*Kasus Antasari Azhar, Momentum Pembersihan KPK*
[2/5/09]

*http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21889&cl=Berita
*

*Momentum ini juga harus dimanfaatkan KPK untuk introspeksi diri dengan
mengevaluasi sistem pengawasan internal yang ada sekarang, khususnya
penegakan kode etik.*

“Kami bilang juga apa.” Mungkin pernyataan itu yang ingin disampaikan ICW
pasca diumumkannya secara resmi status hukum Antasari Azhar. Sebagaimana
diberitakan sebelumnya, Jumat (1/5), Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa Antasari
resmi berstatus
tersangka<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21883&cl=Berita>dan
dicekal. Pengumuman yang disampaikan oleh Kapuspenkum Jasman Panjaitan
merujuk pada surat dari Mabes Polri yang di dalamnya menyebut Antasari
sebagai “tersangka/saksi”.



“Kami awalnya terkejut dan tidak menyangka Antasari disebut-sebut terlibat
kasus penembakan Nasruddin (Direktur PT Putra Rajawali Banjaran),” ungkap
Peneliti ICW Febri Diansyah dalam jumpa pers, Sabtu (2/5). Meskipun
terkejut, ICW sebenarnya sudah hafal catatan buruk Antasari. Jauh-jauh hari,
ketika proses seleksi berlangsung Juli hingga Oktober 2007, ICW bersama
sejumlah LSM lainnya yang paling bersuara keras menolak lolosnya Antasari
dari proses seleksi.



Sejumlah rekam jejak miring seputar kiprah Antasari di lingkungan Kejaksaan,
ketika itu diserahkan ICW dkk ke Panitia Seleksi bentukan pemerintah dan
Komisi III DPR sebagai bekal uji kelayakan (fit and proper test). Alih-alih
mengakomodir masukan dari ICW, Panitia Seleksi justru meloloskan Antasari
yang kemudian juga mulus pada tahap *fit and proper test *di DPR*.* Mantan
Direktur Penuntutan pada Jampidum ini bahkan menjadi orang nomor satu di
KPK.



“Kejatuhan pimpinan yang dipilih tidak berdasarkan proses yang fair, terbuka
dan bersih hanya soal waktu,” ujar Febri. Tragedi yang menimpa Antasari,
menurutnya, tidak dapat dilepaskan dari kualitas proses seleksi pejabat
publik yang dilakukan DPR. Kasus Antasari melengkapi daftar anggota komisi
negara ‘produk’ DPR yang bermasalah. Sebelumnya, Anggota Komisi Yudisial
Irawady Joenoes dan Muhammad Iqbal dari KPPU juga terbelit masalah hukum.



Namun begitu, Febri menegaskan bahwa kasus Antasari tidak serta merta
mematikan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. ICW justru menemukan
sudut pandang berbeda atas kasus ini. Adanya kasus yang membelit Antasari
justru harus dijadikan sebagai momentum untuk membersihkan KPK. Kejadian
ini, lanjutnya, harus menjadi stimulan bagi KPK untuk berbenah dan bekerja
lebih keras dalam memberantas korupsi.



“Ini belum kiamat. Kalaupun iya, hanya kiamat kecil,” sambung Emerson
Yuntho. Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW ini berharap empat Komisioner
KPK lainnya tergerak untuk segera membuka kasus-kasus besar yang terhambat
di era kepemimpinan Antasari. Beberapa kasus dimaksud antara lain kasus
BLBI, kasus Agus Condro, dan kasus aliran dana BI yang disebut-sebut
melibatkan sejumlah pejabat tinggi di lingkungan Kejaksaan.



*Pembusukan*

Emerson memandang langkah cepat yang ditunjukkan empat Komisioner KPK dengan
menonaktifkan Antasari dan mengambil alih tongkat kepemimpinan, sudah tepat.
Langkah ini menjadi penting dalam rangka menyelematkan institusi KPK dan
program pemberantasan korupsi. Emerson khawatir kasus Antasari akan
ditunggangi pihak-pihak yang ingin mematikan eksistensi KPK dan khususnya
semangat pemberantasan korupsi.



“Perlu diantisipasi upaya-upaya pembusukan KPK melalui kasus ini, kami
melihat indikasinya mengarah ke sana,” ujar Emerson. Terlepas dari itu, ia
menekankan bahwa KPK tidak identik dengan Antasari. Meskipun menjabat
sebagai Ketua KPK, kasus yang menimpa Antasari tidak akan berpengaruh banyak
terhadap pelaksanaan tugas KPK. Pasalnya, UU KPK menggariskan bahwa pimpinan
KPK bersifat kolegial.



Dengan begitu, lanjut Emerson, keberhasilan KPK selama ini bukan semata atas
peran Antasari. Prestasi KPK dalah sumbangsih seluruh elemen KPK, mulai dari
pimpinan hingga staf. Sebaliknya, Emerson justru melihat keberadaan Antasari
cenderung menghambat langkah KPK dalam memberantas korupsi.



Dadang Tri Sasongko menambahkan, momentum ini juga harus dimanfaatkan KPK
untuk introspeksi diri. Anggota Dewan Etik ICW ini meminta KPK mengevaluasi
sistem pengawasan internal yang ada sekarang, khususnya penegakan kode etik.
Ia menyoroti pengakuan Antasari di sejumlah media seputar kedekatannya
dengan Nasruddin sebagai teman bermain golf. Pengakuan ini dipandang aneh
karena kode etik KPK secara ketat membatasi pimpinan KPK berinteraksi dengan
pihak luar, terutama yang berkaitan dengan perkara.



Sebelumnya, Jumat malam (1/5), Wakil Ketua KPK bidang Penindakan Chandra
Hamzah menyatakan kepemimpinan KPK diambil-alih oleh empat Komisioner yang
tersisa, secara kolegial. Antasari yang resmi dinonaktifkan, tidak akan
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pimpinan KPK.



*Usut tuntas*

Komisi III DPR selaku mitra kerja KPK menyatakan prihatin atas kasus yang
menimpa Antasari. Dihubungi *hukumonline, *Wakil Ketua Komisi III Aziz
Syamsuddin mengatakan kasus ini merupakan cobaan berat bagi KPK. Dampaknya
jelas akan menurunkan citra KPK di mata masyarakat. Untuk itu, Aziz berharap
jajaran KPK introspeksi diri dan menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran.



Namun, di sisi lain, Aziz juga berharap agar aparat penegak hukum segera
mengusut tuntas kasus ini. Prinsip *equality before the law, *menurutnya,
harus dikedepankan. “Siapapun yang melakukan kejahatan harus diganjar dengan
hukuman, termasuk Ketua KPK sekalipun,” tegas Aziz. Pengusutan kasus ini
dipandang penting untuk memulihkan citra KPK yang merosot.



Rencananya, Komisi III akan segera meminta keterangan dari Mabes Polri
seputar kasus ini. “Kita bisa meminta Kabareskrim datang (ke Komisi III),
atau kami melakukan kunjungan *on the spot*,” ujar Aziz. Dalam waktu dekat,
Komisi III juga akan menggelar rapat dengar pendapat dengan KPK. “Kita
usahakan minggu ini,” pungkasnya.* *

*(Rzk/Rfq)*


-- 
Best regards,
Sulistiono Kertawacana
http://sulistionokertawacana.blogspot.com/

Kirim email ke