http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/20/opi02.html
Bias Politik di Balik Perombakan Birokrasi Oleh Robert Endi Jaweng Setelah tiga bulan dilakukan profile assessment atas sekitar 595 pejabat eselon satu di hampir semua kementerian/departemen, hari-hari ini mulai terlihat pergantian atau pemindahan sejumlah pejabat setingkat Sekjen, Dirjen/Deputi, Irjen, Kepala Badan dan Staf Ahli. Ikhtiar besar ini dimaksudkan agar mesin pemerintahan bisa bergerak secara padu, utuh dan efektif. Mengutip keterangan Presiden Yudhoyono, belum membuminya berbagai visi, misi dan program pemerintahannya di lapangan bukan disebabkan oleh kelemahan para menteri menerjemahkannya dalam desain kebijakan, tetapi karena tak mampunya aparat birokrasi mengambil tindakan kongkrit di lapangan. Maka setiap rekam jejak para birokrat struktural diperiksa dan dinilai, kemudian diputuskan apakah tetap dipertahankan, dipindah, atau diganti sama sekali. Perombakan birokrasi patut kita sambut baik. Di mana pun orang pasti berharap pemerintahan berjalan efektif dan tangkas dalam melayani masyarakatnya. Kepercayaan yang diberikan rakyat kepada Presiden Yudhoyono lewat Pemilu, di mana perubahan ke arah yang lebih baik menjadi tema sentral, hendak dilihat realisasinya lewat kerja nyata aparatnya. Perombakan eselon strategis semacam itu bisa menjadi pintu masuk agenda besar reformasi birokrasi itu sendiri. Hal ini amat penting mengingat setelah pranata politik mengalami pembaruan cukup maju, birokrasi justru masih dengan watak status quo-nya. Bahkan, pada batas tertentu berlangsung fenomena degradasi secara politik, moral dan kinerja. Pada sisi lain, kritikan atas cara pemerintah menjalankan upaya perombakan tersebut juga patut dikemukakan. Dalam hal metode, penggunaan Tim Penilai Akhir (TPA) sebagai pengganti Badan Pertimbangan Jabatan Nasional (Baperjanas) di masa lalu tampaknya tak sekadar sebagai tim perantara yang bertugas membantu Presiden sebagai pemegang manajemen kepegawaian tunggal (UU No.43/1999), tapi terlibat cukup jauh dalam pemberian kata putus. Membangun Blok Melihat proses yang ada saat ini, di mana daftar nama pejabat yang akan diganti/diangkat ada pada wakil presiden dan masing-masing menteri yang menjadi atasannya, Presiden hanyalah mendapat hasil akhir untuk dimintai persetujuan. Setiap men-teri memiliki acuan dan bahkan kepentingan berbeda dalam menilai seseorang. Maka standar mutu menjadi tidak seragam. Ditambah lagi penilaian atas kelayakan seseorang itu tidak didasarkan pada fit and proper test secara langsung terhadap yang bersangkutan tetapi hanya dengan mendengar penjelasan menteri terkait dalam TPA. Segala potensi problem ada di tahapan ini. Dengan metode semacam itu, kita sedang menyaksikan bagaimana para menteri yang berasal dari partai berbeda sedang membangun blok duku-ngannya sendiri-sendiri dalam departemen yang mereka pim-pin. Pertimbangan politik atau kedekatan pribadi lalu menjadi dasar penilaian ketimbang profesionalisme. Hasilnya bukan tak mungkin para pejabat baru di suatu departemen didominasi oleh orang-orang politik atau dekat secara politik dengan menterinya, baik yang berada di dalam departemen itu maupun mereka yang berasal dari luar departemen. Pejabat karir/profesional yang dengan susah payah membangun reputasi kerja dan moral bisa tersingkir dalam proses yang bias politik ini. Politik sekali lagi memainkan peran penundukannya atas birokrasi, dan supremasi partai-dengan segala eksesnya-mendapatkan ruang kepentingannya. Dari sini lahir teori excecutive-ascendancy (Carino, 1994), yang intinya adalah subordinasi birokrasi terhadap politik, dan penerimaan wajar akan politisasi aktor/kepentingan politik atas aparat/urusan birokrasi. Di negara kita, pengalaman itu berjalan nyaris sempurna. Seorang pakar studi birokrasi dari UI, Mahrus Irsyam (2000), mencatat 3 tipologi politisasi yang pernah ada. Pertama, politisasi-terbuka, di mana para elite partai bersaing merebut posisi birokrasi, pertama-tama melalui jabatan menteri di suatu departemen untuk kemudian mempengaruhi dan menarik para staf di dalamnya ke kelompok politiknya. Modus ini familiar terjadi pada masa demokrasi parlementer (1950-1959). Pemimpin PNI berusaha merebut jabatan di Kementerian Dalam Negeri dan Pertanian, PSI di Kementerian Luar Negeri, NU dan bergantian dengan Masyumi di kementerian Agama, dan seterusnya. Kedua, politisasi semi-terbuka, yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965), di mana area kompetisi jadi lebih sempit yakni terbatas pada partai aliran nasionalis, agama dan komunis, terutama lagi PKI yang secara formal memiliki hak untuk menempatkan sejumlah tokohnya ke dalam kabinet dan melakukan politisasi birokrasi. Tentangan militer dan aliran lain (nasionalis dan agama) yang cukup kuat membuat politisasi itu berjalan tak langsung, di mana Soekarno yang memberi angin kepada komunis, mencari jalan dengan menempatkan tokoh organisasi satelit PKI seperti Baperki memimpin departemen dan melakukan politisasi. Ketiga, tipologi tertutup, berlangsung pada masa Orde Baru. Modusnya: pejabat pemerintah dari Presiden Soeharto sampai para Kepala Desa/Lurah menjadi anggota sekaligus pembina Golkar. Ia bersifat tertutup, sebab hanya Golkar yang bisa melakukan politisasi. Dua partai lain, PPP dan PDI, tak berkesempatan, karena ada ketentuan bagi aparat birokrasi untuk tidak menjadi anggota partai, kecuali-dalam realitasnya-dukungan tunggal kepada Golkar yang memang tidak pernah menyatakan dirinya sebagai parpol. Di sini, tidak saja Golkar menguasai kabinet dan mempolitisasi para aparatnya, tetapi bahkan sejak mereka mulai diterima sebagai pegawai negeri sudah "otomatis" menjadi anggota Golkar. Masuk ke era reformasi saat ini, politisasi birokrasi tak kunjung berkurang. Hampir semua partai besar memiliki kepanjangan tangan dalam birokrasi, baik departemen (dari jabatan menteri sampai sekjen/dirjen), lembaga non-departemen (terutama BUMN), maupun di daerah (pengangkatan sekda yang mensyarakatkan adanya pertimbangan DPRD). Hubungan Bermasalah Masih berlanjutnya hubungan-bermasalah birokrasi dan politik ini patut disesali. Kita lupa, transformasi besar-besaran yang berlangsung di ranah politik tidak hendak diimbangi dengan gerak perubahan serupa di tingkat kelembagaan (struktur dan kultur) birokrasi. Transformasi itu, misalnya, adalah munculnya sistem multi partai yang menghasilkan para pejabat yang berasal dari partai berbeda dalam struktur pemerintahan. residen dan wakil presiden jelas berbeda partai, para menteri juga merupakan hasil dagang-sapi (koalisi) bermacam-macam partai, demikian pula antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selalu merupakan hasil paket antara dua atau lebih partai. Dalam peta semacam itu, konfigurasi kepentingan akan bermacam-macam, bahkan berbeda dan saling bersaing. Menuju birokrasi profesional, yang antara lain ditandai oleh berkurangnya upaya politisasi atasnya, membutuhkan keterlibatan peran banyak pihak. Dalam konteks prombakan birokrasi ini, peran dimaksud berasal dari Presiden, Wapres dan para menterinya. Penempatan birokrasi di bawah politik semata-mata bertujuan apa yang menjadi visi pemimpin yang dipilih rakyat (pejabat politik) bisa diimplementasikan secara selaras di tingkat administrasi pelaksanaan (birokrasi), dan agar mesin pemerintahan berjalan secara terpadu dan efektif. Inilah maksud "kontrol objektif" politik atas birokrasi, dan bukan "kontrol subjektif" untuk menggiring dukungan birokrasi kepada kepentingan diri/ partai asal presiden/wapres/menteri. Penulis adalah peneliti KPPOD dan Ketua Institute for Local Development (ILD), Jakarta Copyright © Sinar Harapan 2003 [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/