Ada 2 sisi, pengelola PT dan mahasiswa.
Kalau pengeloa PT orientasinya uang, ya mereka pilih privatisasi PT. 
Mereka bisa naikan uang masuk seenaknya sampai rp 75 juta lebih per 
siswa.

Tapi mahasiswanya kasihankan? Berapa banyak siswa yang bunuh diri 
karena putus sekolah, dsb. Terhadap orang sekeji itu tidak perlu 
kasihan...:d

Para pejuang kita dulu ketika melawan Belanda dan antek2nya tidak 
cuma dapat sandal di jidat, tapi peluru di jidat...:)


"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari 
akhirat, 

saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan 

Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak 
atau 

saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang 
yang 

telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka 
dengan 

pertolongan yang datang daripada-Nya...." [Al Mujaadilah:22]
  


http://www.btn.co.id/properti_artikel.asp?id=200603231358130001
Tanggung jawab Pemimpin
Kebutuhan akan pendidikan, amanah mencerdaskan kehidupan bangsa yang 
ada 

di dalam pembukaan UUD 1945 ternyata hanya sebatas kata, kita jauh 

tertinggal dari tetangga kita, Malaysia 30-an tahun lalu mengirim 

mahasiswanya untuk belajar ke Indonesia, mengimpor guru, dosen, 
dokter 

dari Indonesia, sekarang sudah bisa membalikan keadaan, sang guru 
harus 

berguru kepada muridnya, kisah sedih anak putus sekolah dan 
diantaranya 

dengan tragis melakukan bunuh diri, telah menyayat nurani. Program 
wajib 

belajar dan sekolah gratis hanya sebatas wacana belum mampu 

merefleksikannya dalam budaya yang tumbuh atas sinergi pemerintah 
dan yang 

diperintah. Pendidikan masih berupa komoditas dan barang mewah
--- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Kangmas,
> 
> Pernahkah mas berpikir, plis buang jauh-jauh kata antek-antek 
dengan untuk para dosen saya dan di perguruan tinggi. Para dosen dll 
itu orang2 yang pintar, hanya saja pengemasan sosialisasi BHP sangat 
halus dibungkus cantik dan sekilas sesuai rasional intelektual, 
sulit untuk ditolak. Mereka bodoh? saya kira tidak, mereka hanya 
kurang jeli dan terbujuk indahnya bungkusan luar dan alasannya. 
> 
> Lha ya gimana tidak, masing-masing PT dengan BHP diberi keluasan 
untuk mengelola manajemennya sendiri tanpa ada campur tangan Dikti 
dll. Apakah mereka dikatakan antek? bukan tapi orang yang tidak tahu 
sperti saya dan Anda sebelumnya.
> 
> Yang membuatnya tak kalah cerdas, kita perlu sangat jeli 
menganalisa.  Anda pun mas mengatakan menolak ini setelah ada 
analisa dari seseorang kan? Bukan analisa Anda sendiri ^_^.  
> 
> Mungkin mas sebelum menolaknya, bahkan tidak tahu apa itu BHP dan 
BHMN?  Yang patut mas ingat, hampir semua orang setuju untuk menolak 
BHP jika tahu kenyataannya seperti ini. Lalu apa yang kita lakukan 
untuk membendungnya? Pendidikan terkait dengan generasi masa depan. 
> 
> Dengan mengatakan semua orang itu antek, bukannya orang sadar, 
bisa jadi sandal melayang ke jidad Anda mas.:(( Bukan membela lho, 
but hati-hatilah memakai bahasa. KIta tak boleh menggeneralisir, 
apalagi kalau kita tidak memahami faktanya secara mendalam.
> 
> salam hangat,
> aris
> 
> 
> 
> A Nizami <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Privatisasi pendidikan sangat 
berbahaya. Kenyataan
> yang ada telah mengakibatkan naiknya uang masuk di PTN
> di Indonesia hingga Rp 25 juta-rp 150 juta.
> 
> --- ndah maldiniwati  wrote:
> 
> > apa anda punya solusi untuk tidak menjadikan org yg
> > bekerja 
> > dipendidikan itu antek AS/WTO?Kapitalis.  Cukup
> > berikan solusinya!! 
> 
> Saya tidak menyatakan semua orang yang bekerja di
> pendidikan antek AS/WTO/Kapitalis. Sebagian pendidik
> seperti Revrisond Baswir, dll justru menolak
> privatisasi kampus.
> 
> Untuk tidak jadi antek itu adalah pilihan. Kalau masih
> punya nurani pasti menolak.
> 
> > Dan jika anda menolak tunjukkan sikap anda dalam
> > mengkritisi RUU BHP 
> > agar tidak menjadi UU.  jangan hanya menstempel
> > jidat org seenaknya.
> 
> Dengan menulis penolakan ini adalah satu sikap.
> Ketimbang menulis pembelaan...:)
>  
> > Pendidikan memang mahal, dosen, guru & staf
> > pendidikan perlu digaji, 
> > lstrik, komputer, alat lab, buku, semuanya harus
> > beli.  Seharusnya 
> > pendidikan memang tanggungjawab pemerintah, tp jika
> > pemerintah MERASA 
> > MISKIN untuk membantu yg miskin, harus sperti apa
> > institusi pendidikan 
> > berjuang menyelenggarakan pendidikan?? jawaban
> > singkat yg banyak 
> > diambil: Naikkan SPP, bebankan biaya pendidikan
> > semuanya ke mahasiswa/
> > plajar!!  dan sekali lg saya bilng: inilah kebodohan
> > kaum intelektual.
> 
> Menurut saya wajar jika para pendidik akhirnya
> menaikan SPP jika pemerintah enggan membantu dan
> memprivatisasi PT. Dalam bisnis yang dipikirkan adalah
> keuntungan. Bukan sedekah.
> 
> Yang bodoh adalah pihak yang berusaha memprivatisasi
> PT. Mereka menyuruh para pendidik berbisnis mencari
> uang guna menghidupi PT. Padahal seharusnya tugas
> mereka adalah mendidik siswanya. Jangankan pendidik.
> Perusahaan besar dan berpengalaman macam Salim Group,
> Ciputra, Lippo Group, Bakrie Group saja bisa merugi
> dan berhutang trilyunan rupiah kepada negara, apalagi
> para pendidik jika disuruh berbisnis.
> 
> PT terkemuka macam UI, ITB, dan UGM saja menjelang
> privatisasi menaikan uang masuk PT jadi sekitar rp
> 25-150 juta. Bagaimana mungkin orang menengah bawah
> yang pintar bisa masuk ke situ?
> 
> Jelas privatisasi PT adalah proses pembodohan bangsa.
> Oleh karena itu harus dilawan.
> 
> Anggaran pendidikan APBN 2006 ada Rp 43,3 trilyun(1).
> Seandainya jumlah siswa ada 60 juta, separuhnya
> bersekolah di sekolah negeri (sisa sekolah swasta
> macam Trisakti, UKI, Gunadarma, dsb), maka pemerintah
> cukup membiayai 30 juta siswa. Artinya setiap siswa
> bisa dapat beasiswa lebih dari 1,4 juta rupiah/tahun
> atau rp 120 ribu/bulan.
> 
> Nah jika 1 kelas ada 40 siswa, maka didapat rp 4,8
> juta/bulan. Itu sudah cukup untuk bayar gaji guru yang
> paling hanya rp 2 juta/bulan.
> 
> Untuk komputer? Misalkan 1 sekolah punya 12 kelas.
> Tiap kelas punya 40 murid. Artinya 1 sekolah punya 480
> murid. Harga 20 komputer @ rp 4 juta hanya rp 80 juta.
> Bisa dipakai selama 4 tahun, artinya per tahun cukup
> Rp 20 juta. Rp 20 juta dibagi 480 murid = rp
> 41.667/tahun/murid atau Rp 3.472 per bulan. Ketutup
> kan?
> 
> RAPBN 2007 diperkirakan sekitar Rp 700 trilyun. Jika
> anggaran pendidikan 10% saja, maka akan ada uang
> sebesar Rp 70 trilyun per tahun untuk menutupi biaya
> pendidikan. Ini masih lebih kecil ketimbang cicilan
> hutang sebesar Rp 170 trilyun/tahun yang harus
> dibayarkan ke CS-nya WTO=IMF dan World Bank.
> 
> Selama 50 tahun lebih pemerintah Indonesia bisa
> menyediakan pendidikan yang murah bagi warganya.
> Sebelum lengser Soeharto, iuran di UI hanya Rp 200
> ribu/semester. Di India juga bisa murah.
> 
> Jadi pendidikan kalau mau dibikin murah bisa, kalau
> dibuat mahal/dibisniskan juga bisa.
> 
> Privatisasi Pendidikan adalah salah satu agenda
> Privatisasi WHO yang hanya memeras rakyat dan
> menguntungkan segelintir pemilik modal (2).
> 
> (1) Harian SIB
> (http://www.hariansib.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=11508&Itemid=36)
> (2) Walhi - Privatisasi Air
> http://www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/priv_air/
> > --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami
> >  wrote:
> > >
> > > Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung.
> > > Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda
> > sudah
> > > ada.
> > > Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis.
> > > 
> > > Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan
> > > dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat
> > > pendidikan.
> > > 
> > > --- aris solikhah  wrote:
> > > 
> > > > Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar
> > > > Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor
> > > > berusaha mengkritisi tentang privatisasi public
> > > > sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah
> > > > satunya adalah bidang pendidikan.
> > > > 
> > > >  Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para
> > Rektor
> > > > berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan
> > > > polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini
> > terlewati.
> > > > Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW
> > > > 
> > > > Seperti kita sering mendengungkan menolak
> > > > liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring
> > tingkah
> > > > laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi
> > > > perdagangan dengan menerima privatisasi Air,
> > Migas,
> > > > berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian,
> > > > mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM)
> > dll.
> > > > 
> > > > Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita
> > > > menolak produk-produk Amerika tapi kita
> > > > habis-habisan menerima dan memasarkan
> > pemikirannya
> > > > (demokrasi, liberalisme, kapitalisme,
> > > > materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya).
> > 
> > > > 
> > > > Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah
> > > > mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam
> > buku
> > > > 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino,
> > > > menuturkan pada kita tentang sistem dan
> > penyiapan
> > > > kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang
> > > > dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia
> > > > mengatakan
> > > > 
> > > > " Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan
> > Asia
> > > > untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke
> > > > Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang
> > > > tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu
> > > > mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita
> > > > suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti
> > > > mereka dari peradaban mereka.
> > > > 
> > > >  Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi
> > bebek-bebek
> > > > dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi
> > mereka
> > > > untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian,
> > mereka
> > > > akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan
> > > > segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka
> > > > sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita
> > > > kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga
> > > > mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat
> > seuatu
> > > > demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita
> > sebut
> > > > dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan
> > > > diri/ pseudo Eropa)."
> > > > 
> > > > Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS
> > dan
> > > > mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau
> > > > mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa
> > yang
> > > > sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler,
> > teknik
> > > > nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima
> > > > beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti
> > > > teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau
> > jenis
> > > > beasiswa kedua sebaiknya dihindari.
> > > > 
> > > > salam prihatin,
> > > > aris
> > > > 
> > > > 
> > > > 
> > > > 
> > > > 
> > > > 
> > > > A Nizami  wrote: Perusahaan yang
> > > > full business saja seperti BCA,
> > > > Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi
> > jika
> > > > para
> > > > dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis
> > untuk
> > > > menghidupi diri sendiri.
> > > > 
> > > > Paling gampang ya menaikan SPP.
> > > > 
> > > > Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita
> > anggaran
> > > > 20%
> > > > buat pendidiksan.
> > > > 
> > > > Tidak perlu ada Public Service. Semuanya
> > > > dibisniskan.
> > > > 
> > > > Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada
> > > > Indonesia.
> > > > 
> > > > --- aris solikhah  wrote:
> > > > 
> > > > > Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari
> > pak
> > > > > rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk
> > tambahan
> > > > > justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di
> > IPB
> > > > > adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa
> > di
> > > > > Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan
> > > > Indonesia
> > > > > agak rendah.
> > > > > 
> > > > > Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan
> > tentang
> > > > > BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori
> > keluarnya
> > > > > sangat indah dibandingkan kenyataannya. 
> > IKalau PT
> > > > > mikirin juga mencari sumber penghasilan lain
> > > > > misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah
> > > > > pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari
> > > > > objekkan, dll.
> > > > > 
> > > > > Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik
> > > > meski
> > > > > dibumbui dengan kata-kata yang cantik.
> > > > > 
> > > > > Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah
> > > > > tanggungjawab negara. Kalau sekolah
> > > > dikomersialkan,
> > > > > lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India
> > > > yang
> > > > > memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita
> > > > > mendidik kita untuk jadi buruh professional
> > ahli
> > > > > yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk
> > > > > mandiri. 
> > > > > 
> > > > > Kalau mbak adalah salah satu orang yang
> > mengcreate
> > > > > kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham
> > > > kemana
> > > > > tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan?
> > > > > 
> > > > > Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini
> > > > dievaluasi
> > > > > kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak
> > bisa
> > > > > membayangkan mahalnya pendidikan kita,  siapa
> > yang
> > > > > bisa kuliah nantinya, orang miskin makin
> > miskin
> > > > dan
> > > > > bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta
> > makin
> > > > > terbudakkan SDM kita, plis. 
> > > > > 
> > > > > 
> > > > > 
> > > > > salam,
> > > > > aris
> > > > > 
> > > > > 
> > > > > 
> > > > > 
> > > > > 
> > > > > ndah maldiniwati  wrote:
> > > > > Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy
> > > > > pemerintah yg ingin 
> > > > > mengurangi beban APBN.  Seharusnya PT sebagai
> > > > sebuah
> > > > > perusahaan 
> > > > > bukannya memebebankan biaya oprasionalnya
> > kapada
> > > > > konsumennya 
> > > > > (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru
> > menjadi
> > > > > ajang kompetisi 
> > > > > berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi
> > > > luar
> > > > > shg menggenjot 
> > > > > pemasukan.  Kalo PT mensolusikan peningkatan
> > > > > pemasukan dengan 
> > > > > gencar2nya menaikkan tarif kuliah & mendirikan
> > > > mall
> > > > > saya melihatnya 
> > > > > sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa
> > > > > kapitalis.
> > > > > 
> > > > > untuk penentuan ranking: wah denger gosip
> > darimana
> > > > > mba?? saat saya 
> > > > > ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian
> > > > > kompetensi PT di 
> > > > > Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn
> > > > > digunakan sekjend DIKTI 
> > > > > & DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara
> > lain
> > > > > asiaweek dan guardian 
> > > > > uk.  kualitas PT dinilai dr proses input
> > (kualitas
> > > > > mahasiswa yg 
> > > > > diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan
> > > > dalam
> > > > > proses ada banyak 
> > > > > komponen penunjang proses (proses belajar,
> > > > kualitas
> > > > > dosen, performa 
> > > > > keuangan, fasilitas kuliah, performa
> > research). 
> > > > BAN
> > > > > PT juga melakukan 
> > > > > penilaian untuk akreditasi dengan indikator2
> > yg
> > > > > kurang lebih sama.
> > > > > 
> > > > > Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg
> > digunakan
> > > > > untuk meranking PT di 
> > > > > diknasnya canada, amerika or ausy:
> > > > > BAN PT: http://dikti.go.id/ (masuk ke Badan
> > > > > Akreditasi Nasional)
> > > > > sekjend dikti:
> > > > >
> > http://si.dikti.go.id/kinerja_rincipt/dirpt.php
> > > > > guardian:
> > > > >
> > > >
> > >
> >
> http://education.guardian.co.uk/universityguide2005/0,,
> > > > > 1455246,00.html
> > > > > asiaweek:
> > > > >
> > > >
> > >
> >
> http://www.asiaweek.com/asiaweek/features/universities2000/
> > > > > schools/multi.overall.html
> > > > > (lihat kriterianya dibawah list PT) 
> > > > > 
> > > > > Semoga bermanfaat
> > > > > 
> > > > > --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah
> > 
> > > > > wrote:
> > > > > >
> > > > > >   Dear All,
> > > > > >  HAri ini saya membaca sekilas Humaniora
> > Kompas,
> > > > > mendebarkan rasanya 
> > > > > membayangkan nasib masa depan Perguruan Tinggi
> > > > (PT)
> > > > > Indonesia. Akankah 
> > > > > pendidikan tinggi makin sulit diraih oleh
> > > > > putra-putri  kita?  
> > > > > >  
> > > > > >  
> > > > > >  Dalih internasionalisasi atau dalih mutu
> > > > > perguruan tinggi Indonesia 
> > > > > yang tidak masuk dalam 100 besar terbaik
> > dunia,
> > > > kita
> > > > > perlu 
> > > > > memprivatisasi? ataukah saya salah
> > menyimpulkan
> > > > apa
> > > > > yang dimaksud 
> > > > > dengan privatisasi PT?  CMIIW
> > > > > >  
> > > > > >  Saya pernah mendengar, salah satu kriteria
> > > > > penilaian 100 PT terbaik 
> > > > > dunia diantaranya adalah jumlah mahasiswa luar
> > > > > negeri yang kuliah di 
> > > > > sebuah PT minimal 30 persen dan kriteria lain
> > > > adalah
> > > > > nominal SPP 
> > > > > (biaya kuliah) yang sangat mahal. Bila ini
> > benar
> > > > > maka, kapan pun sulit 
> > > > > PT Indonesia masuk dalam 100 terbaik dunia.
> > Bukan
> > > > > karena kualitasnya 
> > > > > kurang bermutu, tapi kriterianya yang mungkin
> > > > sulit
> > > > > terjangkau. Apakah 
> > > > > ini disengaja atau tidak?
> > > > > >  
> > > > > >  Adakah kaitannya BHP dengan proyek World
> > Bank-
> > > > > IMHERE-DIKTI?
> > > > > >  
> > > > > >  
> > > > > >  Salam prihatin Masa depan Pendidikan
> > Indonesia,
> > > > > >  
> > > > > >  Dari orang yang Sayang Ama almamaternya.
> > > > > >  ____________________________________
> > > > > >  
> > > > > >  http://www.kompas.com/
> > > > > >  
> > > > > >  Baca: 
> > > > > >              
> > > > > >              BHP Identik Kapitalisme 
> > > > > >    Privatisasi Pendidikan   Cenderung
> > Abaikan
> > > > > Keadilan Sosial
> > > > > >    Jakarta, Kompas - Sama halnya dengan  
> > > > layanan
> > > > > kesehatan, sektor 
> > > > > pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak
> > > > dasar 
> > > > >  bagi setiap 
> > > > > warga negara di mana pemerintah wajib
> > memenuhinya.
> > > > > Jika model   
> > > > > pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus
> > pada
> > > > > privatisasi, 
> > > > > taruhannya   adalah pada generasi penerus
> > bangsa. 
> > > > > >    "Privatisasi itu   memang berangkat dari
> > > > konsep
> > > > > liberalisme dan 
> > > > > kapitalisme, di mana model   pelayanan sudah
> > > > > membidik segmen tertentu 
> > > > > demi perputaran modal," kata   Eko Prasojo,
> > guru
> > > > > besar administrasi 
> > > > > publik dari Universitas Indonesia,   Kamis
> > (5/10)
> > > > di
> > > > > Jakarta. 
> > > > > >    Oleh karena itu, dia   menyarankan agar
> > model
> > > > > pelayanan publik 
> > > > > untuk hak-hak dasar warga negara   lebih
> > pantas
> > > > > dibenahi dengan 
> > > > > modernisasi ketimbang privatisasi. Ini  
> > > > > dimungkinkan karena 
> > > > > modernisasi lebih mementingkan layanan yang
> > > > efisien
> > > > > tanpa   
> > > > > mengabaikan kondisi sosial ekonomi sebagian
> > besar
> > > > > masyarakat. Adapun   
> > > > > privatisasi lebih berorientasi pada
> > penghasilan
> > > > > tanpa mempertimbangkan 
> > > > >   kondisi sosial ekonomi masyarakat. 
> > > > > >    Ia mengingatkan, jika   pemerintahan
> > Susilo
> > > > > Bambang Yudhoyono-
> > > > > Jusuf Kalla serius menargetkan   perbaikan
> > indeks
> > > > > pembangunan manusia 
> > > > > (human development index/HDI), Rancangan  
> > > > > Undang-Undang Badan Hukum 
> > > > > Pendidikan (RUU BHP) hendaknya jangan sampai  
> > > > > terjerumus ke 
> > > > > liberalisasi dan kapitalisasi. 
> > > > > >    Sebagai alternatif untuk   model BHP, Eko
> > > > > menawarkan konsep badan 
> > > > > layanan umum (BLU), seperti tertera   dalam
> > > > > Undang-Undang Nomor 1 
> > > > > Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
> > Pasal  
> > > > 67
> > > > > UU tersebut 
> > > > > menyebutkan bahwa BLU dibentuk untuk
> > meningkatkan
> > > > > pelayanan   dalam 
> > > > > rangka memajukan kesejahteraan umum dan
> > > > mencerdaskan
> > > > > kehidupan bangsa. 
> > > > > >    Secara terpisah, Direktur   Lembaga
> > Swadaya
> > > > > Masyarakat untuk 
> > > > > Peningkatan Pendidikan Indonesia Ading  
> > Sutisna
> > > > > berpendapat, untuk 
> > > > > menumbuhkan partisipasi masyarakat yang
> > transparan
> > > >  
> > > > > dan akuntabel di 
> > > > > tingkat satuan pendidikan, yang lebih
> > dibutuhkan
> > > > > adalah BHP   berpola 
> > > > > public private partnership (PPP/kemitraan
> > antara
> > > > > pemerintah dan   
> > > > > masyarakat), bukan privatisasi atau
> > penswastaan. 
> > > > > >    "Pola ini lebih   sesuai dengan UU Sistem
> > > > > Pendidikan Nasional. 
> > > > > Pemerintah harus menuangkan dan   menjabarkan
> > apa
> > > > > yang telah 
> > > > > diamanatkan pasal-pasal tersebut dalam RUU  
> > BHP,"
> > > > > katanya. 
> > > > > >    Agar pengelolaan satuan   pendidikan
> > tidak
> > > > > terjerumus praktik 
> > > > > free fight liberalism (semena-mena),   khusus
> > > > untuk
> > > > > satuan pendidikan 
> > > > > yang modal dasarnya berasal dari pemerintah,  
> > > > Ading
> > > > > menyarankan 
> > > > > pemerintah menetapkan biaya pendidikan (unit
> > cost)
> > > >  
> > > > > berdasarkan hasil 
> > > > > akreditasi atau wilayah di mana satuan
> > pendidikan
> > > > > berada. 
> > > > > >    Ading menegaskan,   pemerintah harus
> > > > membangun
> > > > > sistem pembiayaan 
> > > > > pendidikan yang berkeadilan   sosial. Bagi
> > yang
> > > > > mampu harus membayar. 
> > > > > Bagi yang tidak mampu, pemerintah   wajib
> > > > memberinya
> > > > > beasiswa. Jika 
> > > > > keuangan negara memungkinkan, beasiswa bisa  
> > saja
> > > > > diberikan untuk 
> > > > > seluruh peserta didik. 
> > > > > >    "Besarnya   disesuaikan dengan unit cost
> > yang
> > > > > telah dipatok," 
> > > > > tutur Ading. (NAR)
> > > > > >    RUU BHP: Kebijakan   Positif untuk Pacu
> > Daya
> > > > > Saing 
> > > > > >    
> > > > > >    
> > > > > >    BANDUNG,   KOMPAS- Kebijakan otonomi
> > kampus
> > > > > yang diatur dalam 
> > > > > Rancangan   Undang-Undang Badan Hukum
> > Pendidikan
> > > > > dipandang oleh 
> > > > > kalangan perguruan tinggi   swasta sebagai
> > sebagai
> > > > > kebijakan positif. 
> > > > > Selain meningkatkan efisiensi   dan kinerja
> > > > lembaga,
> > > > > otonomi kampus 
> > > > > yang dikelola secara kolegial di PTS   justru
> > bisa
> > > > > meningkatkan daya 
> > > > > saing PTS dengan PTN.
> > > > > >    "Saya pikir, RUU BHP itu bagus adanya.
> > Dalam
> > > > > rangka otonomi 
> > > > > kampus, sebuah   perguruan tinggi tentunya
> > harus
> > > > > punya pengelolaan dan 
> > > > > manajemen yang efisien.   Melalui otonomis
> > kampus,
> > > > > PT dikondisikan 
> > > > > untuk merubah manajemen pengambilan  
> > keputusannya
> > > > > sehingga bisa lebih 
> > > > > cepat tetapi tetap akurat," ujar Pius  
> > Suratman
> > > > > Kartasamita, mantan 
> > > > > Rektor Universitas Katolik Parahyangan, Senin 
> > 
> > > > > (2/10).
> > > > > >    Diakui Pius, dari kacamata kebijakan
> > > > > universitas, keberadaan 
> > > > > yayasan selaku   pengelola perguruan tinggi
> > swasta
> > > > > selama ini 
> > > > > sangatlah dilematis. Di satu   sisi, yayasan
> > > > menjadi
> > > > > penyokong utama 
> > > > > pendanaan termasuk manajemen sumber   daya
> > > > manusia.
> > > > > Namun, di sisi 
> > > > > lain, keberadaannya secara tidak langsung
> > dirasa  
> > > > > kerap membatasi 
> > > > > ruang lingkup kebijakan kampus.
> > > > > >     "Saya berpendapat, rektor semestinya
> > perlu
> > > > > diberi wewenang lebih 
> > > > >   untuk menjalankan tugas yang diembannya.
> > Jadi,
> > > > > tidak sebatas 
> > > > > akademik. Meski   demikian, wewenangnya
> > bukanlah
> > > > > asal besar. 
> > > > > Melainkan, birokrasinya saja yang  
> > dipermudah.
> > > > > Untuk itu, hubungan 
> > > > > kerja internal baik antara pengurus yayasan,  
> > > > senat
> > > > > dan pimpinan 
> > > > > universitas haruslah dipermudah," ujarnya.
> > > > > >    Dikonfrimasi dalam kesempatan yang sama,
> > > > Rektor
> > > > > Unpar yang baru 
> > > > > Cecilia   Lauw Giok Swan mengatakan, Unpar
> > masih
> > > > > memiliki waktu yang 
> > > > > cukup banyak untuk   mengantisipasi
> > disahkannya
> > > > RUU
> > > > > BHP dengan 
> > > > > melakukan perubahan struktur   organisasi.
> > Namun,
> > > > > perubahan struktur 
> > > > > organisasi itu diharapkannya hanya   terjadi
> > di
> > > > > tubuh senat 
> > > > > universitas dan pengurus yayasan agar tidak
> > > > > mengganggu   kinerja 
> > > > > akademik.
> > > > > >    Diminat pendapatnya mengenai opsi-opsi
> > yang
> > > > > akan dipilih pihak 
> > > > > yayasan   apakah akan meleburkan diri atau
> > > > menunjuk
> > > > > lembaga teknis 
> > > > > baru, Ketua Umum   Pengurus Yayasan Unpar Prof
> > > > > Kusbiantoro menjawab, 
> > > > > "Secara prinsip, kami siap   dan tidak ada
> > masalah
> > > > > dengan opsi 
> > > > > manapun. Itu sudah kami antisipasi dari  
> > awal.
> > > > > Namun, secara 
> > > > > kelembagaan, karena masyarakat kampus ini
> > sifatnya
> 
> === message truncated ===
> 
> 
> The great job makes a great man
>   pustaka tani 
>   nuraulia
> 
>               
> ---------------------------------
> How low will we go? Check out Yahoo! Messenger's low  PC-to-Phone 
call rates.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>






***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke