selamat untuk pak kuslan!
 
saya pernah bertamu ke rumahnya pak kuslan, sang pengarang/pelukis hidupnya 
sederhana dan bersahaja.

Joko Surendro <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
RESENSI - KUSLAN BUDIMAN KEMAS SEJARAH DALAM CERITA Oleh Mulyo Sunyoto  


Selama rezim Orde Baru (Orba) berkuasa, penulisan sejarah dilakukan berdasarkan 
tebang pilih. Maksudnya, mana peristiwa sejarah yang menguntungkan sang rezim, 
kejadian itulah yang ditulis dan diajarkan di sekolah-sekolah. 

Buku-buku pelajaran sejarah dan teks sejarah yang beredar di masyarakat adalah 
kisah yang pro-kemapanan dan merupakan bagian penting dari politik memori sang 
penguasa. Anak-anak sekolah, dan masyarakat umum digiring untuk hanya mengingat 
sejarah kemasan pemerintah. 

Lantaran Orde Baru berdiri di atas bangkai komunisme Indonesia, atau ideologi 
kiri, maka hampir semua tulisan yang mewakili suara kaum kiri dilarang.

Publik yang terindoktrinasi penguasa juga sensitif terhadap buku-buku sejarah 
alternatif. Akibatnya, orang awam yang anti-komunis itu dengan gagah berani 
mendatangi toko-toko buku yang memajang buku berlabel kiri. 

Pembakaran buku menjadi konsekuensi logis atas sikap anti-komunisme itu.

Sejarawan Asvi Warman Adam, setelah penguasa Orde Baru runtuh, menyadarkan 
masyarakat bahwa selama ini benak pelajar dipenuhi oleh sejarah pemberontakan. 

Di mana-mana ada pemberontakan dan biang keladinya kalau bukan ekstrem kiri, 
kaum komunis, ya ekstrem kanan, orang-orang Islam yang berniat mendirikan 
negara Islam. 

Istilah ekstrem kanan, yang diperkenalkan penguasa Orde Baru, untuk merujuk 
pada kekuatan Islam yang tertindas dan berniat membangun negara islam, agaknya 
masih perlu diperdebatkan ketepatannya.

Kuslan hadir tidak sebagai korban yang hendak membalas dendam terhadap sang 
penindas. Kuslan menghadirkan suara humanis tanpa aroma balas dendam.


Menghadirkan sejarah tentang separatisme atau pemberontakan di Indonesia, kata 
Asvi, berujung pada lahirnya "hero" (sang pahlawan), yang tak lain adalah 
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini tentu tidak aneh, karena Orde Baru 
sendiri adalah format politik yang unsur-unsur utamanya adalah kaum militer.

Era sejarah tebang pilih itu sudah berlalu. Para korban Orde Baru kini bebas 
bersuara, dan mulailah mereka menawarkan sejarah-sejarah alternatif. Sang 
korban kini membalik arus wacana. Tentara bukan lagi hadir sebagai "hero", tapi 
monster yang bengis. 

Buku-buku yang mengundang simpati para korban dan mengutuk sang "hero" versi 
Orde Baru bermunculan. 

Sebuah buku berjudul "Aku Bangga Menjadi Anak PKI", hanya satu dari sekian 
banyak buku-buku yang membalik arus wacana Orde Baru tersebut. 

Kuslan Budiman, bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Yogyakarta, yang 
juga menjadi korban rezim Orde Baru, ambil bagian dalam pengayaan sejarah 
Indonesia. 

Namun, yang ditempuh Budiman cukup menarik, sebab --lewat buah penanya berjudul 
"Bendera Itu Masih Berkibar", edisi 2005, yang diterbitkan Suara Bebas-- dia 
menghadirkan sejarah dalam kemasan cerita.

Cerita-cerita yang dipilih bukan yang berhubungan dengan insiden berdarah tahun 
1965-1966, tapi periode sebelumnya. Dengan cara demikian, Kuslan hadir tidak 
sebagai korban yang hendak membalas dendam terhadap sang penindas. Kuslan 
menghadirkan suara humanis tanpa aroma balas dendam.

Buku yang judulnya menyiratkan dedikasi terhadap berdirinya Republik Indonesia 
itu dibagi menjadi tiga bagian dengan sub judul "Bendera itu Masih Berkibar", 
"Malam Berbintang" dan "Rumah Wedana".

Kisah rakyat

Kuslan tampaknya tidak ingin masuk dalam gegap-gempita pembalasan dendam lewat 
penjungkirbalikan wacana. Dia memilih menyuarakan idealismenya dalam bentuk 
kisah-kisah rakyat, yang tentu saja tertindas baik di masa-masa pendudukan 
Jepang maupun menjelang kemerdekaan. 

Lukisannya tentang perjuangan kemerdekaan yang dilakukan para gerilyawan 
melawan tentara pendudukan Belanda cukup menarik. 

Dalam cerita bertajuk "Masuk Kota", Kuslan mendedahkan pengalaman pribadinya 
saat bertempur dan harus mundur masuk ke pedalaman, karena pasukan Belanda 
memasuki kota.

Dari kisah itu, pembaca diingatkan bahwa para pembela Tanah Air (Peta) itu 
mempertahankan negeri dalam himpitan perut lapar dan rasa sakit yang bisa 
datang kapan saja. 

Dalam usaha mengelak untuk konfrontasi dengan serdadu Belanda, Kuslan tak 
memiliki apapun yang bisa dimakan. Hanya ada satu pilihan: memetik jagung dari 
pohonnya. 

Lapar demikian menyiksa, dan Kuslan pun menyantap jagung mentah itu. Akibatnya 
bisa diduga, esoknya dia mencret-mencret. 

Tentu derita Kuslan dan kawan-kawan seperjuangan tak berkepanjangan, karena 
selalu ada orang yang mau berbagi di zaman perjuangan kemerdekaan itu. 

Ada Pak Lurah yang baik hati menyediakan rumahnya untuk menginap, dan memberi 
Kuslan secangkir kopi dan sepiring nasi.

Membaca cerita-cerita yang ditulis Kuslan berdasarkan pengalaman nyata itu 
dapat menghadirkan impresi yang dalam tentang muskilnya pertikaian politik di 
tahun 1965, yang membagi Indonesia secara tegas antara yang komunis dan bukan 
komunis. 

Pergolakan politik tahun 1965 yang menjadi awal berdirinya rezim Orde Baru itu 
seolah tsunami yang mencoba menghapus jejak heroisme 1945. 

Kuslan dan kawan-kawan yang berdarah-darah ikut mempertahankan bendera 
merah-putih untuk tetap berkibar serta-merta dilenyapkan sejarahnya oleh 
penguasa yang dilengserkan pada 21 Mei 1998. 

Pelenyapan itu didasarkan pada pilihan ideologis. Kebetulan Kuslan dan 
kawan-kawan memilih komunisme sebagai pilihan perjuangan berpolitik. 

Kini, ketika iklim politik menebarkan angin demokrasi, jejak-jejak perjuangan 
Kuslan untuk menegakkan sang merah putih kembali dihadirkan. 

Menurut Kuslan, yang diungkapkan dalam halaman Catatan Penulis, penerbitan buku 
"Bendera Itu Masih Berkibar" juga merupakan upaya memenuhi permintaan Sugiarti 
Siswandi (kakak perempuan Kuslan) yang memintanya untuk menulis novel berlatar 
masa kanan-kanak.

Permintaan Sugiarti yang telah meninggal --karena jadi korban pembunuhan massal 
tahun 1965?-- itu agaknya membebani hidup Kuslan. 

Dengan terbitnya buku tersebut, bebaslah Kuslan dari beban yang mendera 
sepanjang hidupnya. 

Meskipun wacana yang ditawarkan Kuslan bukan tergolong sebagai wacana "besar" 
(grand discourses), tapi kisah-kisah "pinggiran" yang ditampilkannya cukup 
berarti, meskipun tidak mempengaruhi jalannya percaturan politik wacana di 
tingkat nasional.

Kumpulan kisah itu tetap bermakna dalam memperkaya warna-warni alias bunga 
sejarah, yang selama ini hanya terdiri atas peristiwa-peristiwa pemberontakan 
dengan implikasi mempahlawankan sang penumpas pemberontakan.

Kuslan adalah salah seorang wakil pemuda Indonesia di tahun 1960-an yang 
berkesempatan mengikuti tugas belajar seni ke Rusia, namun ia "gagal" pulang ke 
negeri ini termasuk tokoh Lekra, yang notabene "di bawah payung" Partai Komunis 
Indonesia (PKI).

Setelah menggelandang di Rusia bersama sejumlah aktivis pemuda RI saat itu, 
seperti Utuy Atang Sontani, Kuslan pun berkesempatan menetap di Woerden, satu 
kota kecil di negeri Belanda. "Lumayan, di sini udaranya lebih hangat dibanding 
Rusia," katanya satu ketika kepada ANTARA.

Itu sebabnya, Kuslan pun menutup kata pengantarnya di "Bendera Itu Masih 
Berkibar" dengan menyebut "Negeri Kincir Angin" sebagai lokasi untuk 
menuntaskan karyanya. Negeri yang tentu saja kalah hangat di banding tanah 
kelahiran kecintaannya, Indonesia. (*)    



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke