Opini - Artikel  

29 Jun 04 01:22 WIB
Memahami Alih Kekuasaan Di Irak
WASPADA Online
http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=46751
 
Oleh A Fatih Syuhud *

DK PBB telah sepakat bulat pada 8 Juni lalu mengeluarkan sebuah resolusi yang 
diusulkan Amerika Serikat (AS) dan Inggris untuk mengakhiri pendudukan “formal” atas 
Irak pada 30 Juni dan mengalihkan “kedaulatan penuh” pada pemerintah interim Irak. 
Resolusi itu juga membolehkan pasukan multinasional berkekuatan 160.000 orang 
(kebanyakan Amerika) untuk menggunakan “segenap langkah yang diperlukan” dalam sistem 
“kerja sama” dengan pasukan Irak untuk membawa perdamaian. 
Resolusi ini sebelumnya telah mengalami empat kali revisi untuk menyesuaikan dengan 
tuntutan anggota DK PBB lainnya yang kurang puas dengan beberapa butir usulan yang 
diajukan. Prancis, misalnya, kurang sepakat dengan draft sebelumnya dan menginginkan 
agar supaya pemerintahan Irak mendapatkan hak veto penuh berkaitan dengan berbagai 
operasi yang dilakukan oleh pasukan AS-Inggris. Akhirnya kompromi dilakukan dan 
Prancis setuju dengan adanya pasukan multinasional yang “bekerja sama” dengan 
pemerintah Irak dalam “berbagai operasi ofensif yang sensitif”. Poin ini tampak 
terdengar kurang ofensif, tetapi tidak dapat mengklarifikasi berbagai permasalahan 
yang akan timbul. Sebagai contoh, apabila Marinir Amerika datang ke suatu tempat yang 
lagi kacau, dan Perdana Menteri Iyad Allawi meminta mereka untuk tidak melakukannya, 
apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan menarik pasukan, atau terus bertempur?

Resolusi itu membolehkan pasukan AS untuk menangkap dan menahan siapapun yang dianggap 
perlu ditahan pasca 30 Juni. Setelah tragedi Abu Ghuraib, hal ini jelas akan membuat 
perasaan was-was pada kalangan anggota pemerintah interim. Begitu juga, sebuah berita 
di CNN menyebutkan bahwa Jaksa Agung AS John Ashcroft sendiri telah mengirim 
memorandum pada presiden bahwa pemerintahnya tidak bertanggung jawab pada hukum 
internasional atau hukum AS dalam hal penyiksaan. Jelas ini merujuk pada tragedi 
penyiksaan di penjara Abu Ghuraib yang sempat begitu menggemparkan dan gemanya masih 
belum reda sampai saat ini. Sejumlah laporan juga menyatakan bahwa Iyad Allawi pernah 
membantu CIA menanam sejumlah bom di Baghdad pada tahun 1990-an. Kredibilitas apa yang 
akan dia dapatkan di Irak dan Timur Tengah? Sebelumnya, Pentagon mengandalkan semua 
harapannya pada Ahmad Challabi, yang terbukti bersalah dalam pemalsuan bank di Jordan 
dan yang saat ini dituduh AS telah menjadi mata-mata Iran.

Siapapun dapat melihat perasaan lega yang mendalam di pihak Amerika atas keluarnya 
resolusi 1546 DK PBB tersebut. Dan kita dapat merasakan hal yang sangat kontradiktif 
dan ironis kalau “perasaan lega” sikap AS ini kita bandingkan dengan gaya arogansi 
berlebihan yang ditunjukkan AS ketika mereka memasuki Irak setahun yang lalu. 

Apa yang didapat rakyat Irak dengan penaklukan Amerika selain dari lengsernya Sadam 
Hussein dan runtuhnya rejim partai Baath? Ketika mereka dijanjikan HAM (Hak-hak Asasi 
Manusia), yang mereka dapatkan penyiksaan di penjara Abu Ghuraib. Mereka menderita 
ribuan korban warga sipil. Alih-alih demokrasi, mereka malah mendapatkan penjajahan 
militer yang dilakukan pasukan asing. Alih-alih ketentraman dan kedamaian, mereka 
justru mendapatkan kekacauan yang tak kunjung henti. Secara ekonomis, mereka merasa, 
para kontraktor AS telah merampas hak-hak mereka dan karena itu mereka membunuh 
beberapa di antaranya, termasuk Nicholas Berg yang secara brutal dipenggal kepalanya. 

AS telah bertempur demi membebaskan dunia melawan fasisme dan Nazi Jerman dan menang. 
AS juga menang melawan komunisme. Tetapi semua unsur yang diperangi AS itu adalah 
ideologi filosofis yang terwujud dalam Negara-Bangsa. Hal yang sama juga terdapat 
dalam kasus Taliban di Afghanistan. Akan tetapi terorisme dan fundamentalisme Islam 
bersumber dari kepercayaan dan tekad individual. Keduanya tidak terwujud dalam bentuk 
negara-bangsa, dan tidak bisa kita mengidentifikasi terorisme atau fundamentalisme 
militan dengan sebuah negara. Oleh karena itu, Irak merupakan contoh terbaru dan 
tervalid tentang dapatkah kita memerangi terorisme? Dan apabila jawabnya positif, 
tidakkah sebaiknya ia dilakukan melalui langkah pengurangan (attrition); bukan melalui 
kendaraan lapis baja dan pengeboman udara?

Dalam soal Syiah, kebijakan Amerika dapat berakibat fatal. Letjen Ricardo Sanchez, 
komandan pasukan AS di Irak, mungkin telah melupakan sumpahnya untuk “menangkap atau 
membunuh Muqtada Al Sadr”. Al Sadr memang bukan seorang Ayatullah, tetapi dia 
merupakan putra dari seorang Ayatullah yang sangat dihormati yang, bersama dengan 
sejumlah besar keluarganya, terbunuh oleh kaki tangan Saddam. Spirit mati syahid jelas 
melekat kuat di kepala sang anak. Untungnya bagi Amerika, Al Sadr, yang memimpin 
pemberontakan bersenjata atas AS, tidak menerima dukungan dari Grand Ayatullah, Ali Al 
Husseini Sistani. Sebenarnya, Al Sadr telah mengusulkan untuk melucuti ‘pasukan 
Mahdi’-nya dan menurut seorang penulis Iran Amir Taheri, ia bahkan siap “untuk 
mengasingkan diri guna mencegah pertumpahan darah lebih lanjut”. Satu-satunya yang dia 
inginkan adalah intervensi penyelamat muka oleh kalangan Ayatullah. 

Bulan-bulan buruk bagi Amerika – pertempuran sengit di Fallujah, skandal penjara Abu 
Ghuraib, kejatuhan Challabi dari status ‘anak emas’ AS, dan pengunduan diri direktur 
CIA George Tenet – tampak akan berakhir. AS telah mulai menampakkan sikap menahan 
diri. Mereka sudah menyerahkan Fallujah pada pasukan Letjen Mohammad Latif dan tempat 
itu relatif agak tenang saat ini. Resolusi DK PBB juga menunjukkan bahwa mereka telah 
menyerah pada Syiah dan mencabut klausul tentang otonomi suku Kurdi di Irak utara. 

Nasib suku Kurdi ini sungguh patut dikasihani, karena George Bush Senior juga telah 
meninggalkan mereka berada dalam belas kasihan Saddam, yang menggunakan mereka sebagai 
umpan. Suku Kurdi juga menjadi korban pada tahun 1920-an, ketika mereka hampir 
memiliki tanah air sendiri. Kemudian, Winston Churchill, yang waktu itu sebagai 
sekretaris kolonial, mengebom suku Kurdi pada 1923 dengan gas mostar, ketika mereka 
memberontak saat mengetahui bahwa mereka tidak akan mendapatkan Negara Kurdi yang 
dijanjikan. Churchill berbicara tentang “bom yang dapat menyebabkan kecacatan fisik 
tetapi bukan kematian”. “Saya sangat mendukung penggunaan gas beracun terhadap 
suku-suku yang tidak beradab,” kata Churchill waktu itu. Dan sekarang Barat sibuk 
berbicara tentang senjata kimia Saddam Hussein.

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India. 




[Non-text portions of this message have been removed]




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70
http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.arsip.da.ru
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
     http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
     [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
     http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke