Maap Kang Sulis, First of all, saya perlu tegaskan bahwa saya tidak mewakili institusi lembaga FEUI. Memang banyak individu-individu FEUI yang berkecimpung dimana-mana berkontribusi pemikiran ekonomi, tapi mereka adalah bersifat individual. Saya rasa posisi Anis pun demikian.
Nah, masalah idelogi dahulu yang perlu dilihat sebelum diturunkan menjadi kebijakan, hal ini memang kondisi ideal. Tapi, saya agak tidak percaya kebijakan diturunkan murni dari ideologi yg dianut suatu negara. Saya melihat faktor lain, yaitu kepentingan. Kepentingan ini bisa kepentingan penguasa, apalagi di negara oligarki, pasti bisa kepentingan penguasanya; tapi bisa juga kepentingan luas masyarakatnya. Kalau banyak aktivis di Indonesia mengagung-agungkan Evo Morales atau Hugo Chavez karena kebijakannya yang anti asing dan menasionalisasi perusahaan minyak dinegaranya masing-masing; dan menganggap mereka menjalankan kebijakan anti neoliberal; buat saya perlu dilihat juga dari sisi kepentingan Morales dan Chaves sebagai penguasa yg ingin tetap berkuasa. Apakah itu untuk kepentingan rakyatnya, masih sangat diragukan. Menganai tulisan yang diforward Utong, saya tidak perlu menanggapi. Toh, tulisan itu lag-lagi cuma menciptakan stigmasisasi negatif dengan menyebut komprador atau penjual negara kepada Widjojo cs, yg beberapa diantara orang-orang itu saya kenal secara personal maupun secara pemikiran. Tidak ada fakta dan analisa obyektif ditulisan yg difroward Utong itu, tapi lebih ke pembentukan opini saja. dendi --- On Fri, 5/29/09, Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac...@alumni.ui.ac.id> wrote: From: Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac...@alumni.ui.ac.id> Subject: Re: [PPIBelgia] Fwd: [jurnalisme] Contoh PRAKTIK Neolib era SBY (kita dijadikan bangsa bebek)] To: PPIBelgia@yahoogroups.com Date: Friday, May 29, 2009, 3:32 AM Menarik Bung Utong, ...saya menunggu juga nigh penjelasan dari Bung Dendi dan Bung Anis, sebab Institusi FEUI sangat dominan dalam mewarnai kebijakan ekonomi Indonesia untuk menyebut nama lain sebagai arsitek pembangunan era soeharto yg banyak dikritik berbagai kalangan...ditunggu ya Bung Dendi dan Bung Anis komentarnya ....hehe Pada 29 Mei 2009 03:02, Furqon Azis <uton...@yahoo. com> menulis: ada postingan menarik yang sayah copi dari milis PPI-India ** Mailing List|Milis Nasional Indonesia PPI-India ** From: heru atmodjo To: temu_er...@xxxxxxxx xxxxxxx Sent: Friday, July 09, 2004 3:47 PM Subject: Re: [temu_eropa] CATATAN SEORANG KLAYABAN: GURU DAN MURID Sejak Republik Indonesia, yang kita dirikan dan kita bela dengan darah rakyat, jatuh ke tangan komplotan komprador rezim Suharto, memang jarang kita mengangkat masalah mental dan martabat bangsa ini. Foto Camdessus, IMF, di istana Merdeka, melipat tangannya memandang Harto menandatangani perjanjian penjualan bangsa ini, hanya beberapa orang saja bisa dihitung yang menyorot gambaran seorang budak yang memakai predikat presiden dan tuan budaknya IMF . Saya, mendapat pendidikan di Amerika, pendidikan militer di USAF. Klas kami terdiri dari perwira sekutu Amerika, Allied Forces, NATO, CENTO, SEATO dan lainnya. Saya mendapat perintah dari Kepala Staf AU ketika itu untuk tidak menerima uang apapun dari Amerika. Menurut pimpinan saya, kami telah diberi bekal cukup untuk belajar. Cukup, artinya uang saku untuk makan, dan uang buku. Di sekolah, setiap pertengahan bulan siswa-siswa mendapat tambahan uang dari sekolah (dari Amerika), $6.00/hari bagi seorang siswa. Ada dua negara waktu itu yang tidak mau menerimanya, Indonesia dan Burma (waktu itu di bawah U Than). Perwira siswa negara lainnya, Philipina, Muangthai, Taiwan, Jepang, Columbia, Chili, Haiti, Argentina, Belanda, dan sekutu-sekutu AS, lainnya semua menerimanya. Mereka senang. Bahkan seorang perwira Argentina dan negara amerika Latin, dimana rate US$: Peso= 1:30, gajihnya diterima di amerika dengan rate 1:1. Karena itu mereka jadi kaya-kaya. Seorang guru, ia sipil b ukan militer, tapi dari Universitas terkemuka seperti Yale, Harvard, mendekati kami yang tidak pergi ambil uang. Ia tanya: "Apa kalian tidak mau dollar?' tanyanya. Kami, perwira Burma dan Indonesia, menjawab:"Masalahnya bukan tidak suka dollar, kami menolak menjual negara." kata kawan kita dari Burma. Kami menimpali: "Kami suka uang, tapi tidak mau menjual harga diri". Instruktur kami nyengir, dan pergi. Hal demikian, bukan hanya sampai disitu. Kemudian ternyata, itu menjadi penilaian politik guru itu kepada kita. Dalam catatan mereka, kami digolongkan kepada "DIE HARD STUDENTS" Tentang pelajaran di Amerika. Disana pelajaran kita adalah tentang perang nuklir Bagaimana menggunakan bom satu Mega Ton (MT), lima MT, di Uni Soviet, waktu itu. Sedang di Nagasaki dan Hiroshima itu hanya 10 KT. Berapa jangkauan radiasinya, tingkat kerusakan akibat ledakan itu, yang bersifat strategis. Di darat, yang bersifat taktis, belajar menggunakan small nuclear warhead, 1 KT, 2 KT untuk meriam artileri mereka. Lebih dari 50% jam pelajaran meliputi diskusi tentang itu.Lainnya tentu perang konvensional. Bagi mereka bagian taktis ini kurang penting. Pertanyaannya untuk apa pelajaran seperti itu? Saya berpendapat, tidak ada manfaatnya. Karena kita di Indonesia punya bomber, mampu melakukan operasi strategis, bahkan dapat membawa bom nuklir, tapi kita tak punya bom nuklir, saya mencari bahan sendiri, di luar pelajaran yang diberikan. Apa gunanya bagi perwira siswa dari Philipina, Vietnam( boneka), Kamboja, Argentina, Chile, Coloumbia? Kalau ada, tak akan lebih dari 20% dari total yang diberikan. Begitu pula teman-teman dari AD dan AL kita yang jujur dan kritis. Pelajaran mereka tidak relevan, hanya untuk gagah-gagahan keluaran Amerika. Ironinya, di SESKOAD pelajaran perang nuklir itu dijadikan mata pelajaran, disebut KIBIRA (Kimia, Biologi dan Radiologi). Siswanya diajari menghitung deployment nuclear artillery, bilangan KT. Untuk apa? Tapi sekembalinya mereka ke tanahair, mereka direkrut jadi instruktur, dengan menjiplak kurikulum dari US Army. Bagaimana dengan student-student muridnya Liddle? Lihat lagak bicaranya. "Kalau di Amerika", "demokrasi amerika", "pembangunan amerika", "pendidikan amerika, budaya amerika" dst. Anehkah kalau Chicago mafia berhasil memporak-porandakan Konstitusi 45? Anehkah kalau kini kita punya semacam Kongres dan Senat? Bahkan negara ini akan dijadikan federasi? Perhatikan pula bagaimana konsep pembangunan sosial dan ekonomi kita. Semua didasarkan kepada perdagangan bebas, pinjaman luar negeri. Apa yang dilakukan Widjojo, Sadeli, Ali Wardana, Emil Salim, Sumarlin dan Kuntjorojakti sekarang. Semua jiplakan. Sistem pendidikan pun jiplakan. Pemilu? Sofyan Effendi, Rektor UGM, mengeritik mental intelektuil pembuat undang-undang pemilu, dan perubahan Konstitusi 45 sekarang ini. Mentalnya sudah brainwashed. Tingkah laku mafia Berkely melaksanakan pesan sponsornya, untuk kehidupan klien konglomeratnya, alias komprador. Yang membuat Undang-Undang Penanaman Modal Asing No1/1`967, menurut David Ran som, sama sekali bukan Menteri PMA Sadeli, melainkan 70 orang teknokrat ekonomi Ameria, yang didatangkan dan tinggal 3 hari di HI dengan tak banyak orang tahu. Apa masih ada kata pengganti dari menjual negara? Mental-mental komprador yang tak punya harga diri, bercokol hingga hari ini. Tontonan Metro TV, dengan adegan William Liddle, Andi Malarangeng, Rizal Malarangeng, sebenarnya tak ada bedanya dengan Camdessus dan Harto. Jadi, bukan hal yang aneh, kalau sesungguhnya kita berada di telapak kaki mafia dan bandit-bandit Chiucago. Mengenai pembangunan ekonomi, masalah ekonomi negara-negara terbelakang, bekas negara jajahan, yang agraris, kelihatannya tabu untuk membaca tulisan Pao-yu Ching, yang menulis pengalaman pembangunan ekonomi Tiongkok. Pembangunan ekonomi negara terbelakang, sejak pre and post 1949, 1959, 1979, dimana Tiongkok dibangun dari reruntuhan perang, tanah pertaniannya yang rusak, embargo AS, karena tidak mau tunduk kepada Amerika, dan penduduknya terbesar di dunia. Dibangun tanpa bantuan luar negeri selama itu. Penduduknya yang milyaran harus makan, harus hidup, harus survive dalam rongrongan agresor Amerika. Bagaimana pertaniannya dibangun, bagaimana hubungan pertanian dengan industrinya, dst.dst. Tak ada teknokrat dan pakar ekonomi yang sudi belajar kepada negara yang demikian. Mereka ketakutan kepada komunis, dan sekarang takut juga dicap teroris. Yang tidak mereka anggap hina menyembah kepada penjahat kemanusiaan nomor wahid. Kaum muda, generasi muda, harapan bangsa harus, intelektuil, yang punya kemampuan berpikir kritis dan mau bekerja untuk bangsanya, waktunya sadar untuk dapat membebaskan dirinya dari kebodohan sebagai akibat mental komprador, yang tidak mengerti antara nilai luhur dan hina. Kecuali kita memang bertekad untuk bebas dan merdeka, membebaskan rakyat dan memerdekakan rakyat dari budaya dan mental penjiplakan, akan selalu membenarkan cara-cara penghisapan dan penindasan a la imperialisme Amerika. Belakangan bahkan kita dapati kawan kita, yang dulu berjuang bersama-sama melawan Belanda, kini malah menyatakan lebih baik dipimpin dan dikuasai Amerika daripada bangsanya sendiri. Pikiran dan pernyataan yang enam puluh tahun lau kita temui di Philipina, mereka berkampanye ingin menjadi negara bagian ke-50 dari Amerika Serikat Inilah gambaran mental komprador, dengan budayanya mendewakan uang. Uang adalah segalanya bagi mereka. Ingin jadi presiden, suap, nyogok. Ingin jadi menteri jilat, dan sogokan.Ingin titel, beli. Ingin masuk universitas terkenal, beli, dengan harga mahal. Ingin jadi tentara, ingin jadi polisi, beli dan sogok. Apakah masih belum yakin bahwa budaya mereka betul-betul rendah? Jakarta, 10 Juli 2004 Heru Atmodjo From: Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac a...@alumni. ui.ac.id> To: PPI Belgia <ppibel...@yahoogrou ps.com> Sent: Thursday, May 28, 2009 5:05:30 PM Subject: [PPIBelgia] Fwd: [jurnalisme] Contoh PRAKTIK Neolib era SBY (kita dijadikan bangsa bebek)] akhirnya nongol juga Bung Dendi hehhe ditunggu nigh sekarang KOmentar Bung ANis heheh Bung Dendi, saya kira justru disini pentingnya landasan Ideology, sehingga kebijaknnya memiliki dasar Gagasan yang kuat...sebagai contoh (CMIIW) bahwa pendidikan itu penting dan hak semua orang (khusunya warga negaranya sendiri) ini diterjemahkan berbeda oleh negara AS dan Skandinavia seperti norway, sweden, dan Finland... Di AS pendidikan Perguruna Tinggi bayar (meski dimiliki negara), tapi agak setiap oarng yang memenuhi syarat bisa kuliah dimanapun (bukan hambatan finansial), maka negara memberikan pinjaman untuk kalangan yang memerlukannya dengan cicilan murah. Kalau tidak salah (CMIIW) barrack obama pun baru baru ini saja melunasi cicilan pinjaman buat kuliah dia... Sedangkan di negara2 skandinavia, mungkin lebih mendasar lagi, PTN (yang dimiliki negara), karena menganggap pendidikana dalah hak semua orang digratiskan keapda selutruh warga dunia..bahkan untuk keals yang programnya bukan bahasa dia sendiri...(meskipun ini mungkin dipngearuhi oleh kepentingan nasional dia yang jumlah penduduknya banyak sehingga dengan datangnya pelajar "terbaik" dari berbagai penjuru dunia, mereka juga sedikit banyak diuntungkan sebagai efek domino kehadiran pelajar dunia ini) Mungkin bung Adi yang sedang di Norway bisa berbagi info Nah saya rasa, dengan landasan Ideology yang kokoh, siapapu presidentnya di Indonesia ketika menerbitkan kebijakan, dia tidak akan cuci tangan seperti mantan presiden RI yang dulu melakukan privatsiasi BUMN dengan berkelit bahwa kebijakan tersebut disetujui DPR (ini sangat lucu buat saya).. Sebab, sependek pengetahuan saya, model buang badan atas kebijakan privatisasi ini tidak disesali oleh Margaret Tatcher dan Ronal reagen karena dibelakang mereka memang banyak disupply analisis sebelum melakukan kebijakan privatisasi di UK dan AS, sekira akhir 70-an atau awal 80-an...meskipun beberapa privatisasi juga dinilai gagal oleh sebagain kalangan... Kalo Reagen dan Thatcher melakukan privatisasi jika di runut ke belakangnya mereka mungkin terkait/terinspiras i dengan tokoh2 ideolog seperti yang sudah diinisisasi pemikirannya sekitar tahun 1947-an (CMIIW) gerakan Neolib oleh Friedrich Von Hayek, Ludwig von Mises, Milton Friedman dan Karl Popper (popper ini bisa dianggap mentornya George Soros kalo gak salah)...mereka ini membentuk Mont Pelerin Society yang kemudian ada semacam cabangnya di Institute of Economic Affairs , London dan Herritage Foundation di Washington DC. Hayek kemudain dapat nobel bidang ekonomi tahun 1974 sedangkan Friedman tahun 1976 Margaret Thatcher.(sedikit banyak mungkin dipengaruhi Keith Joseph yang deket ama Institute of Economic Affairs) .melakukan privatisasi diberbagai sektor yangs ebelumnya dianggap publik sekira tahun 1979 atau awal 1980-an dan disitulah UK sedikit banyak meninggal Negara Kesejaheraan dan meninggalkan aliran Keynesian... . Jadi justru sangat urgent bagi calon pemilih Capres menngusung ideology yg dia anut..ini akan lebih seru...kalo awal2 kemerdekaan ada tokoh amcam Syahrir yang jelas2 ambil posisi partai sosialis...kira2 kenapa ekonomi kerakyatan ini agak segam neybeut sosialis apakah memang beda atau memang alkergis aja thd sebutan sosialis? mohon pencerahannya heheh Pada 28 Mei 2009 15:47, dendi ramdani <dendiramdani@ yahoo.com> menulis: Karena udah disebut sama Kang Sulis, jadi enggak enak nih... Ada dua point yng diutarakan Mas Drajat diemail yg diforward Sulis. Pertama tentang bunga yang tinggi, dan fee yg besar untuk underwriter penerbitan surat utang di New York. Kedua, keputusan berutang dengan menerbitkan surat utang. Point yang kedua saya tidak akan komentari dulu disini. Komentar saya untuk poin yang pertama. Ada penjelasan kenapa bunga surat utang (obligasi) pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan surat utang pemerintah AS. Ini karena country risk negara Indonesia jauh lebih besar dari negara AS atau negara maju lainnya. Country risk ini berkaitan dengan semua hal yang mengarah pada kemampuan pemerintah Indonesia membayar utang dan bunganya. Jadi untuk mengkompensasi resiko yang tinggi, maka bunga sebagai imbalan harus juga tinggi. Bisa saja pemerintah menawarkan bunga sama dengan surat utang pemerintah AS, katakanlah 2%. Tapi, dampaknya adalah harga obligasi itu akan turun. Misalnya harga obligasinya tertulis 1 milyar dolar, karena permintaan rendah, maka harga turun. Pada akhirnya, penurunan harga obligasi akan sebesar jumlah untuk mengkompensasi bunga yang rendah tadi (2%). Jadi, tingkat bunga surat obligasi yang tinggi adalah hasil valuasi pihak-pihak yang berminat terhadap obligasi pemerintah RI. Ini penjelasan rasionalnya. Bukan stigmasasi (negatif) neolib... atau apalah... neolib ini bukan ideologi setan.... yang jelas-jelas setan itu ya koruptor... atau semacam orang pembuat kasus Lapindo atau perusak hutan yang harus di perangi. Sayangnya, banyak orang enggak tahu apa neolib, tapi dipelintir sehingga dia bagaikan setan yang menakutkan. Kalau diperhatikan semua ideologi, baik liberalisme (istilah neoliberal sebetulnya enggak ada dalam literature ekonomi politik, tapi dia lahir sebagai istilah yang digunakan para aktivis anti globalisasi) , maupun sosialisme, komunisme sekalipun mempunyai tujuan yang mulia yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, kemakmuran dan pemerataan. Cuma, mereka punya cara yang berbeda-beda, ada yg pakai sistem komando atau ada yang percaya sistem mekanisme pasar. Kalau ada yang salah, misalnya, dari ideologi komunis, itu adalah salah pemimpinnya yang yang kemudian jadi kurup dan diktator. Tapi, memang ideologi yang kemudian diturunkan menjadi sistem ekonomi-politik, kadang membuat rentan pemimpin atau orang-orangnya menyalahgunakan kekuasaan, seperti pada sistem komunis macam Cuba atau Korea Utara atau Uni Sovyet dulu. Nah, masalah sistem apa yang terbaik saya udah tulis perkembangan terakhir di note di facebook saya. Saya tidak bicara ideologi, karena ini sangat normatif dan abstrak, juga tidak bicara sistem ekonomi politik secara langsung karena sangat luas, tapi akan lebih jelas jika kita bicara kebijakan. dendi --- On Thu, 5/28/09, Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac a...@alumni. ui.ac.id> wrote: From: Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac a...@alumni. ui.ac.id> Subject: Re: [PPIBelgia] Fwd: [jurnalisme] Contoh PRAKTIK Neolib era SBY (kita dijadikan bangsa bebek) To: ppibel...@yahoogrou ps.com Date: Thursday, May 28, 2009, 11:18 AM Tong jadi kampanye terselubung neh hehehe..mana yg kelompok mendukung tag line lainnya hehhe ditunbggu nigh komentar BUng Dendi dan Bung Anis hehe Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/ -- Best regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/ -- Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/ -- Best regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/