kasus yang sempat terbongkar, aparat keamanan
        memperalat sekolompok pemuda untuk menjadi makelar wanita nakal bagi 
mereka, mencuri atau memeras beberapa warung dan toko
        untuk konsumsi mereka pula. Kelompok pemuda yang diperalat ini 
dikemudian hari berhasil diciduk oleh sekelompok pemuda Kristen.
        Sikap tidak perduli aparat juga terlihat dengan tidak dirazianya 
jalur pasokan minuman keras khas Maluku [Sopi] dari pulau Seram,
        padahal sebelumnya Razia ini sering dilakukan. Sepertinya degradasi 
moralitas masyarakat Maluku ini sengaja dibiarkan.  


                                    Maluku Report (3) : Ambon, 25 Desember 
1999

        Perkembangan kerusuhan di kawasan Pulau Buru bagian Utara  

        I. Penyebaran kerusuhan di pulau Buru Utara  

        Secara umum, kerusuhan massa yang terjadi didaerah Waenibe hingga 
kini masih berkembang dan melebar ke sejumlah desa dan dusun
        di wilayah kecamatan Buru Utara. Menurut laporan pantauan komunikasi 
udara antara sumber Manado, Polres Namlea dan Air buaya
        [p.Buru] dan Ambon, eskalasi pengrusakan wilayah pemukiman dan 
konflik massa telah melebar ke sejumlah daerah sasaran baru
        meliputi Namlea, Waenetat [desa Mako], Savana jaya [desa Waetele], 
daerah unit-15, Debowae [unit-18], Desa Parulu [unit-17], daerah
        unit-6 dan unit-5. Keenam desa yang disebutkan ini diinformasikan  
        berstatus "hancur". Selanjutnya peta gerakan penyerangan massa 
muslim, sebagaimana yang dipantau dari komunikasi radio Polsek
        Namlea ialah dimulai dari kawasan desa Mako [Waenetat] menuju desa 
Parbulu [Unit-11]. Bahkan hingga pukul 23 malam, hari Kamis,
        dikabarkan desa Waepoti sebagai salah satu basis jemaat GPM, diserang 
oleh desa Waeprea. Selain itu, ada juga beberapa
        desa/kawasan lain yang diisukan akan diserang, seperti Unit-R, 
Waeflan, unit-S, Unit-2 dan desa Waelo.  

        II. Evakuasi Warga Kristen  

        Selain warga Kristen Namlea yang secara spontan meninggalkan rumahnya 
dan mencari perlindungan ke kantor Polres Namlea, hampir
        seluruh warga dari desa Kayeli [desa tetangga kota Namlea] 
diinformasikan telah meninggalkan rumah dan desanya untuk mencari
        perlindungan.  

        Menurut informasi dari wakil gubenur yang pada hari Kamis siang 
mengadakan inspeksi lapangan ke P.Buru, telah dikirim dua kapal
        untuk mengevakuasi warga Kristen dari lokasi kerusuhan awal di 
Waenibe, yakni KMP Sinambela dan KMP Mujair [salah satu armada
        Ferry ASDP]. Wagub didesak oleh sejumlah masyarakat Namlea yang 
tengah bermukim di kota Ambon ketika ia mendarat dengan
        helikopter di lapangan Merdeka Ambon sepulang inspeksi. Lebih lanjut 
lagi, kelompok masyarakat ini meminta pemerintah untuk segera
        mengevakuasi anggota-anggota keluarga mereka yang masih berada di 
P.Buru mengingat suasana keamanan di P.Buru tidak lagi
        terjamin bagi orang Kristen ataupun penduduk asli Buru yang beragama 
kristen. Permintaan ini bertolak belakang dengan keputusan
        rapat mendadak Muspika di Namlea yang rupanya tidak menghendaki orang 
Kristen keluar meninggalkan P. Buru.  Sementara itupula,
        dari Namlea dikabarkan lagi bahwa satu lagi gedung gereja telah 
dibakar yakni milik Gereja Khatolik. Dengan demikian telah berjumlah 2
        buah gedung gereja di kota Namlea.   

        III. Situasi terakhir wilayah sumber kerusuhan  

        Sejauh ini, informasi yang kami terima mengenai sebab-musabab 
pecahnya konflik kekerasan di PT. Wainebe Wood Industry [WWI]
        ialah dimulai oleh pertikaian dua karyawan yang kemudian diatasi oleh 
aparat keamanan perusahaan, yang kemudian mendorong salah
        satu pihak membonceng massa dan mengadakan aksi konflik kekerasan. 
Tetang siapakah pihak yang membonceng massa ini, ada kesan
        telah terjadi pembelokan informasi, sebab terkesan buru-buru tuduhan 
isebagai kelompok penyerang dijatuhkan kepada kelompok
        Kristen. Pengungkapan kasus P.Buru sangat dihambat oleh faktor 
terbatasnya akses telekomunikasi ke daerah di luar Namlea maupun
        faktor Transportasi/jarak antar wilayah yang relatif jauh.  

        Dalam kerusuhan ini, telah berhasil diidentifikasi 82 korban 
jiwa-hilang dari kalangan karyawan PT. WWI sementara korban di pihak
        masyarakat sipil belum terdata dengan baik. Walaupun demikian, yang 
berhasil dilaporkan ialah pembantaian Bpk. Dance Paliama dan
        keluarga, kepala kantor Pos di WWI. Dikabarkan pula bahwa konflik 
massa ini telah menyebabkan terjadi proses penguasaan wilayah &
        kantor perusahaan WWI oleh massa Islam. Sempat beberapa karyawan 
Kristen ditawan namun terakhir dilaporkan telah diserahkan ke
        Wainibe. Akibat penguasaan wilayah ini, dikabarkan, upaya evakuasi 
massa & korban oleh pihak keamanan dengan menggunakan
        angkutan laut gagal. Besar kemungkinan jumlah korban meningkat sebab 
menurut pantauan radio permintaan bantuan keamanan dan
        obat-obatan dari daerah sekitar sumber konflik kepada pihak Polres 
Namlea tidak bisa ditindak lanjuti karena terbatasan jarak dan
        sarana.  

        IV. Situasi kota Ambon Pada Malam Natal  

        Malam Natal hingga pukul 4 pagi 25 Desember 1999 berjalan relatif 
tenang walaupun ada penjagaan wilayah gereja Silo oleh warga
        gereja agak meningkat menyusul adanya aksi-aksi lempar bom. 


          
                                Maluku Report (4) : Natal hari kedua, 26 
Desember 1999,
           
        I. Bukan Penyerangan  Namun "Pembantaian" 
           
        Penyebaran isu Natal berdarah yang  menjangkau berbagai daerah di 
kawasan Maluku ternyata bukan omong kosong. Paling tidak,
        persiapan isu ini di P.Buru sebelum natal telah mendorong keputusan 
pendeta jemaat GPM Imanuel Namlea & ketua Klasis GPM Buru
        Utara untuk segera mengevakuasi jemaat GPM di Namlea dan Kayeli  
untuk keluar mengungsi ke jemaat GPM di Waenibe.Evakuasi
        jemaat sebagai upaya antisipasi terhadap situasi Namlea yang dinilai 
agak rawan menjelang natal ini ternyata ditanggapi sebagai
        tindakan provokatif  oleh pihak muslim. Akibatnya, perselisihan kecil 
antar karyawan di PT.WWI-Wainibe, kemudian dijadikan pemicu
        konflik massa.  
           
        Segera setelah mendengar adanya konflik internal karyawan PT.WWI, 
‘Massa Putih' mulai mengkonsentrasikan diri di wilayah
        Wamlana, Buru Utara Barat dan maju menyerang Waenibe. Dikabarkan 
bahwa sebagian besar dari kelompok penyerang ini adalah
        orang-orang Kailolo [warga desa Islam di pulau Haruku]. Yang sangat 
menyedihkan ialah ditemukannya sebuah kolam dimana 56 tubuh
        manusia korban kekerasan ditimbun di dalamnya. Informasi ini 
diperoleh dari pantauan komunikasi antara posko WWI di Manado yang
        menyebutnya sebagai sebuah "pembantaian".  Menurut laporan salah satu 
anggota 'team 20' yang turun ke di Waenibe dengan
        menggunakan helikopter, diketahui ada tiga orang kordinator 
lapangan/provokator yang mengatur gerak kerja massa putih. Satu
        satunya ialah bermarga Lattupono [asal Pelauw] dan dua orang lainnya 
adalah karyawan PT.WWI sendiri {salah satunya bermarga
        Salampessy]. Mereka diketahui menggunakan megaphon [alat pengeras 
suara] dalam memberikan komando. Masih Di Wamlana, juga
        dijumpai Bpk.Darakai, dosen sospol Unpatti di sana, tanpa  disebutkan 
lebih lanjut keterangan tentang maksud kehadiran beliau di sana.

           
        Secara bertahap, diinformasikan penyerangan massa putih dimulai dari  

             * desa Waenibe [150-an rumah hancur/dibakar]  
             * Waekose  
             * Waepoty  
             * Unit-5 & desa Savana jaya  
             * Namlea

        II. Penyanderaan ? 
           
        Dari Namlea dikabarkan bahwa walaupun ada evakuasi spontan warga 
Kristen GPM sebelum natal, namun sebagian warga Kristen
        lainnya dan Warga khatolik memilih untuk tetap berada di Namlea [di 
Namlea sendiri selain GPM, ada gereja Khatolok, gereja pantekosta
        dan Sidang jemaat Allah]. Ketika pecah kerusuhan di Waenibe, sebagian 
dari mereka kemudian ditolong & diamankan oleh warga
        muslim Namlea di dua rumah khusus dengan jaminan keamanan lokal dari 
mereka. Bantuan  ini sendiri mulanya diterima secara positif
        namun pada akhirnya berubah menjadi sebuah masalah 'penyanderaan 
tersembunyi'. Disebutkan penyanderaan tersembunyi justru
        ketika diketahui bahwa mereka yang ditolong dipakai sebagai objek 
ancaman kepada masyarakat kristen di Leksula [wilayah selatan
        Pulau Buru yang dominan Kristen]. Apabila masyarakat Kristen di 
Leksula menyerang kaum muslim di wilayah mereka di Leksula maka
        sisa orang Kristen di Namlea akan menjadi sasaran balasan.  
           
        III. Relokasi wilayah pemukiman warga Kristen? 
           
        Apa yang terjadi di pulau Buru Utara dimana kantong-kantong Kristen 
diporak-porandakan dan dievakuasi secara simultan,
        memunculkan kecurigaan adanya upaya relokasi warga Kristen di pulau 
Minyak kayu putih itu. Pulau Buru dalam wilayah administrasi
        pemerintah dibagi dua yakni wilayah Utara dengan pusatnya di Namlea 
[mayoritas Muslim] dan bagian Selatan [mayoritas Kristen]. Bila
        pada akhirnya konflik massa ini berhasil menggusur orang Kristen 
untuk keluar dari wilayah Buru utara maka bisa dipastikan bahwa
        willayah itu tidak lagi heterogen melainkan homogen muslim. Dan 
apabila sebagian besar masyarakat Kristen asal Buru utara akan
        memilih  menetap di Buru Selatan [Leksula] maka dengan sendirinya 
telah terjadi segregasi spontan dari masyarakat. Bila proyeksi ini
        benar maka pulau Ambon bisa kena imbasan pola segregasi seperti ini. 
           
           
        " Merry Christmas Everyone " 

          Sumber :  YAYASAN SAGU - Solidaritas Anak Negeri Maluku 
--------------
akhir kutipan
--------------

Kirim email ke