Suasana kerja lembaga penelitian nasional dinilai tidak kondusif lagi. Sejumlah peneliti justru merasa lebih bermanfaat bagi Indonesia dengan bekerja di luar negeri. * Gairah meneliti di sejumlah lembaga penelitian menurun. * Sarana dan prasarana, termasuk dana penelitian, belum menjadi perhatian pemerintah. * Gejala hengkangnya ilmuwan tak bisa dihindari. Ujian akhir yang tak berujung predikat "lulus" atau "gagal". Begitulah yang dialami Dr. Rahman Hidayat. Peneliti di Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yogyakarta, itu merasa "dikerangkeng". Ia tak diberi ruang gerak untuk menerapkan ilmunya. Ahli tsunami asal Bengkulu itu merasa keahliannya dalam bidang teknik kelautan dan pantai tak terpakai.
BPDP justru mengurusi bidang yang tak ada kaitannya dengan masalah kelautan dan pantai. "Semua diurus, dari kambing bunting sampai iklim global," kata Rahman. BPDP, misalnya, kini menangani proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga ombak (oscillating water column) di Gunung Kidul, Yogyakarta. Padahal, menurut Rahman, proyek itu di luar wilayah kerja BPDP. Seharusnya proyek tersebut diserahkan kepada Laboratorium Hidrodinamika BPPT di Surabaya. Sebaliknya, ada bidang yang seharusnya dikerjakan BPDP, yakni pemetaan evakuasi tsunami, justru diserahkan ke lembaga lain, seperti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Akibatnya, menurut Rahman, banyak ahli dan peneliti tidak optimal bekerja karena bukan pada bidangnya. "Tapi mereka mengendalikan proyek-proyek ini secara administratif. Nah, itu yang bikin rusak," kata Rahman pula. Ia menyebutkan, lembaga penelitian berubah menjadi sapi perahan karena berpotensi terjadi penyelewengan dana dan wewenang. Laporan penelitian dan proyek juga banyak yang ABS alias "asal bapak senang". Kondisi seperti itulah, menurut Rahman, yang membuat gairah meneliti di sejumlah lembaga penelitian tak ada lagi. Pegawainya kehilangan orientasi dan bermental SDM alias selamatkan diri masing-masing. "Ini pemborosan sumber daya manusia yang luar biasa. Kesabaran saya juga semakin habis. Saya berusaha bertahan, semoga dua-tiga tahun mendatang ada perubahan," kata Rahman kepada wartawan GATRA Arif Koes Hernawan. Jika tidak ada perubahan, Rahman akan meninggalkan lembaganya. Ada tawaran penelitian dan posisi menarik dari suatu lembaga penelitian di Jepang, tempat ia memperdalam ilmu kelautan. Padahal, Rahman tergolong ahli tsunami Indonesia yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Lagu lama ini pun terulang: terjadinya migrasi sumber daya manusia ke luar negeri alias brain drain. Gejala ini pasang-surut terjadi di Indonesia sejak 1970-an, ketika banyak anak bangsa mulai dikirim ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Untuk urusan tak betah, Rahman tidak sendirian. Sebelumnya, beberapa peneliti andal di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dikabarkan hengkang ke luar negeri. Mereka antara lain Dr. Inez Hortense Slamet-Loedin dan Dr. Ines Irene Catherine Atmosukarto, keduanya dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Inez Hortense bekerja di International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina sejak Agustus lalu. Sedangkan Ines Irene bekerja di salah satu perusahaan vaksin di Canberra, Australia, sejak tahun lalu. Padahal, mereka dikenal sebagai peneliti "tahan banting" yang menjadi andalan Indonesia dalam bidang bioteknologi. Inez Hortense beserta tim penelitinya, misalnya, merintis dan mengembangkan teknologi padi transgenik tahan hama selama dua dasawarsa. Begitu juga Ines Irene, yang mengembangkan riset unggulan untuk pembuatan vaksin flu burung. Belakangan, berita hengkangnya dua peneliti LIPI itu dibantah Kepala Humas LIPI, Murti Martoyo. Dua peneliti itu pergi setelah mendapat restu dari LIPI. "Kami sejak jauh hari mengadakan kerja sama kelembagaan, baik di Filipina maupun Australia. Jadi, tidak benar jika dikatakan peneliti hengkang," ujar Murti Martoyo kepada pers. Inez menyatakan bahwa kepergiannya tidak mendadak. Sudah tiga tahun ia menjadi shuttle scientist, bolak-balik Jakarta-Manila untuk proyek penelitian bioteknologi. "Selama periode itu, saya menginisiasi kerja sama antara LIPI dan IRRI serta memberi kesempatan pelatihan kepada teman-teman peneliti," kata Inez kepada Sukmono Fajar Turido dari GATRA. Rupanya IRRI menginginkan hubungan lebih dalam. Pertengahan tahun ini, IRRI melamar Inez sebagai salah satu kepala laboratorium penelitian biotek padi di sana. "IRRI menulis surat ke LIPI dan memutuskan menugaskan saya ke IRRI," tutur Inez. Selain itu, Inez mengaku, "Saya ini sudah di pertengahan karier. Waktu saya tinggal 20-an tahun lagi untuk berkarya." Karena itulah, Inez merasa akan lebih berguna di IRRI daripada di Indonesia, khususnya di bidang rekayasa genetika. Jaringan erat antar-lembaga juga menjadi pertimbangan Ines untuk hijrah ke Australia. "Saya ditugaskan LIPI sejak lima tahun lalu untuk membangun suatu program penelitian yang didanai mitra swasta dari Australia," kata Ines. Selama periode itu, Ines mengaku banyak menimba pengetahuan bidang komersialisasi teknologi vaksin, hingga ia mendapat tawaran untuk sekalian bekerja di sana. Bagi Ines, hijrah ke Australia adalah keputusan yang sangat berat. Selama bolak-balik, ia harus hidup terpisah dari keluarga selama dua tahun. Tetapi, "Saya tidak ingin dikira pindah meninggalkan Indonesia ke Australia karena ingin tinggal di negara yang dianggap lebih maju," ujar Ines kepada Putri Mira Gayatri dari GATRA. Hal yang sama dialami Dr. Diah Tri Widayati, peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kalaupun ada peneliti yang memilih hengkang, menurut Diah, itu terjadi bukan semata-mata soal minimnya fasilitas dan dana. Keduanya bisa diusahakan dan dicari. Kata Diah, banyak ilmuwan dan peneliti tidak betah karena merasa ilmu yang ada tak dapat dimanfaatkan di Indonesia. "Ilmu yang mereka pelajari tidak dapat dimanfaatkan di sini," kata Diah. Sebenarnya, Diah mengaku, ia juga mendapat tawaran menggiurkan dari luar negeri untuk meninggalkan Tanah Air. Ahli embriologi ini mendapat tawaran menjadi peneliti tamu dari Universitas Nagoya, Jepang, selama setahun. Namun Diah masih pikir-pikir. "Tapi tidak tahu nanti bagaimana kondisi di sini," katanya. Sejauh ini, Diah lebih suka berstatus peneliti tamu yang menuntutnya harus bolak-balik ke Jepang. Bekerja sama dengan lembaga penelitian asing memang punya keasyikan tersendiri. Diah mengakui, mereka lebih respek terhadap bidang keilmuan yang kini digelutinya. Diah sedang mengembangkan proyek bank embrio untuk meningkatkan reproduksi fauna endemik Indonesia yang nyaris punah. Apa boleh buat, cerita tentang upaya negara asing menggoda ilmuwan Indonesia untuk hijrah ke negara itu memang tak ada habisnya. Wajar saja, siapa yang tidak berminat mendapat fasilitas penelitian yang lengkap dan canggih, berikut tunjangan yang memikat. Di sisi lain, memang banyak lembaga penelitian nasional yang perlu pembenahan mendalam. Dari penelusuran GATRA, semua narasumber peneliti yang sempat dihubungi mengeluh soal kelembagaan ilmiah yang makin menjadi birokratis. "Saya semakin menjadi birokratis dan struktural karena banyak waktu tersita untuk urusan administratif," kata Inez. Ini yang juga menyebabkan suasana dan kondisi ilmiah di lembaga penelitian Indonesia terancam. "Suasana ilmiah sangat sulit dibangun di Indonesia," Inez menambahkan. "Suasana itu di sebagian besar institusi penelitian belum optimal," katanya. Persoalan lainnya, apa lagi kalau bukan masalah gaji. Seorang peneliti senior yang dihubungi GATRA mengaku, selain gaji, ia memang mendapat tunjangan sekitar Rp 3 juta per bulan. Tapi, jika ia “ngojek” di luar seperti menjadi konsultan atau pembicara, sang peneliti mengaku dapat menyabet hingga Rp 10 juta-Rp 15 juta per bulan. "Tetapi, akibatnya, jam kerja di luar rumah menjadi panjang dan tidak ada waktu untuk penelitian yang serius," tuturnya. "Penghasilan saat ini sangat tidak sebanding dengan kualifikasi yang dimiliki banyak peneliti. Apalagi jika dibandingkan dengan sektor swasta," kata Ines. Jika penghasilan peneliti dapat disesuaikan, menurut Inez, konsentrasi mereka akan lebih terfokus pada penelitian yang memang bermanfaat bagi rakyat banyak. Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek), beberapa saat lain, memang mengajukan daftar kenaikan gaji peneliti (lihat Label). Itu menjadi masukan bagi Menristek dalam rapat terbatas tentang rencana pemanfaatan tambahan anggaran pendidikan tahun 2009. Dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota dewan, 15 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, tambahan alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 46,1 trilyun. Tunjangan dan Usulan Jabatan Fungsional Peneliti Jabatan Peneliti Jumlah Personal Golongan Tunjangan Saat Ini* Usulan Kenaikan Jumlah Pertama 1.516 IIIA - IIIB Rp 325.000 Rp 2,5 juta Rp 3,790 milyar Muda 2.091 IIIC - IIID Rp 750.000 Rp 5 juta Rp 10,455 milyar Madya 2.528 IVA -IVC Rp 1,2 juta Rp 8,5 juta Rp 21,488 milyar Utama 905 IVD - IVE Rp 1,4 juta Rp 14 juta Rp 12,670 milyar Sumber : Masukan Menristek dalam rapat terbatas tentang rencana pemanfaatan tambahan anggaran pendidikan 2009. *Berdasarkan Perpres Nomor 30 tahun 2007 Nah, dana itulah yang, antara lain, diusulkan untuk meningkatkan penghasilan guru dan peneliti. Belum jelas, apakah usulan itu bakal terwujud atau tidak. Tetapi Kementerian Ristek berharap, usulan itu dapat menggairahkan lembaga penelitian. Setidaknya, gejala brain drain dapat dikurangi. Toh, pelaksana tugas Asisten Deputi Program Riptek Internasional, Kementerian Ristek, Nada D.S. Marsudi, ingin melihat gejala hijrah ilmuwan itu dari sisi lain. "Gejala ini hendaknya dilihat bukan sebagai brain drain, melainkan hanya brain circulation atau sirkulasi SDM," kata Nada. Istilah itu didapat dari pernyataan Menristek, Kusmayanto Kadiman, dalam pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Wisma Duta Wassenar KBRI Belanda, 2006. "Sebenarnya tak ada yang disebut sebagai brain drain, tetapi hanya brain circulation," ujar Kusmayanto, seperti ditirukan Nada. Karena itu, kata Nada, gejala ini bisa dilihat dari sisi positifnya. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara berkembang lainnya seperti India. Sebenarnya, menurut Nada, gejala brain circulation akan menguntungkan, baik bagi negara yang ditempati maupun negara asal sang ilmuwan. Nada mengutip sebuah penelitian (Anna Lee Saxenian, 2008) yang mengamati gejala brain circulation di Silicon Valley, Amerika Serikat. Pelaku brain drain di Silicon Valley sebanyak 29% adalah masyarakat India dan Cina, yang kemudian menjadi pelaku bisnis di sana pada 1990. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun kemudian, perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan tercatat mampu membukukan keuntungan lebih dari US$ 19,5 juta dan menciptakan 72.829 lapangan pekerjaan baru. Lebih detail lagi, Saxenian menunjukkan kasus yang terjadi di Taiwan. Sejumlah ilmuwan teknologi yang pernah belajar di Stanford University dan bekerja di Siliconix dan Intel akhirnya pulang ke kampung halaman mereka. Di sana, mereka berhasil mendirikan perusahaan semikonduktor dan mendirikan sejumlah industri kawasan berikat. "Ini membuktikan bahwa brain circulation menguntungkan kedua negara," kata Nada. Karena itu, menurut Nada, yang perlu dijaga adalah komunikasi, jaringan, dan komitmen para ilmuwan yang hijrah ke luar negeri. "Mereka juga punya hak untuk memilih, dan kita tidak bisa mencegah mereka untuk keluar. Kalau mereka meneliti dan punya hasil, kan tentu peneliti yang bersangkutan mematenkan sendiri hasilnya dan negara kita pun bisa terbawa-bawa," katanya. Walau begitu, tak sedikit yang menganggap, banyak lembaga penelitian nasional yang perlu dibenahi. Inez memaparkan sejumlah solusi yang mungkin dapat diterapkan. Antara lain, menaikkan gaji peneliti aktif setidaknya pada taraf layak, membuat sistem reward and punishment yang benar, memperbaiki sistem seleksi proposal penelitian, monitoring, dan pelaporan, hingga pengawasan di lapangan. Berdasarkan pengamatan Inez, komitmen dan nasionalisme para peneliti yang berada di luar negeri masih tetap tinggi. "Pengabdian pada negara tak harus selalu berada di Indonesia. Yang penting adalah berbuat sesuatu untuk Indonesia. Kami hanya kebetulan diberi kesempatan untuk berbuat lebih dan berguna ketika berada di luar negeri," tutur Inez. (GATRA, 29 Oktober 2008/ humasristek)