=================================================================== Fwd: http://groups.yahoo.com/group/tionghoa-net/message/34970 ===================================================================
English Version is available here: http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html Indonesian version Petisi kepada Pemerintah Belanda untuk Mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, dan meminta maaf atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949 dan bukan 17 Agustus 1945. Selama ini rakyat dan para pemimpin Republik Indonesia tidak pernah memperhatikan atau menyadari, bahwa tidak satu kali pun ada Duta Besar Belanda yang pernah menghadiri Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang setiap tahun dilakukan tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka dan dihadiri oleh para Diplomat luar negeri. Ketika balatentara Dai Nippon menyerbu ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, pada 9 Maret 1942 di Pangkalan Udara Kalijati dekat Subang, Jawa Barat, Jenderal Hein ter Poorten sebagai Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, secara resmi menandatangani dokumen MENYERAH TANPA SYARAT kepada tentara Jepang. Tentara Belanda yang "perkasa" secara sangat pengecut dan memalukan, hampir tanpa perlawanan sedikit pun, menyerah kepada tentara Jepang. Sangat memalukan bagi mereka, karena dengan demikian hilanglah mitos superioritas ras kulit putih, yang telah menyatakan diri sebagai ras unggul yang tak terkalahkan, ternyata dapat dikalahkan oleh bangsa Asia! Dengan demikian Belanda telah kehilangan haknya atas India-Belanda, Fakta ini menunjukkan, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya dan melindungi rakyatnya. Hal ini dapat terjadi juga antara lain disebabkan karena Pemerintah India-Belanda keras kepala dan menolak mobilisasi serta mempersenjatai rakyat Indonesia, sebagaimana diusulkan oleh banyak pemimpin bangsa Indonesia yang telah memperkirakan bahwa Jepang akan melancarkan agresi militernya ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia, yang masih dijajah Belanda. Jepang kemudian juga menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen kapitulasi tersebut baru ditandatangani pada 2 September 1945, di atas kapal Missouri di Tokyo Bay. Tentara Sekutu yang ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang pertama kali mendarat di Jakarta pada 29 September 1945, dan bahkan Brigade "The Fighting Cock" di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby baru tiba di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, di mana pada saat itu, seluruh tentara Jepang di Surabaya telah dilucuti oleh rakyat Indonesia. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat Vacuum of power di seluruh wilayah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda. Di masa Vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, dan pada 18 Agustus membentuk pemerintahan, dengan pengangkatan Ir. Sukarno sebagai Presiden dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden, sehingga dengan demikian tiga syarat untuk pembentukan suatu negara telah terpenuhi, yaitu: 1. Adanya wilayah, 2. adanya penduduk, dan 3. adanya pemerintahan. Dengan menyerahkan jajahannya secara resmi kepada Jepang, maka Belanda telah kehilangan segala legitimasinya atas wilayah tersebut. Oleh karena itu, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka hal ini bukanlah merupakan suatu pemberontakan terhadap Belanda, sebagaimana digarisbawahi oleh delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Lambertus Nicodemus Palar, dalam Memorandum yang disampaikan dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada 20 Januari 1949, setelah agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948. Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda yang tetap ingin menjadi penguasa di Indonesia, tidak henti-hentinya melakukan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai jajahannya kembali, baik melalui aksi militer, maupun melalui jalur diplomasi di PBB. Upaya Belanda tersebut, awalnya didukung oleh Inggris dan Australia yang menyalahgunakan kewenangan sebagai tentara Sekutu (Allied Forces). Dengan kekuatan 3 Divisi Inggris (British-Indian Divisions) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dan 2 Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie Morsehead mereka berusaha menghancurkan kekuatan bersenjata republik Indonesia. Namun sejarah mencatat, bahwa upaya mereka tidak berhasil, dan kemudian menyerahkannya kepada Belanda mulai tahun 1946. Dalam kurun waktu 1946 sampai 1949, di mana tentara Belanda, KL dan KNIL melakukan berbagai agresi militer dalam upaya yang sia-sia untuk mengancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI), banyak terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda yang masuk dalam kategori sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), seperti peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947 dan di Rawagede pada Desember 1947, yang sekarangpun masih dapat dimajukan ke pengadilan kejahatan internasional, karena merupakan kejahatan perang (war crimes). Perjuangan di bidang bersenjata dan di bidang diplomasi para pemimpin Republik Indonesia serta tekanan dari dunia internasional akhirnya memaksa Belanda ke meja perundingan. Pada 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang menghasilkan keputusan a.l. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia menjadi satu Negara bagian di samping 14 negara boneka bentukan Belanda. Pemerintah Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah RIS. Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam di Amsterdam, Belanda, Juliana "melimpahkan kedaulatan" (Soevereniteitsoverdracht) kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, dan paralel dilakukan di Batavia/Jakarta, di mana Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Lovink "menyerahkan kedaulatan" kepada Wakil Perdana Menteri RIS Hamengku Buwono IX. Namun sejak itu, satu per satu negara-negara boneka bentukan Belanda dipaksa oleh rakyat untuk dibubarkan, atau sukarela membubarkan diri, dan pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran negara federal Republik Indonesia Serikat. Pada 17 Agustus 1950, dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945. Dengan demikian Pemerintah belanda sekarang berhubungan dengan Republik Indonesia (NKRI), dan bukan dengan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS). Demikianlah sejarahnya mengapa Belanda sampai sekarang tetap tidak mau mengakui bahwa kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Hal ini merupakan pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia, dan penghinaan terhadap martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu, pada 60 tahun Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pelecehan dan penghinaan tersebut harus diakhiri! Bangsa Indonesia MENUNTUT PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI KEMERDEKAAN RI 17 AGUSTUS 1945, DAN MEMINTA MAAF ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, PELANGGARAN HAM BERAT DAN KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN. Bagi yang setuju dengan petisi ini, harap membubuhkan nama dan alamat emailnya dalam petisi ini. Batara R. Hutagalung Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia Ikuti petisi ini di http://www.petitiononline.com/brh41244/petition-sign.html? ============================================================== http://groups.yahoo.com/group/tionghoa-net/message/34971 ============================================================== Ada beberapa pertanyaan yang sering dimajukan kepada saya, yaitu I. Banyak yang menanyakan, mengapa kita menuntut Belanda meminta maaf atas PERBUDAKAN. Rupanya banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui, bahwa di masa penjajahan Belanda di Bumi Nusantara selama ratusan tahun ada perdagangan budak, dan bahkan pada tahun 1642, Belanda (VOC) mengesahkan Undang-Undang Perbudakan. II. Bagi yang mendukung petisi MENUNTUT PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI KEMERDEKAAN RI 17.8. 1945 DAN MEMINTA MAAF KEPADA BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, PELANGGARAN HAM DAN KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN, cara mengisi nama dalam daftar petisi. 1) Klik: http://www.PetitionOnline.com/brh41244/petition.html 2) Klik: Sign the petition 3) Preview your signature 4) Approve signature 5) Selesai Di bawah ini saya lampirkan tulisan mengenai perbudakan di Nusantara selama penjajahan Belanda. Wassalam Salam Shalom Namo Buddhaya Om Santi, Santi Batara R. Hutagalung ---------------------------------------------------------------------- Perbudakan di zaman penjajahan Belanda Oleh Batara R. Hutagalung Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perdagangan budak diresmikan, di mana hak-hak pemilik budak dan "hak-hak" budak dikukuhkan dengan Undang-Undang. Menurut Undang-Undang Perbudakan tersebut, dari hasil kerjanya, seorang budak dapat "membeli" kemerdekaannya dengan harga tertentu. Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak. Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu. Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih. Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d'Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Para pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak. Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, puluhan juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%. Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda. Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda "menerima kembali" India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak. Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya. Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah penjajahan Inggris. Tahun 1828 tercatat 6.170 budak di Batavia. Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Dying to be thin? Anorexia. Narrated by Julianne Moore . http://us.click.yahoo.com/FLQ_sC/gsnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/