Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [35]
KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 17 Kendaraanku akhirnya sampai ke gubernuran, sebuah kawasan luas, tertata rapi dengan gedung-gedung megah berciri Dayak dan bahkan ada sebuah betang [rumah panjang] terbuat dari kayu besi -- kayu yang terkenal oleh daya tahannya dan beratjenis [BD]nya pun lebih besar dari BD air. Kayu ini kian langka di Kalteng.Halaman ditumbuhi oleh hutan hijau, terutama di bagian belakang, dilengkapi dengan kursi-kursi kayu panjang untuk duduk berteduh dari terik.Sebuah parit merentang panjang membelah hutan itu. Terkadang gemersik air yang mengalir terdengar membuat sejuk di tubuh dan di hati.Di bagian depan terhampar sebuah lapangan hijau di mana upacara-upacara resmi dilaksanakan.Indah dan megah serta punya ciri lokal yang menonjol. Waktu Soeharto masih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan militerismenya, menjadi rahasia umum bahwa kantor gubernur ini pun ingin dibeli oleh Mbak Tutut.Tentu saja aku tidak bisa membuktikan kebenaran rahasia umum ini, hanya umum diketahui masyarakat bahwa Soeharto dan keluarganya ingin menguasai dan sudah melakukan penguasaan atas laut,darat dan bumi tanahair. Juga menentukan hidup mati seseorang. "The king can do no wrong" benar-benar menjadi kenyataan. Presiden dan keluarganya tidak boleh dikritik. Keadaan masyarakat Indonesia pada waktu itu dilukiskan oleh Rendra dalam kata-kata: "Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi. Ketidakpasatian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki, menjadi merahabahaya, menjadi isi kebon binatang" Mujur saja pembelian kawasan gedung gubernur oleh Mbak Tutut yang rakus tidak menjadi kenyataan dan hanya tersimpan di rahasia umum. Saat turun dari kendaraan, kenangan akan segala kegiatan di gubernuran ini ketika masih bekerja di Palangka Raya datang menyambutku.Mereka bagaikan satu kumpulan kenalan lama yang rindu.Sekali pun yang menjadi gubernur sudah berganti tapi orang-orang lama masih ada, ketentuan protokoler pun tetap tidak berobah.Kusapa dan kusalami mereka yang nampak sedikit heran, kemana dan di mana saja aku selama ini.Keheranan yang hanya diungkapkan pandang tapi tidak diucapkan. Sesuai ketentuan aku melapor dan mendaftar ke bagian penerima tamu. Di ruang tunggu sudah banyak orang menunggu giliran tak obah orang menunggu giliran di ruang tunggu dokter atau dukun di Serua Indah, Ciputat. Aku tertawa sendiri diusik oleh perbandinganku.Tapi tidakkah jika seorang gubernur, orang pertama propinsi, bisa memilih dan mentrapkan politik yang tepat, ia bisa membawa dampak seperti dokter terhadap keadaan masyarakat yang sakit? Tapi sebaliknya,apabila pilihan politiknya tidak tanggap dan aspiratif, kekuasaan politik di tangan bisa menjadi magi hitam amis darah dan asin airmata. Seperti orang lain aku pun mendaftarkan diri, demikian juga Lethus Kitie Uda, seorang arsitek muda, dan Esau, yang bekerja untuk masalah lingkungan. Lethus dan Esau adalah sahabat lama, dan mereka ingin juga turut serta bertemu gubernur memanfaatkan undangan kepadaku. Aku menyetujuinya dengan menanggung segala kemungkinan konsekwensinya karena secara protokoler kutahu tidak kena.Barangkali dua teman muda ini tidak memikirkan masalah protokol. Saat berada di Balikpapan, Teras Narang berpesan agar tidak perlu mengantri, ia memintaku menghubungi Frans Untung, ajudannya. Karena enggan mendapat perlakukan khusus begini pesan Teras ini tidak kulakukan segera. Kurasakan terlalu mewah bagiku mendapatkan perlakuan khusus, lagi pula tidak mendidik. Aku, Lethus dan Esau duduk di ruang tunggu. Di sini ternyata tidak sedikit orang-orang yang masih mengenalku. Mereka berdiri dan mendatangiku mengulurkan tangan dan berbincang-bincang. Serombongan wartawan dari tivi dan media cetak tiba-tiba datang. Aku tidak tahu apa yang mau mereka liput. Dalam ketergesaan kerja, mereka masih menyempatkan diri menyapaku: "Kau sudah di sini lagi?" Kemudian berlalu.Kami berbicara dengan pandang.Terasa adanya kekagetan mereka melihat kehadiranku. Selama bekerja di Kalteng, dengan mereka aku memang sangat akrab.Tidak sedikit kegiatan-kegiatanku disiarkan melalui tivi dan koran.Tivi bahkan terkadang mewawancaraiku secara khusus selama 30 menit.Hal yang kemudian merepotkan diriku sendiri, terutama di hadapan polisi.Karena aku dianggap telah melampaui wewenang visa masuk Indonesia."Wewenangmu adalah mengajar di universitas, bukan memberikan wawancara", ujar seorang perwira polisi dan imigrasi setempat. "Kalau apa-apa yang kulakukan kalian permasalahkan maka pertama-tama yang dipermasalahkan semestinya adalah pemerintah daerah, termasuk gubernur. Juga para wartawan yang mewawancarai. Mereka yang mengajak.", jawabku. Akhirnya pihak imigrasi Kalteng mengatakan: "Baiklah, kami akan tutup mata dengan jari renggang". Melihat tapi pura-pura tidak melihat. Tahu tapi pura-pura tidak tahu. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya aku putuskan untuk mencari Frans Untung seperti yang dipesankan oleh Teras Narang. Dan benar tak lama kemudian, Frans datang lagi memintaku masuk ditemani oleh Lethus dan Esau. Sadar akan arti penampilan di Indonesia, maka pada waktu itu aku mengenakan jas dan dasi.Penampilan yang sering kurasakan sebagai suatu drama komik yang membuatku ngakak sendiri dalam hati. Tapi drama komik ini pula yang sering kujadikan sebagai alat pendobrak sesuautu yang kuanggap sebagai kemandegan. Misalnya dengan penampilan resmi begini, aku membantu para pedagang kecil di kaki lima mengangkat barang-barang atau bersepeda ke acara-acara resmi.Apakah yang salah dengan berjas berdasi naik sepeda? Melihat ulahku yang demikian para penambal ban sepeda, para pedagang kaki lima, penjual-penjual koran di jalan, atau para pedagang kecil di pasar yang amat kukenal, sering menertawaiku sebagai "orang urakan". Tapi justru "keurakan" ini barangkali membuat hubungan kami jadi akrab. Apabila terjadi apa-apa dengan denganku di jalan,mereka sukarela "mengawalku" sampai ke rumah. Diminta pergi pun mereka tidak mau. Atau di tengah panas terik, sering aku diteriaki untuk singgah minum teh es. Lagi-lagi aku merasakan kehangatan dan kesetiaan orang-orang kecil dari berbagai etnik di kota ini yang sering dipandang dengan sebelah mata oleh para elite atau yang merasa diri elite dan para snobis. Secara nyata kurasakan kebesaran kemanusiaan manusia-manusia "kecil" ini. Siapa-siapa yang masuk-keluar rumahku di Palangka Raya tidak seorang pun yang bisa luput dari amatan mereka dan kemudian segera mereka sampaikan kepadaku diam-diam. Dari sini aku merasa bahwa manusia itu masih ada dan harapan manusiawi punya dasar untuk berkembang maju.Suara orang-orang ini pulalah yang mengiang njaring ke telingaku saat aku kembali harus mengelana.Suara seruan kemanusiaan yang tak pernah mati.Tapi bisa kupastikan ia tidak akan terdengar oleh hati yang angkuh dan yang berada di menara gading atau oleh "si penunggang kuda melihat bunga".Yang kupertanyakan:Tidakkah sebaiknya orang-orang, terutama yang memegang kekuasaan politik mendengar suara seruan manusia ini? Modernisasi -- kalau kita senang menggunakan istilah ini -- apakah bisa dilakukan tanpa mengindahkan suara manusia dari bawah dan yang mayoritas ini? Kita, artinya dari angkatan atau generasi mana pun. Suara mereka selain sebagai suara kehidupan tapi ia pun bisa dipandang sebagai kritik atau teguran pada saat kita berjalan dan menempuh jalan simpang berbahaya.Sayangnya kritik di negeri ini, umumnya tidak dipandang sebagai "satu hal esensi dari gerak peradapan manusia", tapi sering dan umum disejajarkan dengan peludahan muda di depan umum. Kalau berbicara masalah pemberdayaan dan pembangunan atau pun "modernisasi", bisakah ia dilakukan dengan mengabaikan suara dasar manusia yang muncul dari lapisan mayoritas dan yang berada di bawah? Pemberdayaan, pembangunan dan modernisasi manusiawi kukira selayaknya mempunyai dasar dan mungkin dilakukan tanpa dasar. Dasar itu adalah khazanah tanggap budaya kita sendiri. Jalan ini oleh Prof. Dr.Sajogyo dari IPB, Bogor ketika bicara soal Kalimantan Tengah, beliau sebut sebagai "Jalan Kalimantan" [lihat: Wawancara Prof.Dr.Sajogyo dengan Sahewan Panarung, organ Lembaga Dayak Panarung, Palangka Raya]. Mengenal khazanah kekayaan diri diperlukan agar apa yang kita lakukan bisa tanggap dan aspiratif. Mengenal akar tidak identik dengan tutuppintuisme yang selamanya omong kosong.Angkatan muda, sebagai penanggungjawab haridepan, jika mau sungguh-sungguh bertangungjawab patut memahami khazanah yang sudah dimiliki, perlu mendengar dan mengenal baik kehidupan nyata. Gelar akademi bukan jaminan pengenalan, sering para akademisi bersikap "textbooks thinking".Padahal tidakkah "textbooks" itu sering kadaluwarsa, tidak tanggap dan aspiratif sehingga asing dari kehidupan. Dalam soal pemberdayaan, pembangunan dan "modernisasi" di sepanjang "Jalan Kalimantan" tidak pernah ada soal yang disebut "ras" atau suku. Dalam hal ini kalau orang itu bisa teliti membaca dan mengamati, kalau orang tidak buta aksara tapi tidak bisa membaca, kalau orang dekat dengan lapangan dan aktor-aktor di lapangan, maka orang akan tahu apa yang kulakukan dan kuanjurkan selalu kukatakan agar kita bisa "berdiri di kampunghalaman memandang tanahair merangkul bumi" dan mengambil strategi aktif bukan defensif reaktif seperti yang masih tersisa di Kalteng. Pada kedatanganku bulan Agustus 2005 lalu saja masalah ini masih kudapatkan. Tentu saja aku gembira dengan apa yang sedang dilakukan sekarang.Ini patut dikembangkan karena aku yakin benar apa yang dicapai sekarang masih jauh dari padan. Mengapa anak muda hanya berkegiatan sebatas pada kegiatan pramuka? Apa arti pertanyaan dan kenyataan ini? Artinya strategi aktif ofensif dalam pemberdayaan, pembangunan dan "modernisasi" masih jauh dari pengkhayatan. Membeberkan kekurangan Kalteng bolak-balik apakah suatu sikap "naif". Di mana "naif"nya? Yang naif kukira, justru yang merasa cukup diucapkan padahal ia belum jadi pendapat umum dan menjadikan pendapat umum itu sebagai suatu kekuatan material.Apakah yang dilakukan oleh CU di Kalteng sudah menjadi pendapat umum? Belum!Jauh dari sudah!Inilah yang naif jika menganggapnya sebagai sesuatu yang "sudah"! Aku tidak memerlukan penghormatan untuk diriku karena yang terpenting bagiku adalah perobahan maju yang nyata. Aku memang kecewa dengan pengalaman empat tahunku di Kalteng, dan kekecewaan serta kekalahanku adalah tanda kekurangan pada diriku, dan pengalaman ini karena segalanya mulai dari "NOL", kuterima sebagai tantangan penguji kadar diri.Niat ini yang kutantangkan juga kepada Teras Narang sebagai gubernur."Siapa kau, siapa aku!" Sekarang kutantangkan kepada semua orang "siapa kau?!" "Apa yang kau lakukan dan bagaimana kau melakukannya?.!" Melalui tulisan ini aku ingin mengingatkan Teras Narang apakah kata-katanya bisa dipegang atau tidak. Kuharap pesan ini sampai kepada Teras Narang,karena mailbox komputernya selalu penuh, tak lagi memungkinkan aku berkomunikasi langsung. Ini termasuk kelemahan Teras dalam mengorganisasi pekerjaannya.Aku berani menulis kata-kata begini karena Teras mengatakan ia suka pada keterus-terangan. Mengatakan bahwa aku "terlalu ceroboh .. jika menghakimi pengalaman dikecewakan begitu lantaran persoalan ras", hanya menunjukkan bahwa si pengkritik tidak tahu apa-apa tentang yang dikatakannya.Mana yang lebih ceroboh? Bukti ketidaktahuannya ditunjukkan oleh kekeliruan bahwa aku mencoba membangun "Institut Kesenian Kalimantan di Palangka Raya". Tidak pernah kulakukan hal ini. Yang kulakukan bersama teman-teman seniman dari berbagai asal etnik di Kalimantan adalah melahirkan Dewan Kesenian dan selesai. Kemudian Ikatan Sastrawan Indonesia, Kalteng, juga terdiri dari berbagai asal etnik,dengan Salundik Gohong -- walikota Palangka Raya pada waktu itu. Adakah tanda-tanda dari sini bahwa aku berangkat dari soal "ras" atau etnik. Sampai sekarang hubungan dengan mereka tetap terpelihara. Diskusi serius hanya mungkin jika dilakukan atas pengenalan dan pengetahuan padan. Jika tidak akan merosot jadi debat tak menentu. Apakah KFC akan menjadi "Kalimantan Fried Chicken"? Mungkin dan memang mungkin, kemungkinan selalu ada. Hanya asalkan dan asalkan di bidang ini orang setempat, khususnya Dayak punya prakarsa memasuki bidang ini dengan sungguh-sungguh. Tapi restoran dan pusat kebudayaan "Utus Itah¨ yang turut kubangun di Palangka Raya, setelah aku berangkat ditutup. Jadi senyatanya bagaimana: Adakah? Sampai sekarang tidak ada. Kalteng, Tanah Dayak didominasi oleh makanan non Dayak Ini pun kukira ujud dari kepasifan strategi defensif yang punya akar dalam pada budaya Dayak , lebih-lebih setelah perusakan alam secara luar biasa. Di hadapan perusakan luar biasa alam Kalteng, anak alam jadi ternganga bingung. Dalam kebingungan ini , kerja idola adalah pegawai negeri. Naifkah dan terlalu cerobohkah mengatakan hal-hal ini?! Mengapa jadi sewot ketika anak muda dikritik sementara kritikku pun tidak hanya terarah pada angkatan muda. Pahlawan tidaknya anak muda atau seorang anak manusia, seperti halnya dengan baik tidaknya seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh. Aku memasuki ruang pertemuan dengan Teras Narang yang sekarang gubernur dengan menating keranjang persoalan yang penuh antara lain dengan soal-soal di atas.*** Paris,Nopember 2005 ------------------ JJ. Kusni [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/