Mencari Hakekat Islam
I. Bersentuhan dengan Islam Suatu hari saya pernah bertanya kepada seorang dosen bernama Karlina Supelli, “Apa itu hakekat Islam?”. Dengan singkat Karlina Supelli menjawab,”Pasrah dan berserah diri”. Bagi saya pribadi, kalimat itu sangat sederhana tetapi mempunyai makna dalam. Sederhana karena setiap orang bisa membuat kalimat seperti itu, bermakna dalam karena kalimat itu seakan membuka cakrawala saya mengenai Islam yang mau atau pun tidak selalu akan kita temui dalam kehidupan ini. Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Keragaman inilah yang menjadi salah satu kekayaan dan keindahan yang tidak bisa ditemukan dimana pun. Keragaman inilah yang seringkali menjadi sebuah alasan bagi perpecahan dan konflik, agama juga mengalami nasib yang sama. Agama di Indonesia khususnya bukan lagi melambangkan sebuah perdamaian dan kehangatan bagi para pemeluknya melainkan telah menjadi sebuah konflik dan perpecahan yang saling mengklaim kebenaran dibalik ajaran-ajarannya. Saat ini saya hidup di sebuah negara yang disebut Indonesia dan di tengah masyarakat yang bermacam-macam dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di negara inilah kehidupan saya dimulai. Kehidupan di tengah kaum mayoritas muslim yang mendominasi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Sebagai seorang Katolik yang menduduki kursi minoritas di negara ini, tentu sebagai pribadi mau atau pun tidak saya juga bergulat dengan masalah ini. Sebuah masalah yang tidak kunjung selesai semenjak pertama kali kristiani mengenal Islam dan Islam mengenal kristiani. Saya tidak akan berbicara mengenai sejarah perseteruan antara Islam dan Kristen atau mengenai sumbangan Islam terhadap pemikiran barat, dan lain-lain. Disini saya akan berbicara mengenai hidup saya sebagai seorang Katolik yang berusaha mengenal Islam sebagai sebuah agama mayoritas di negara ini, sebuah agama yang mau atau tidak akan selalu saya temui dalam kehidupan sehari-hari dan berusaha dengan sudut pandang saya untuk mencari hakekat Islam yang tersembunyi dan indah dibaliknya. Semenjak lahir saya sudah bersentuhan dengan Islam dan sosok seorang muslim. Ibu saya pernah bercerita tentang seorang dokter bernama Arthur yang pernah membantu persalinannya dan dia seorang muslim yang baik. Sosok dokter yang rendah hati dan penuh kehangatan inilah yang menjadi cikal bakal nama saya yaitu Arthur Francis Barthelemy Wagey. Sejak kelahiran itulah saya mulai menyentuh Islam sebagai sebuah agama yang saya pahami sebagai kedamaian itu sendiri karena saat itu suasana hangat dan penuh kedamaian mewarnai sosok-sosok setiap perawat dan dokter yang membantu saya mencecap kehidupan di dunia ini. Ayah saya seorang Kristen Protestan dan ibu saya seorang Katolik. Sejak kecil, saya tumbuh dalam sebuah keluarga Kristen Protestan yang sangat menjunjung tinggi akan ajaran imannya. Sebuah keluarga yang saya nilai sangat menjunjung tinggi semboyan, “di luar gereja tidak ada keselamatan” dan sangat mencurigai Islam maupun ajaran-ajarannya. Selama itu saya diajar untuk percaya bahwa Yesus Kristus lah satu-satunya penyelamat dan tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan manusia selain Dia. Saya pribadi tidak memahami itu semua karena saya tidak mengenal Yesus yang sudah 2000 tahun lalu hidup, besentuhan dengannya pun tidak pernah. Saya hanya mengetahui Yesus lewat lukisan asing seorang model yang dipercayai kurang lebih seperti inilah wajah Yesus. Itulah yang menjadi pergelutan saya meskipun keluarga saya berkali-kali mengatakan bahwa Yesus itu ada dihati setiap orang yang percaya kepada-Nya. Saat itu sebagai seorang anak kecil, saya tidak dapat membayangkan seseorang yang diakui sangat dekat dengan kita. Ibu saya adalah sosok yang paling dekat dengan saya bukan seorang Yesus yang tidak pernah saya temui. Sejak kecil saya bergaul dengan teman-teman sebaya yang kebanyakan beragama Islam. Pergaulan masa kecil yang bagi saya pribadi merupakan pergaulan yang jauh dari perbedaan kaya dan miskin, Islam dan kristen, dan lain-lain. Saat itu yang ada adalah saya senang, teman-teman senang dan semua senang. Meskipun demikian, saya selalu ditegur oleh saudara-saudara untuk tidak bermain dengan anak-anak kampung-sebutan untuk teman-teman yang beragama Islam-yang dipandang bisa membuat saya nakal dan liar. Sampai saat ini saya selalu bertanya-tanya mengenai hal itu karena pertemanan saya dengan mereka hanya sekedar kita semua senang. Seakan semenjak kecil saya ditanamkan untuk membeci dan menjauhi sebuah perbedaan. Syukurlah saya kemudian tinggal bersama dengan kedua orang tua yang cukup moderat memandang perbedaan. Ketika lebaran datang, ibu selalu sibuk dengan kue-kuenya yang nanti akan dibagikan kepada tetangga-tetangga yang merayakan Idul Fitri begitu pun dengan saya selalu sibuk menerima berbagai macam makanan khas lebaran seperti ketupat, rendang, opor ayam dan lain-lain. Kehidupan bertetangga dengan kaum muslim bukanlah sebuah ketakutan meski saat itu di televisi-televisi menyiarkan berita-berita mengenai pembakaran-pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur. Kehidupan di lingkungan rumah juga memunculkan suasana yang saling menjaga dan saling bertoleransi meski di sana-sini banyak tuntutan untuk mengembalikan Piagam Jakarta yang menjadi “ketakutan” bagi para pemeluk Kristiani.. Ada sebuah istilah yang pernah terlontar dari seorang dosen bahwa Islam adalah kedamaian itu sendiri. Sebuah pernyataan yang seakan membuka tabir cakrawala saya dalam memahami Islam. Saya pribadi mengakui ketika terjadi pemboman gereja-gereja di malam natal, saya melihat Islam sebagai sebuah agama yang penuh dengan kekerasan. Sebuah agama yang bagi saya sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) ketika masih SMU. PPKn mengajarkan saya bagaimana bersikap toleran dengan sesama pemeluk agama dan seakan-akan di dalam ajarannya ada sebuah realitas ideal yang dituju oleh bangsa ini. Pemboman demi pemboman atas nama Islam yang terus saya saksikan di media massa seakan memecah ruang spiritual saya untuk melihat Islam sebagai sebuah agama yang penuh dengan keindahan dibaliknya. II. Kekerasan Dan Islam Saat saya berumur sekitar 7 tahun, saya teringat sebuah kalimat yang terlontar dari seseorang, “Kalau Islam menyebarkan ajarannya dengan kekerasan karena Nabi Muhammad selalu membawa pedang sedangkan Yesus menyebarkan dengan kasih karena Yesus tidak pernah membawa pedang”. Sebuah kalimat yang sampai saat ini selalu saya ingat dan tidak terlupakan ketika saya mendengar kata “Islam”. Saya selalu bertanya, “Apakah benar Islam adalah kekerasan itu sendiri?”. Kalimat itu selalu mempegaruhi saya dalam memandang Islam. Saya pribadi tidak bisa membayangkan membela Tuhan dengan membunuh atau setidaknya melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya yang adalah citra maupun ciptaan Allah itu sendiri. Sebuah pemahaman yang sangat bertentangan dengan ajaran dan sulit untuk dibayangkan. Kebanyakan orang Kristen memandang Islam adalah sebuah agama yang menyebarkan ajarannya dengan kekerasan. Kekerasan identik dengan Islam dan lewat kekerasan itu pulalah Allah itu dibela dan ditemukan hakekatnya. Ternyata, tidak semua pemeluk Islam adalah seorang penganut kekerasan bahkan mengkafirkan sesamanya di luar muslim. Pandangan tentang Islam saya akui berubah ketika saya menjumpai sosok Islam yang penuh dengan cinta kasih itu sendiri saat saya sedang bersepeda dari Jakarta ke Bandung. Saat itu kami berempat kedinginan karena kehujanan di daerah Cariu. Awalnya kami ragu untuk mengetuk pintu karena kami berempat bukan muslim dan yang kami tahu di daerah ini banyak penganut Islam yang masih fundamental-informasi ini kami dapat ketika akan berangkat. Kebingungan dan kedinginan membuat kami berani untuk mengambil sebuah keputusan. Kami kemudian mengetuk sebuah rumah kecil dan sederhana. Tidak lama kemudian keluarlah seorang pria muda berjanggut dan kami menceritakan maksud kedatangan kami. Kami mengatakan hanya ingin meminjam teras di depan rumah sekedar istirahat untuk melanjutkan perjalanan esok hari menuju bandung. Pemuda itu langsung menyetujui dan kami kemudian menaruh tas di teras rumah itu. Selang 5 menit kemudian pemuda itu keluar dan menyuruh kami masuk ke dalam rumah. Awalnya kami was-was apalagi ketika melihat sebuah tulisan arab yang terbingkai di dinding seakan menimbulkan sebuah trauma. Sayangnya trauma itu kemudian menjadi sebuah keharuan dari dalam diri saya pribadi. Keluarga tersebut menerima kami dengan senyum dan keramahan yang tidak pernah saya bayangkan dari sosok-sosok pemeluk muslim. Kami diberi makan malam, diberi kamar untuk istirahat bahkan pemilik yang harusnya beristirahat di dalam kamar tersebut merelakan dirinya untuk tidur di luar. Sebuah bayangan akan kekerasan yang kerapkali diberitakan oleh media massa luar negeri seakan sirna tak kala kedamaian itu sendiri seakan menjelma dalam diri keluarga tersebut. Saat itu saya pribadi terharu ketika bersentuhan langsung dengan realitas dan kedamaian Islam itu sendiri. Perbedaan diantara kami seakan menjadi sebuah identitas ketika bersentuhan langsung dengan kemanusiaan itu sendiri dan perbedaan itulah yang membuat keberanian dan keterbukaan itu bisa saling melengkapi satu sama lain. Itulah Islam dimata saya sebagai seorang Katolik. Sebuah pengalaman yang tidak bisa dilupakan begitu saja meski sudah 3 tahun berlalu. Dalam hati saya seringkali terlontar pertanyaan-pertanyaan, “Tuhan apa agamamu sampai setiap makhluk yang mengakui dirinya sebagai ciptaanmu bertarung satu sama lain untuk mengatakan bahwa jalan merekalah yang benar?”. Satu hal yang tidak saya ketahui adalah jawaban tersebut tidak pernah langsung dijawab oleh-Nya. Setidaknya yang hanya saya ketahui adalah pengalaman saya dengan keluarga sederhana tersebut telah membawa pencerahan bahwa Tuhan tidak memandang dia beragama apa tetapi Tuhan hadir karena memang Ia hadir untuk manusia. Sebuah pengalaman indah yang tidak melihat Tuhan itu beragama Islam, Tuhan itu bergama Yahudi atau Tuhan itu beragama Katolik yang ada hanyalah kepedulian dalam membantu sesama. III. Kristiani dan Hubungannya Dengan Islam Saya teringat beberapa tahun lalu ketika kami keluarga besar berkumpul bersama-sama untuk merayakan natal yang akan jatuh esok harinya. Malam natal memang mengundang kebahagiaan tersendiri bagi saya maupun keluarga yang lain karena di saat itulah kami bisa berkumpul setelah sekian lama masing-masing sibuk dengan aktivitasnya sehari-hari. Malam natal bagi saya pribadi adalah saat yang ditunggu-tunggu. Ketika saya masih berumur 9 tahun, saya selalu menemukan sebuah hadiah di atas sepatu saya yang konon katanya diberikan oleh Sinterklas, memang beberapa tahun kemudian saya tahu bahwa itu pemberian secara diam-diam dari kedua orang tua saya. Pengalaman itu seakan membekas dalam diri saya untuk selalu merindukan saat-saat Yesus dilahirkan. Beberapa saat ketika kami berkumpul bersama-sama, di sebuah saluran televisi kami tertegun menyaksikan sebuah berita yang di dalamnya berisi hiruk pikuk orang-orang yang berlarian diantara jilatan api dan ledakan-ledakan dari mobil-mobil di sekitarnya. Saat itu ketakutan muncul karena ternyata kejadian itu terjadi di Jakarta. Itulah pemboman yang terjadi di malam natal ketika umat Kristiani yang berdoa menjadi korban, tidak hanya umat Kristiani saja para pedagang, tukang parkir dan orang-orang di sekitarnya yang melintas yang belum tentu beragama Kristiani juga turut menjadi korban. Saat itu saya tidak menyangka bahwa saat-saat dimana antara Idul Fitri dan Natal yang saling berdekatan dan setidaknya menjadi saat dimana sebuah kebersamaan untuk merayakan di satu sisi kemenangan dan di sisi lain datangnya juru selamat dihancurkan oleh ledakan-ledakan yang terjadi di malam natal saat itu. Kami sekeluarga yang menyaksikan hanya tertegun dan tidak menyangka. Satu hal yang membuat saya cukup terkejut ketika salah satu anggota keluarga kami menyebut bahwa ledakan dan kekerasan yang terjadi saat itu tidak lain adalah perbuatan dari orang-orang yang beragama Islam. Islam kemudian menjadi tersangka dalam kejadian itu. Tentu saja suara dari salah satu anggota keluarga saya merupakan suara yang juga saya dengar dikemudian hari dari teman-teman maupun kerabat Kristiani. Saya tidak bisa memungkiri lagi bahwa memang setiap kejadian yang sebagian besar korban adalah umat Kristiani pasti akan berakhir pada kesimpulan “Islam lah pelakunya!”. Apakah benar demikian bahwa hubungan antara Kristen dan Islam adalah hubungan yang saling mencurigakan? Saya pribadi memaklumi bahwa sebagai seorang minoritas tentu setiap kejadian yang terjadi kerapkali menjadi alasan untuk menyalahkan yang mayoritas. Sebagai seorang Katolik yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim, saya sangat merindukan saat-saat Idul Fitri tiba. Bukan karena saya tidak perlu repot-repot mencari makanan ketika saat puasa tiba melainkan setiap idul fitri saya bisa mencicip opor ayam, rendang, ketupat serta makanan khas lebaran yang lain. Saya bisa melihat banyak sekali orang-orang di sekitar saya memakai pakaian yang baru atau mendengar suara mesjid dengan bunyi beduk yang unik. Ibu saya juga repot saat itu karena harus menyiapkan kue-kue untuk umat Islam yang merayakan lebaran. Saya juga repot karena setiap kali saya mendengar ketukan pintu rumah pasti itu ketupat yang dikirim oleh tetangga. Saya pribadi tidak melihat bahwa hubungan Islam dan Kristen adalah sebuah hubungan yang saling mencurigai meskipun ada fatwa yang melarang bahwa haram memberi selamat Natal kepada umat Kristiani. Setiap Natal banyak umat Islam yang memberi selamat entah itu berupa jabatan tangan atau kiriman kue-kue dari yang sederhana sampai kue tart. Saya tidak tahu siapa yang menentukan halal atau haram tetapi yang jelas dalam dunia kecil yaitu lingkungan yang saya tinggali saat ini, Islam bukanlah sebuah tas ransel yang berisi bom untuk diledakkan. IV. Bersimpu Dihadapan Sang Kuasa Hidup ini memang penuh dengan berbagai macam perbedaan entah itu perbedaan fisik, cara pandang hidup bahkan kepercayaan. Perbedaan itulah yang membuat dunia secara keseluruhan menjadi kaya dan membuka semangat untuk saling mengenal. Islam dan Kristen memang mempunyai banyak perbedaan tetapi bukan berarti bahwa perbedaan itu adalah alasan untuk menghilangkan kemanusiaan itu sendiri. Saya hidup di tengah-tengah berbagai macam perbedaan, perbedaan jenis kelamin, perbedaan cara pandang, perbedaan prinsip hidup dan lain-lain Di satu sisi perbedaan itu seringkali menimbulkan ketidakpuasaan tetapi disisi lain perbedaan tidak dapat dihilangkan karena dari perbedaan itulah dunia menjadi lebih seimbang. Islam dan Kristiani memang punya dunianya sendiri tetapi masing-masing tumbuh dan berkembang di tengah-tengah dunia manusia. Ketika kita menarik diri dari salah satu dunia itu, berarti kita juga menarik diri dari dunia yang kita tinggali. Setiap agama bahkan setiap individu punya caranya untuk menjelaskan sang maha kuasa. Ibarat jalan-jalan yang menuju kepada tujuannya yang sama, agama pun punya posisi seperti itu. Setiap agama punya hak untuk menjelaskan Tuhannya karena kemampuan manusia yang tidak sempurna tidak akan pernah dapat menjelaskan kesempurnaan Tuhan. Ibarat berlian yang punya sisi-sisi yang berkilauan, ibarat itulah agama berusaha merumuskan Tuhannya. Pada akhirnya hanya satu ada satu bahwa ketika bunyi beduk bertalu-talu dan ketika bunyi lonceng gereja bergema, hanya ada satu bahwa saat itulah manusia bersimpu dengan ketidaksempurnaannya di hadapan yang mahakuasa. Arthur Francis Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/