Tragedi 14 Mei 1998 

Oleh Rosihan Anwar

BERKAITAN dengan Hari Pers Nasional 9 Februari 2003,
saya sampaikan pengalaman sejumlah wartawan Indonesia
tanggal 14 Mei 1998 yang disebut dalam sejarah sebagai
Jakarta s infamous May riots.

Lima tahun lalu, sejumlah wartawan tergesa-gesa balik
dari Solo ke Jakarta, menumpang kereta api Argo Lawu,
Kamis pagi 14 Mei 1998. Mereka baru satu hari
menghadiri lokakarya pers, dan mengeluarkan Deklarasi
Wartawan yang dirumuskan Tribuana Said. Deklarasi itu
menyatakan, kemerdekaan pers berdasar hak asasi
manusia harus ditegakkan.

Ketika para wartawan berangkat dari Bandara
Soekarno-Hatta, 12 Mei menuju Solo, tak kurang 6.000
mahasiswa berdemonstrasi menuntut turunnya Presiden
Soeharto. Mereka adalah wartawan senior: Djafar
Assegaff, RH Siregar, Samuel Pardede, Sinansari Ecip,
Tarman Azzam, August Parengkuan, dan saya sendiri.
Ikut rombongan, Rani D Sutrisno, pengelola cafe Club
45, Jalan Merdeka Timur 17.

Seraya Argo Lawu melaju, mereka ingat demo mahasiswa
Universitas Trisakti Selasa 12 Mei. Pukul 17.45 empat
mahasiswa tewas tertembak peluru tajam aparat. Keempat
mahasiswa itu Hendriawan Sei (20), Elang Mulya (19),
Hafidin Royan (21), Hery Hartanto (21) dinamakan:
Pahlawan Reformasi. Saat dimakamkan 13 Mei, beberapa
tokoh yang mendukung aksi mahasiswa seperti Amien
Rais, Emil Salim, Buyung Nasution, datang di kampus
menyampaikan belasungkawa.

Mereka juga ingat pertemuan Presiden Soeharto dengan
masyarakat Indonesia di Kairo malam 12 Mei.

Soeharto berkata "Jika rakyat tidak lagi percaya pada
saya, tidak apa-apa, ya sudah. Saya tidak akan
berkuasa terus dengan kekuatan senjata. Bukan seperti
itu. Saya akan menjadi pandito, mendekatkan diri
kepada Tuhan". Harian Kompas lalu memberitakan:
Soeharto Siap Mengundurkan Diri.

Berpacu dalam Argo Lawu!

Kereta api melaju. Cirebon sudah lewat. Wartawan yang
punya HP memonitor perkembangan Jakarta. Siregar dan
saya tak punya HP, jadi menerima informasi dari tangan
kedua. Beritanya: di Jakarta, dari pagi pukul 09.00
terjadi kebakaran, dimulai kobaran asap di Grogol.
Toko-toko di daerah Kota milik Tionghoa dibakar dan
isinya digedor. Jalan Kapten Tendean dan Jalan Warung
Buncit penuh penjarah. Swalayan Golden Truly jadi
sasaran. Huru-hara merebak di DKI Jakarta.

Argo Lawu berjalan pelan saat memasuki Bekasi. Toko
Swalayan Yogya yang letaknya dekat rel kereta api
mengepulkan asap. Rakyat yang menjarah menggotong
kulkas, pesawat televisi, mebel, dan barang lain. Saya
tak melihat aparat keamanan. Tiada Polri dan TNI.
Apakah Pangdam Jaya Mayjen Syafrie Syamsuddin lalai
melakukan tugasnya?

Jendela Argo Lawu dilempari batu. Karena kacanya
tebal, hanya timbul keretakan. Plaza Central Klender
terbakar. Suasana mencekam amat terasa.

Para wartawan di Argo Lawu lewat HP sibuk cari
informasi. Di stasiun mana yang aman turun? Jatinegara
atau Gambir? Selagi kereta api masih bergerak, sebelum
sampai di Jatinegara Djafar Assegaff telah meloncat ke
bawah. Ia dijemput keluarganya. Tarman Azzam berbuat
yang sama, meloncat di Jatinegara. Tetapi Siregar,
Sinansari, August Parengkuan dan saya terus ke Gambir.

Siregar dan Sinansari pulang bersama dalam bus. August
dan saya menitipkan koper di Cafe Club 45, lalu
berjalan kaki pulang. Rani D Sutrisno pengelola kafe
juga berjalan kaki menuju Kemang. Cucu saya, Dhira
beserta temannya Ame telah menunggu dekat Patung Tani,
Menteng, tetapi karena saya mengambil jalan lain, kami
tidak saling jumpa. Dhira khawatir karena ia melihat
rakyat menjarah toko Hero, mengangkat barang jarahan
dengan trolley dan Opa tak kunjung muncul. Padahal
saya dan August berjalan pelan menyusuri rel kereta
api Gambir-Cikini.

Kami berpapasan dengan pemuda pemudi yang baru
menyaksikan huru-hara. Mereka mengenali saya, berhenti
sebentar, bercerita tentang apa yang mereka lihat. Hal
itu terjadi beberapa kali. August heran karena banyak
orang menyapa saya. Kami selamat sampai Jalan Surabaya
13. Saya ucapkan terima kasih kepada August yang setia
menjaga saya. Ia lalu naik motor ojek menuju redaksi
Kompas.

Selama hari-hari berikut saya memantau perkembangan.
Saya telepon teman-teman yang punya inside
information, saya ikuti berita media cetak dan
elektronik, dalam dan luar negeri. Memang, saya tak
punya koran lagi, karena harian Pedoman dilarang
terbit oleh Soeharto tahun 1974, tetapi naluri
wartawan belum padam. Maka, saya berusaha berada on
top of the news. Saya merasa bangsa Indonesia sedang
menghadapi suatu perubahan dalam sejarahnya. Apakah
yang terjadi selanjutnya? Beberapa catatan selayang
pandang menyusul.


PRESIDEN Soeharto kembali dari konferensi G-15 di
Kairo, Jumat pagi 15 Mei. Dari Bandara Halim
Perdanakusuma ia dikawal konvoi puluhan kendaraan. Di
tengah jalan dia melihat puing-puing kehancuran gedung
akibat huru-hara 14 Mei. Dia belum punya gambaran
tentang kasus-kasus perkosaan terhadap perempuan
keturunan Tionghoa. Setibanya di Cendana dia bicara
dengan Jenderal Wiranto, lalu dengan keempat Menko. Ia
instruksikan harga BBM (bahan bakar minyak) segera
diturunkan untuk meredakan gelombang demo.

Hari Jumat itu Soeharto tahu para pemimpin NU telah
mengeluarkan keterangan pers yang memuji Presiden
karena bersedia melepas jabatan. Hari itu Soeharto
tahu, tiga grup Golkar yakni Kosgoro, KNPI, dan
sejumlah veteran tiada lagi mendukungnya.

Hari Sabtu 16 Mei Soeharto menerima delegasi para
rektor universitas seluruh Indonesia di Istana.
Delegasi dipimpin Rektor UI Asman Boedisantoso yang
memberitahukan, tawaran Presiden untuk mundur mendapat
sambutan baik di kalangan mahasiswa.

Soeharto menerima tamu berikut, Ketua MPR/DPR Harmoko
yang disertai empat wakil ketua: Abdul Gafur, Syarwan
Hamid, Ismail Hasan Metareum, Fatima Achmad. Harmoko
minta Soeharto mengundurkan diri. Soeharto terkejut
melihat sikap Harmoko. Ia telah membesarkan Harmoko,
kini Harmoko membelot.

Sebenarnya Harmoko melakukan patricide. Dalam drama
Yunani klasik orang membunuh bapaknya dulu sebelum
naik berkuasa. Itulah patricide atau "bunuh bapak".
Harmoko telah mengerjakannya tahun 1973 saat di
Kongres Tretes, dia mengambil alih pimpinan PWI
sebagai langkah pertama perjalanan kariernya menjadi
Menteri Penerangan, Ketua Umum Golkar, dan Ketua
MPR/DPR.

Pelaku baru muncul di pentas yaitu tokoh Islam Prof
Nurcholish Madjid. Tanggal 14 Mei dia diundang Kaster
ABRI Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan
situasi. Buntut pertemuan itu, Nurcholish mengadakan
konferensi pers tanggal 16 Mei, menyerukan Soeharto
supaya diadakan pemilu untuk membentuk DPR/MPR baru.

Para wartawan yang biasa meliput di Mabes ABRI
mendapat siaran pers yang sumbernya tak jelas; isinya
menyatakan, ABRI mendukung pandangan NU. Panglima
Kostrad Letjen Prabowo menyampaikan pendapatnya kepada
Soeharto bahwa press release itu berarti ABRI minta
Presiden turun.

Soeharto menanyakan kepada KSAD Subagyo apakah hal itu
benar? Subagyo membantah. Wiranto juga menyatakan
sikap serupa. Rupanya ABRI belum mau menyatakan secara
terbuka kepada siapa dia berpihak.

Hari Minggu 17 Mei, sebuah delegasi mahasiswa menemui
Harmoko di Gedung MPR/DPR, mereka menuntut agar
Soeharto turun. Harmoko lalu mengadakan konferensi
pers bersama para deputinya. Pimpinan DPR itu
mengimbau Soeharto bertindak arif dan melakukan hal
yang benar yakni berhenti.

Hari Senin 18 Mei, penonton televisi melihat Jenderal
Wiranto mengatakan bahwa statement Harmoko itu
pendapat pribadi, bukan institusi, tak punya dasar
hukum. Hari Senin itu Nurcholish Madjid diundang ke
Cendana. Soeharto setuju dengan usul Nurcholish untuk
mengadakan pemilu. Tapi, usul itu telah dikejar
kejadian-kejadian yang berlangsung cepat.

Hari Selasa 19 Mei pukul 09.00 malam, sembilan
pemimpin golongan Islam diundang ke Cendana bertemu
Soeharto yang mengungkapkan rencana membentuk Komite
Reformasi dan Kabinet Reformasi. Para pemimpin Islam
tak mau ikut.

Hari Selasa paginya Ginanjar Kartasasmita bersama para
menteri ekonomi bertemu di Gedung Bappenas. Ke-14
menteri, di antaranya Akbar Tandjung, membuat memo,
berisi pernyataan menarik diri dari kabinet. Ginanjar
cs diketahui berpihak kepada Wapres BJ Habibie.


AMIEN Rais membatalkan rencananya menggelar demo satu
juta orang di Lapangan Monas hari Rabu tanggal 20 Mei.
Tempat itu telah dijaga ketat oleh ABRI. Rabu Sore
Harmoko menyampaikan ultimatum ketiga kalinya, kalau
Soeharto tidak turun, ia akan menggelar Sidang
Istimewa MPR yang bisa memecat Presiden.

Dari Amerika ada berita bahwa Menlu Madeleine Albright
dalam pidato di Virginia menyerukan, Presiden Soeharto
supaya turun. Memo Ginanjar cs yang disimpan oleh
Sekneg Saadilah diperlihatkan kepada Soeharto.
Presiden kaget sekali.

Pukul 09.00 malam, Saadilah dan Yusril Ihza Mahendra,
penulis pidato Presiden yang bekerja di Sekretariat
Negara, melaporkan bahwa dari 45 orang yang mereka
hubungi untuk duduk dalam Komite Reformasi hanya tiga
orang yang bersedia. "Ya sudah, kalau begitu saya
mengundurkan diri," kata Soeharto.

Pukul 11.00 malam, Soeharto memanggil Saadilah,
Mahendra, dan Wiranto untuk menyampaikan keputusannya
untuk lengser dan menyerahkan kekuasaan kepada
Habibie.

Hari Kamis 21 Mei sekitar pukul 06.00 pagi telepon
saya berdering. Rani D Sutrisno memberitahukan
"Soeharto sudah turun, Om". Lalu menyusul telepon dari
teman saya Soedarpo Sastrosatomo "it's all over".

Saya tonton televisi. Adegan yang ditayangkan ialah
penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada
Wakil Presiden BJ Habibie di Istana Negara, disaksikan
oleh Ketua Mahkamah Agung Sarwata. Habibie diambil
sumpahnya. Wiranto tampil di depan mikrofon, berjanji
bahwa ABRI menjamin keselamatan dan kehormatan mantan
Presiden, termasuk Soeharto dan keluarganya. Di layar
TV tampak Soeharto bersama putrinya Tutut meninggalkan
istana.

Tamatlah riwayat orang yang secara
otoriter-diktatorial feodalistik Jawa memerintah
Indonesia 32 tahun. Seminggu setelah huru-hara 14 Mei
1998, Soeharto lengser akibat perlawanan mahasiswa dan
rakyat yang muak dengan penguasa korup, munafik, serta
arogan.

Rosihan Anwar, wartawan senior, tinggal di Jakarta.

Kompas
Sabtu, 08 Februari 2003 

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/08/opini/119648.htm






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke