http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701591.htm

 
Kartini dan Prolegnas Pro-Perempuan 


Oleh Ratna Batara Munti

DALAM rangka memperingati Hari Kartini, kiranya penting berefleksi sejauh mana 
negara telah sungguh-sungguh memberi perhatian terhadap masalah perempuan. 
Khususnya berkaitan dengan komitmen negara terhadap penghapusan berbagai bentuk 
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di negeri ini.

Di atas kertas, negara telah membuat komitmen sejak diratifikasinya Konvensi 
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui 
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 oleh Pemerintah Indonesia. Namun, sejauh 
ini belum banyak terobosan yang dilakukan, khususnya berkaitan dengan 
pelaksanaan Pasal 2 butir f dalam Konvensi yang menegaskan kewajiban negara 
untuk mengambil semua langkah yang tepat, termasuk legislasi, untuk mengubah 
atau menghapuskan hukum, peraturan, kebiasaan dan praktik yang 
mendiskriminasikan perempuan.

Masih banyak aturan kebijakan maupun rancangan perundang-undangan yang 
tergolong diskriminatif dan merugikan perempuan yang perlu diadvokasikan, 
seperti UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, Rancangan 
Undang-Undang (RUU) Pornografi dan Pornoaksi, serta RUU KUHP. Saat ini beberapa 
aturan tersebut akan menjadi prioritas pembahasan dalam Program Legislasi 
Nasional (Prolegnas) tahun ini, seperti yang ditetapkan dalam Prolegnas 
2005-2009 oleh Badan Legislasi DPR.

Kelompok perempuan yang menjadi target pelaksanaan aturan kebijakan tersebut 
tentunya sangat berkepentingan mengusung agenda-agenda Prolegnas pro-perempuan. 
Adapun agenda kelompok perempuan terhadap keempat RUU yang akan dibahas tahun 
ini sebagai berikut:

1. Kritisi RUU KUHP

RUU KUHP yang merupakan inisiatif pemerintah cenderung merugikan perempuan 
karena masih menempatkan pasal- pasal ketentuan kejahatan terhadap integritas 
tubuh perempuan sebagai semata-mata pelanggaran terhadap norma- norma 
kesusilaan/sopan santun dalam masyarakat.

Masalah kekerasan terhadap perempuan direduksi hanya pada masalah kesusilaan 
sehingga tidak semua bentuk kekerasan yang dialami perempuan diatur dalam RUU 
ini, misalnya pelecehan seksual dan bentuk-bentuk perkosaan yang dialami 
perempuan di luar dari yang dirumuskan. Selain itu, pendekatan RUU KUHP yang 
menitikberatkan pada lex generalis approach dirasakan sudah tidak mampu 
menjawab segala kebutuhan dalam masyarakat yang semakin kompleks sehingga 
memerlukan aturan yang lebih spesifik (lex specialis). Aturan yang lebih 
spesifik juga memungkinkan untuk sebuah pengaturan yang lebih komprehensif, 
yang tidak hanya mengatur aspek pidana, tetapi juga hukum acara, pencegahan, 
perlindungan, dan kompensasi terhadap korban.

Saat ini beberapa kelompok masyarakat tengah mengusulkan sejumlah RUU yang 
terkait dengan perluasan beberapa pasal dalam KUHP, seperti RUU Kesehatan, RUU 
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan RUU Perkosaan. Pendekatan lex generalis 
dan ambisi Tim Penyusun RUU KUHP untuk melakukan unifikasi hukum tentunya akan 
mengancam keberadaan RUU-RUU yang sedang diusulkan.

Ada kekhawatiran bahwa RUU KUHP akan mereduksi substansi penting yang tengah 
diperjuangkan melalui RUU-RUU tersebut maupun terhadap UU yang sudah ada, 
seperti UU PKDRT yang merupakan satu-satunya terobosan hukum yang berhasil 
diperjuangkan kelompok perempuan dalam kurun waktu 10 tahun.

2. Kritisi RUU Pornografi dan Pornoaksi

Kelompok perempuan sangat mencemaskan keberadaan RUU ini yang berangkat dari 
pandangan "moralitas-mainstream" ketimbang fakta terjadinya kekerasan terhadap 
perempuan dan anak dalam pornografi. Dengan definisi pornografi yang rancu dan 
tidak berangkat dari fakta yang ada, RUU ini pada akhirnya berpotensi 
mengkriminalisasikan kelompok-kelompok yang rentan menjadi korban pornografi.

Di sisi lain, rumusan ketentuan mengenai pornoaksi akan mengkriminalisasikan 
segala bentuk ekspresi diri dan ungkapan kasih sayang yang dijamin dalam hukum. 
Pendekatan yang digunakan dalam RUU ini seharusnya berangkat dari upaya 
melindungi integritas tubuh manusia yang menjadi korban/potensial menjadi 
korban.

Selain itu, yang seharusnya dikriminalisasikan dalam pornoaksi adalah dampak 
dari pornografi itu sendiri, yaitu berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti 
pelecehan seksual dan perkosaan, bukannya pembatasan ekspresi diri dan kasih 
sayang yang tentunya tidak mengandung unsur eksploitasi atau kekerasan, serta 
merupakan bagian dari hak-hak individu yang seharusnya dijamin kemerdekaannya.

Oleh sebab itu, penting untuk menegaskan bahwa tujuan dari UU ini adalah untuk 
menghentikan kekerasan yang berlangsung di tengah masyarakat, khususnya 
terhadap perempuan dan anak-anak yang rentan menjadi target eksploitasi.

3. Pentingnya Revisi UU Kesehatan

Sampai saat ini belum ada aturan yang eksplisit mengakui hak-hak reproduksi 
perempuan yang merupakan wujud dari hak perempuan untuk mengontrol tubuh dan 
seksualitasnya sendiri. Dalam UU Kesehatan hampir tidak diatur masalah 
kesehatan reproduksi perempuan, bahkan dalam KUHP akses terhadap informasi 
berkaitan dengan hak-hak reproduksi perempuan dibatasi dan perempuan yang 
menjalankan haknya untuk mengontrol tubuhnya sendiri serta melindungi 
kesehatannya justru dikriminalkan.

Oleh sebab itu, RUU Kesehatan yang mengoreksi UU Kesehatan maupun KUHP, yang di 
dalamnya memuat pengakuan terhadap hak-hak reproduksi perempuan, merupakan 
respons terhadap kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok perempuan yang 
menjadi korban karena ketiadaan perhatian pemerintah terhadap persoalan ini.

4. Pentingnya RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang

Ketiadaan hukum yang khusus mengatur masalah ini mengakibatkan meningkatnya 
jumlah kasus perdagangan dan tidak adanya penegakan hukum. Ironisnya, pihak 
yang seharusnya ditempatkan sebagai korban justru dituntut sebagai pelaku 
kejahatan, misalnya dalam kasus penyelundupan narkoba, pelacuran, pelanggaran 
tindak pidana kesusilaan, atau pornografi. Aturan yang diberlakukan, seperti 
Pasal 297 KUHP, tidak efektif dalam menjerat pelaku perdagangan orang yang 
sifatnya terorganisasi sehingga upaya pemberantasan kejahatan ini tidak 
tercapai.

Saat ini fenomena perdagangan perempuan dan anak semakin mengerikan, sedangkan 
modusnya semakin beragam, terutama setelah krisis ekonomi dan bencana alam di 
berbagai wilayah di Indonesia. Di Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 orang yang 
menjadi perempuan yang dilacurkan dan 62,7 persen dari jumlah tersebut atau 
sekitar 4.200 berasal dari Indonesia, dan 40 persennya merupakan anak berusia 
di bawah 18 tahun (Laporan Komnas Perlindungan Anak per Maret 2005).

Dalam RUU Tindak Perdagangan Orang yang akan dibahas, penting untuk 
mengkriminalisasi seluruh tindakan yang dilakukan dalam proses perdagangan, 
termasuk cara dan bentuk-bentuk eksploitasi sebagai tujuan dari perdagangan 
orang. RUU seharusnya tidak menerapkan syarat apa pun kepada korban anak dan 
perempuan untuk dikategorikan sebagai korban, misalnya korban dianggap 
"sukarela".

Komitmen negara

Memasuki bulan keempat, belum ada perkembangan yang berarti dari pembahasan 
keempat RUU tersebut. Khususnya RUU tentang Perdagangan Orang dan RUU Kesehatan 
yang mendesak untuk segera disahkan menjadi UU. Kiranya penting untuk menuntut 
komitmen negara dengan terus mendesakkan agenda Prolegnas pro-perempuan 
sehingga upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan 
benar-benar dapat terwujud.

Ratna Batara Munti Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan dan 
Direktur LBH-APIK Jakarta


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke