good article gung,,, gue terharu membacanya,,, memang kita semakin tidak 
menyadari betapa lemahnya kita selama ini dan betapa sering nya kita mengeluh 
seolah2 kita orang paling di dunia,,,, thankss,,,hope can read something like 
this more often,,,

wahyudiAgung <[EMAIL PROTECTED]> wrote:            
   Salah satu alasan mengapa kita memiliki frase 'kalah sebelum bertanding' 
adalah karena pada kenyataannya begitu banyak orang yang enggan untuk ikut 
dalam pertandingan menyusuri hidup. Hanya karena mereka tahu bahwa mereka tidak 
akan pernah menjadi pemenang. Jika hidup kita adalah soal kalah dan menang, 
mungkin cara berpikir itu bisa diterapkan. Namun, pada kenyataannya hidup kita 
tidak selamanya tentang kalah dan menang. Memang, ada kalanya kita harus 
terlibat dalam permainan seperti itu. Jika kita tidak mengalahkan orang lain, 
maka orang lain akan mengalahkan kita; dan kita menjadi pecundang. Namun, 
sebagian besar kegiatan dalam hidup kita bukan soal itu. Melainkan soal; 
bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri. Oleh karena itu, dalam banyak 
situasi; 'menjalani' hidup itu lebih penting daripada hasil akhirnya. 

Anda tentu masih ingat sebuah kisah klasik tentang seorang lelaki lugu yang 
tengah duduk diteras sebuah kedai dipinggir jalan. Ketika mendekatkan cangkir 
kopi ke bibirnya, dia terperangah, karena tiba-biba saja ada segerombolan orang 
yang berlarian. Ia lalu bertanya kepada pelayan;"Kenapa sih orang-orang itu 
pada berlarian begitu?" Sang pelayan menjawab:"Ini perlombaan lari marathon, 
Tuan." Ia tersenyum dengan ramah, kemudian melanjutkan: "Pemenangnya akan 
mendapatkan sebuah piala." Katanya. Lalu lelaki itu berkata;"Kalau hanya 
pemenangnya yang mendapatkan piala, kenapa orang-orang yang lainnya juga pada 
ikut berlari…?" 

Kemungkinan besar, didunia nyata tidak ada manusia yang cukup lugu untuk 
melakukan dialog seperti itu. Setidak-tidaknya dalam konteks 'lomba lari 
marathon'. Kita semua tahu bahwa pemenang lomba lari marathon hanya satu orang. 
Atau paling banyak 3 orang. Jika panitia berbaik hati menyediakan hadiah sampai 
juara harapan ketiga seperti ketika kita sekolah di TK dulu, maka jumlah 
pemenangnya paling banyak ada 6 orang. Tetapi, kita tidak cukup bodoh untuk 
mempertanyakan; "Mengapa ratusan orang lainnya ikut berlari juga?" Tetapi, mari 
cermati kehidupan sehari-hari kita. Secara tidak langsung kita sering 
mengajukan pertanyaan naif seperti itu. Kita begitu seringnya bertanya; kenapa 
orang kecil seperti kita mesti kerja habis-habisan? Paling hasilnya cuma 
segitu-gitu juga. 

Ketika masih disekolah menengah dulu, saya beberapa kali mengikuti 10K Marathon 
Competition. Dalam perlombaan itu, selalu saja ada atlet profesional dari 
pelatda yang ikut serta. Tapi, jumlah mereka tidak banyak. Sedangkan, ratusan 
peserta lainnya adalah mereka yang paling banter hanya berolah raga seminggu 
sekali saja, termasuk saya dengan tubuh kerempeng dan napas yang pas-pasan ini. 
Bahkan ada juga peserta yang sudah lanjut usia. Nyaris tidak mungkin kami bisa 
menang. Kami semua mengetahui hal itu. Tapi, mengapa kami tetap ikut perlombaan 
itu? "Ya, kenapa Kakek mengikuti perlombaan ini?" Anda boleh bertanya begitu 
kepada si Kakek veteran perang kemerdekaan yang ngotot mau ikut perlombaan. Dan 
dia akan menjawab: "Kakek mah, yang penting sehat, cucu. Tidak apa-apa menang 
juga. Yang penting sehat…." Alah, yang penting sehat, kata si Kakek.

Kalau anda tanyakan itu kepada orang dewasa lainnya, mereka akan menjawab: 
"Demi kesehatan, Mas. Kita perlu berolah raga. Kalau menang syukur. Tidak juga 
yah, tidak apa-apalah. Yang penting sehat." Sedangkan, gadis-gadis remaja 
berusia belasan tahun akan menjawab:"Tau deh, Mas. Pokoknya seru ajjah. Bisa 
ketemuan sama teman-teman. " Dan dari para lelaki kecil yang sedang puber 
seperti saya waktu itu, mungkin anda akan mendengar:"Asyik Mas. Banyak cewek 
kece yang ikutan…." Pendek kata, ada begitu banyak alasan mengapa orang ikut 
serta dalam perlombaan lari marathon itu; meskipun mereka tahu tidak akan 
menang. Dan diakhir pertandingan, kita selalu bisa menemukan senyum kepuasan 
disetiap wajah yang mengikuti perlombaan. Ketika sang atlet pelatnas naik 
pentas untuk menerima tabanas; setiap orang ikut merasa puas. Tidak ada iri 
dihati ini. Sebab, dari awal pun kita sudah tahu bahwa hadiah tabanas dan piala 
itu bukan untuk kita. 

Kita mempunyai bagian masing-masing dalam perlombaan itu. Sang Kakek, 
mendapatkan kesempatan untuk berolah raga dengan gembira demi kesehatannya. 
Para pemuda senang dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Para remaja 
gembira karena bertemu dengan rekan-rekan seusianya. Sambil ngeceng satu sama 
lain. Dan tampaknya, semua orang mendapatkan kemenangannya masing-masing. 
Kecuali orang-orang yang memilih tidur dibawah selimut. Dan mereka yang hanya 
nongkrong dipinggir jalan yang dilewati para pelari.

Lomba lari marathon mungkin sudah bukan olah raga populer lagi dijaman ini. 
Tetapi, esensinya masih tetap ada hingga kini. Kehidupan kita, tidak ubahnya 
seperti perlombaan lari marathon itu. Ada sejumlah hadiah disediakan bagi 
mereka yang berkoneksi sangat kuat. Bermodal teramat besar. Dan berkedudukan 
begitu tinggi. Namun, jika saja orang-orang yang tidak memiliki semua 
keistimewaan itu memilih untuk berhenti sebelum bertanding; kehidupan kita 
mungkin akan berubah wajah. Menjadi sebuah ironi ketidakberdayaan. Untungnya, 
sebagian besar manusia sederhana yang kita lihat adalah orang-orang tangguh. 
Mereka adalah pejuang hebat yang tidak mudah menyerah. Tengoklah mereka yang 
tidak pernah lelah untuk terus merengkuh hidup. Mengagumkan sekali. Meskipun 
mereka tahu bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan pendapatan sejumlah miliaran 
atau sekedar ratusan ribu rupiah saja; namun mereka tetap melangkah, ikut 
terlarut dalam geliat hidup. Mereka tidak hendak
berhenti. Sebab, sekalipun tahu bahwa uang besar adalah jatah orang-orang 
besar, namun ikut terlibat dalam permainan keseharian adalah pilihan yang 
paling bijaksana. 

Jika kita berkesempatan untuk menyasar ke pasar-pasar pada pukul dua pagi, kita 
akan menemukan orang-orang dari jenis ini. Tukang gorengan. Para penyapu jalan. 
Para petugas pembersih toilet digedung-gedung perkantoran. Para buruh tani. 
Ibu-ibu tukang cuci pakaian. Para hansip dan petugas keamanan. Para guru bantu 
disekolah-sekolah reyot . Aih, betapa banyaknya orang yang ikut dalam lari 
marathon kehidupan ini. Apakah mereka akan mendapatkan piala? Tidak. Lantas, 
mengapa mereka ikut berlari? Karena, mereka ingin mengajari kita tentang hidup. 
Mengajari kita? Ya. Mengajari kita. Karena kita yang lebih beruntung ini sering 
sekali menyia-nyiakan hidup. Kita terlampau mudah untuk berkeluh kesah. Ketika 
kita tahu akan kalah, kita langsung menyerah. "Untuk apa kita bekerja jika 
dibayar dengan upah murah? Cuma membuat kaya para pengusaha saja!" Begitu kita 
sering berkilah. "Ngapain susah-susah begitu jika hasilnya cuma segini?" 
Kemudian kita memilih untuk tidur
lagi. "Kalau begini caranya, aku berhenti saja!" Lalu kita keluar dari arena. 
Malu kita oleh orang-orang sederhana itu. 

Padahal, Ayah dan Ibu sudah menyekolahkan kita dengan bersusah payah. Mereka 
mengumpulkan rupiah, demi rupiah. Dengan terengah-engah. Supaya kita bisa 
kuliah. Setelah kita lulus sekolah? Kita menjadi orang-orang yang begitu 
mudahnya untuk menyerah kalah. Setiap kali dihadapkan pada jalan yang menanjak 
sedikit saja, kita sudah cepat merasa lelah. Ketika tersandung dengan kerikil 
kecil saja, kita sudah mengeluh seolah kehilangan kaki sebelah. Bukan 
peristiwanya yang menjadi musibah. Melainkan sikap kita untuk memilih menjadi 
manusia bermental lemah.

Malu kita oleh orang-orang sederhana itu. Meskipun mungkin mereka tidak 
sepintar kita. Tidak sekolah setinggi kita. Tidak berkulit semulus kita. Namun, 
semangat mereka dalam menjalani hidup, bukanlah tandingan bagi kita. Cobalah 
sesekali tengok garis-garis wajah mereka. Disana kita akan menemukan sebuah 
gambaran tentang hidup semacam apa yang mereka jalani setiap hari. Tidak lebih 
mudah dari kita. Sekalipun begitu; mereka enggan untuk berhenti. Mereka terus 
berlari. Untuk berlomba dalam marathon ini. Perlombaan yang hadiahnya mereka 
definisikan sendiri. Yaitu; menunaikan panggilan hidup. Dan, apakah 
sesungguhnya panggilan hidup itu? Untuk menjalani kehidupan itu sendiri. Dengan 
segenap bekal yang telah Tuhan berikan didalam diri kita masing-masing. 
Bersediakah kita mendayagunakannya? 

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Hidup tidak selamanya tentang kalah dan menang. Melainkan tentang bagaimana 
kita menjalaninya dengan tindakan-tindakan yang memberi makna positif.



  

                           

       

Kirim email ke