http://www.indomedia.com/bpost/042005/6/opini/opini1.htm Rabu, 06 April 2005 03:35
Pilihlah Aku, Kalian Kulupakan Oleh: Nasrullah SSosI "... pas sudah jadi, kada tahu-tahu culas kaitu tuh ...." Kalimat di atas merupakan kutipan dari percakapan dua perempuan melalui siaran salah satu stasiun radio di Banjarmasin, sebagai iklan kampanye pilkada langsung (pilkadal). Mencermati kalimat tersebut, sebenarnya bahan renungan bagi pemilih dalam menentukan siapa yang akan dipilihnya. Tahun ini, selain pemilihan gubernur dan wakil gubernur Kalsel, beberapa daerah di kabupaten melaksanakan pemilihan bupati. Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung, berarti keputusan siapa calon terpilih nantinya memang benar-benar ditentukan masyarakat. Oleh sebab itu, bisa kita saksikan semua pasangan calon giat-giatnya mencari dukungan. Ketika pilkadal berlangsung terutama saat kampanye, rakyat diperhatikan penuh oleh calon. Di setiap sudut kota, hampir tidak ada ruang pandang kosong dari baliho atau gambar raksasa berbagai calon. Entah itu pasangan calon gubernur dan wakilnya, atau calon walikota dan wakilnya. Tujuan mereka pada dasarnya hanya satu kalimat 'pilihlah aku'. Tidak hanya itu, calon pun turun ke wilayah pemilihan. Mereka membuka penglihatan, pendengaran, dan penciuman untuk merasakan setiap keinginan masyarakat. Mungkin, Khalifah Umar bin Khattab yang tengah malam sering mengunjungi rakyatnya, akan kalah cepat dengan aksi para calon pemimpin daerah. Mereka datang tidak sekadar mendengar keluhan masyarakat, tapi juga memberikan sejumlah bantuan untuk menunjukkan rasa kepeduliannya. Siklus Lima Tahun Sebenarnya terdapat kesamaan antara pilkadal dengan pemilihan tidak langsung, yang tolak ukurnya adalah masa jabatan selama lima tahun. Selama waktu itu, ada fase kemesraan oleh sang calon terpilih dengan para pendukungnya. Bedanya, pada pilkadal banyak pihak diharapkan terlibat dalam aksi dukung mendukung agar terpilih, rakyat dijerat, diikat, dan digiring ke dalam komunitas calon. Setidaknya ke dalam enam macam unsur yakni: (1) Partai, termasuk paling menentukan terutama dalam pencalonan seseorang; (2) Kelompok, di dalamnya bisa terdapat ormas atau kelompok keagamaan. Beberapa waktu lalu di Kota Banjarmasin terdapat sebuah spanduk dari kelompok ormas keagamaan, yang menyatakan mendukung salah satu pasangan calon gubernur; (3) Kerabat, unsur kekerabatan atau kekeluargan termasuk hubungan darah apalagi menyangkut tokoh adalah bagian penting untuk menarik dukungan. Buktinya, ada spanduk menyatakan, sudah saatnya juriat salah seorang tokoh agama memimpin Kalsel; (4) Etnis, seseorang atau kelompok etnis tertentu bisa juga dimanfaatkan. Penulis juga menemukan sebuah spanduk bertuliskan dukungan dari salah satu kelompok etnis tertentu di Kota Banjarmasin; (5) Lokalitas, otonomi daerah memicu isu lokalitas, terutama berkaitan dengan isu putra daerah. Pasangan calon akan sangat tidak menjual apabila keduanya diimpor dari luar daerah. (6) Pertemanan, persahabatan atau hubungan relasi ternyata juga penting, kalau tidak membantu dalam bentuk sokongan perolehan suara. Persahabatan bermanfaat terutama memberikan pemikiran atau bahkan memberikan dana. Hubungannya dengan siklus lima tahun antara calon terpilih dengan keenam unsur tersebut, yakni dalam bentuk 'aku - kami - kita - kalian - aku'. Pada fase awal, seseorang menjadi 'aku' karena keinginannya mencalonkan diri dengan berbagai dalih kemudian mendekati pihak tertentu yang seide sehingga membentuk 'kami'. Selanjutnya menjelang masa pemilihan, kelompok 'kami' diupayakan menggelinding seperti bola salju sehingga terjadilah 'kita'. Di sinilah masa-masa romantis atau bulan madu antara calon dan pendukungnya dimulai. Puncaknya di fase pertengahan, pemilihan langsung dimenangkan kelompok 'kita'. Luapan kegembiraan, bangga dan rasa haru berpadu. Setelah kemenangan menduduki kursi jabatan, terjadilah penurunan rasa kebersamaan. Jurang pemisah, semacam batas demarkasi pada pendukungnya lewat garis yang bernama birokrasi atau aturan protokuler, keakraban pun mulai memilih kelompok tertentu. Masa jenuh, ketika benar-benar menduduki puncak jabatan. Pengakuan kepada pendukungnya tidak lagi dengan 'kita', tetapi 'kalian' dan sejumlah retorika bisa dijadikan tameng untuk menghindar. Sebut saja alasan kesibukan kerja di kantor, urusan mendadak, atau lebih terhormat lagi berdalih mementingkan semua golongan termasuk kubu tidak mendukung, atau jabatan diembannya menyangkut tanggung jawab dan hajat hidup orang banyak. Akhir Kebersamaan Lontaran kekecewaan dari pendukung, seperti contoh petikan kalimat iklan radio di atas "... pas sudah jadi, kada tahu-tahu culas kaitu tuh ...," di saat seseorang memang berada pada puncak kebesaran atau sudah jadi (bhs Banjar). Dinding pemisah menganga lebar manakala berada pada fase ke-'aku'-an. Makin tinggi posisi seseorang, semakin mengecilkan keberadaan orang lain. 'Aku' menganggap orang lain sebagai rakyat saja. Seperti kata Emha Ainun Nadjib (Kompas, 17/2), ada kesombongan orang berkuasa. Lebih jauh dikatakan, ada semacam feodalisme naluriah di dalam diri kita. Kalau mendengar kata 'rakyat', tanpa sengaja langsung ada perasaan look down dan menemukan yang bernama rakyat itu ada di dasar jurang dari peta nilai yang kita kenal tentang kemanusiaan dan kebudayaan. Luka paling dalam dari rakyat adalah dilupakan, manakala mereka sebenarnya termasuk rakyat yang mendukung. Wajar seandainya rakyat dilupakan berasal dari kubu tidak mendukung, karena risiko politik. Ironis memang, padahal rakyat sebenarnya tidak terlalu meminta berlebihan atau pamrih. Kenyataan demikian memang sedikit terpublikasi, akan tetapi sedikit sekali orang membantahnya. Sebuah realita yang menyakitkan hati. Ironisnya pula, suatu ketika rakyat kembali dibujuk, dibikin bahagia dengan sesekali mengadakan silaturrahmi, makan bersama sambil mendengarkan kata sambutan orang yang sudah jadi. Setelah itu, digelar acara pemberian bantuan di bawah sorotan kilatan kamera bahkan foto bersama. Rakyat kembali digiring dalam kebahagian semu, kemudian mendekati masa akhir jabatan siklus lima tahun itu kembali terulang lagi. Terdapat kekhawatiran, rakyat akan dilupakan oleh yang mereka pilih, mereka dianggap hanya penjual suara. Menghindari itu, hanya dengan cara betul-betul selektif menentukan pilihan dan jangan asal telan omongan mereka. Kepada pasangan calon entah itu gubernur, bupati, walikota hingga kepala desa, bila terpilih semoga tidak menjadi kacang lupa akan kulitnya. Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Antasari, tinggal Banjarmasin Mail: [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/