Assalamu'alaikum wr wb,
Benarlah firman Allah:

9. At Taubah 
67. Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan.
sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka
menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang
ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka
telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah
orang-orang yang fasik.  

Lihat bagaimana sekelompok masyarakat dan Islam
Liberal yang menentang adanya Perda yang melarang
pelacuran. Mereka ingin poligami yang sesuai syari'ah
(maksimal 4 orang dan suami harus bertanggung-jawab
pada istri dan anaknya) dilarang. Tapi poligami liar
seperti pelacuran di mana dalam setahun pria wanita
bisa berganti dengan 100 pasangan lebih tanpa
tanggung-jawab justru mereka bela.

Semoga kita bisa tetap menempuh jalan yang lurus dan
diridhai Allah meski orang-orang kafir dan munafik
berusaha menyesatkan kita.

Wassalam

http://www.kompas.com/metro/news/0605/19/033149.htm
Pemkot Kukuh Terapkan Perda Larangan Pelacuran

Tangerang, Warta Kota

Berita Terkait:

• Berita Foto: Aksi Tolak RUU APP
• Foto Panas Siswa SMA Cilegon Diburu
• Berita Foto: Karnaval Budaya Tolak RUU APP
Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang bersikukuh
menerapkan Perda No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
Pelacuran di Kota Tangerang, meski saat ini beberapa 
kelompok masyarakat tengah melakukan upaya judicial
review ke Mahkamah Agung (MA). 
   
"Selama belum ada keputusan atau fatwa dari MA terkait
perda tersebut, maka tidak ada alasan bagi  Pemkot
Tangerang untuk surut dalam menegakkan Perda No 8
Tahun 2005," tegas Asisten Daerah (Asda) I Affandi
Permana di hadapan anggota Komisi I DPRD Kota
Samarinda dan sejumlah tokoh masyarakat utusan Pemkot
Samarinda yang melakukan studi banding ke Pemkot
Tangerang, Kamis (18/5).
   
Menurut Affandi, upaya yang ditempuh sebagian kelompok
masyarakat, seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI),
yang mengajukan judicial review atas Perda No 8 Tahun
2005 itu adalah sesuatu yang wajar dan sah. Namun,
Affandi menganggap penilaian minor terhadap perda 
pelarangan pelacuran muncul akibat ketidakpahaman
mereka terhadap substansi aturan tersebut. 

===
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1027
Tentang Perda Pelacuran
Oleh Abd Moqsith Ghazali
03/04/2006
Tidak terlalu jauh dari Jakarta, di Kota Tangerang,
kita tengah menyaksikan peraturan daerah (Perda) No. 8
tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Sesungguhnya
telah banyak keluhan dan kritik disampaikan terkait
dengan perda Tangerang, baik oleh para akademisi,
pakar hukum maupun warga masyarakat Tangerang sendiri.
Perda ini dikritik bukan hanya karena banyak
bertentangan dengan peraturan di atasnya seperti KUHP,
melainkan juga karena materi hukum dan kosa kata yang
dipakainya sangat multitafsir, sehingga dapat dengan
mudah dibelokkan oleh aparat penegak hukum.

RUU APP: Ketegangan Modernisme dan Fundamentalisme 
27/03/2006
Puritanisme Menghambat Kemajuan 
Tidak terlalu jauh dari Jakarta, di Kota Tangerang,
kita tengah menyaksikan peraturan daerah (Perda) No. 8
tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Perda ini
telah diundangkan pertanggal 27 Nopember 2005, dengan
demikian mengikat secara langsung terhadap seluruh
warga kota Tangerang. Beberapa kali media massa
memberitakan tentang sejumlah perempuan yang ditangkap
polisi karena diduga sebagai pelacur dengan ancaman
sanksi yang telah diatur dalam Perda ini, yaitu pasal
9 ayat (1), hukuman kurungan paling lama tiga bulan
atau denda setinggi-tingginya lima belas juta rupiah.
Lilis Lindawati, warga Sepatan Tangerang, yang didakwa
sebagai pelacur telah dihukum dengan membayar denda
Rp. 300.000 atau kurungan delapan hari. Sebagian yang
lain kemudian dilepas karena tak terbukti sebagai
pelacur, tanpa ada upaya untuk memperbaiki nama
baiknya yang telah tercemar akibat tuduhan pelacuran
tersebut. 

Sesungguhnya telah banyak keluhan dan kritik
disampaikan terkait dengan perda Tangerang, baik oleh
para akademisi, pakar hukum maupun warga masyarakat
Tangerang sendiri. Perda ini dikritik bukan hanya
karena banyak bertentangan dengan peraturan di atasnya
seperti KUHP, melainkan juga karena materi hukum dan
kosa kata yang dipakainya sangat multitafsir, sehingga
dapat dengan mudah dibelokkan oleh aparat penegak
hukum. Jika ini yang terjadi, pihak yang paling banyak
dirugikan adalah kaum perempuan. Perda ini bisa
menjerat kaum perempuan yang dicurigai sebagai
pelacur. Tapi, ia tak pernah bisa menjangkau lelaki
hidung belang yang menjadi pelanggannya. Perda ini
mengandung bias, karena itu perlu direvisi secara
mendasar dan substansial. Anehnya, walau banyak menuai
kritik, Pemerintah Kota Tangerang tetap bersikukuh
menerapkan perda tersebut. 

Saya hanya akan menyoroti Perda ini dari perspektif
fikih Islam. Karena, sekalipun tak disebut secara
eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak bisa
disangkal bahwa ada ideologi keislaman yang hendak
ditegakkan melalui perda tersebut. Yaitu, memberantas
tindak pelacuran dengan asumsi-asumsi keislaman. Tentu
itu sebuah tujuan yang mulia. Namun, ketika memasuki
pasal demi pasalnya kita segera menemukan kelemahan
pokoknya. Bahwa perda ini berdiri di atas basis
epistemologis dan pangkal paradigma yang rapuh.
Misalnya, pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa, "setiap
orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan
sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka
pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di
lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel,
asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi,
tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut
jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat
lain di daerah". 

Dengan pasal 4 di atas, cukup jelas bahwa perda
tersebut didasarkan pada prasangka dan kecurigaan. Ini
sangat problematis dari sudut fikih Islam. Sebab,
menuduh orang lain (qadaf) sebagai pelacur atau pezina
tanpa menghadirkan alat bukti yang valid, dalam fikih
Islam, dapat diancam dengan hukuman jild (pukulan)
sebanyak 80 kali. Si penuduh hanya akan selamat dari
ancaman tersebut hanya jika ia dapat menghadirkan
empat orang saksi yang melihat secara detail bahwa si
tertuduh telah melakukan pelacuran. Atau, si pelacur
mengakui perbuatannya (i'tiraf) bahwa dirinya
benar-benar seorang pelacur. Cara pandang fikih klasik
ini sengaja saya hadirkan untuk menunjukkan bahwa
menuduh orang lain sebagai pelacur atau pezina tanpa
ditunjang oleh bukti yang kuat tak bisa dibenarkan.
Menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur
hanya karena ia berada di pinggir jalan pada jam larut
malam adalah sebentuk kesewenang-wenangan. 

Semua pelajar muslim pasti tahu bahwa beberapa kali
hukuman dijatuhkan oleh Rasulullah SAW kepada para
pelaku tindak perzinaan bukan didasarkan atas
prasangka dan kecurigaan, melainkan karena pengakuan
jujur dari diri yang bersangkutan. Dengan kesadaran
hatinya yang penuh, masing-masing mendatangi Nabi agar
hukuman segera dijatuhkan pada dirinya. Cukup menarik,
walau mereka mengakui kesalahannya karena telah
melakukan perzinaan, Nabi tidak serta-merta memvonis.
Nabi masih mencoba bertanya, "mungkin Anda lupa,
mungkin Anda tak sengaja, mungkin Anda khilaf". Ini
turut menegaskan bahwa sesungguhnya Nabi berharap agar
yang bersangkutan melakukan perbaikan diri dan
pertobatan secara langsung kepada Allah. 

Melalui hadis ini bisa diambil kesimpulan bahwa Islam
menganut asas praduga tak bersalah. Dalam pandangan
fikih Islam, semua orang pada dasarnya adalah suci
(tak berdosa) hingga ada dalil yang membuktikan
sebaliknya. Dua orang berbeda jenis kelamin tanpa ada
ikatan pernikahan yang sedang berada dalam satu kamar
pun tak bisa divonis telah melakukan perzinaan,
kecuali ada empat orang saksi yang mengetahui secara
persis--menurut hadis--sebagaimana benang masuk ke
dalam jarum atau timba masuk ke dalam sumur. Demikian
sulitnya pembuktian perzinaan ini sehingga hukuman
bagi para pezina, sepanjang kehidupan Nabi, tak pernah
dijatuhkan dengan adanya kesaksian dari empat orang.
Nabi pun tak pernah menghukum seseorang sebagai pezina
atau pelacur karena ia berteman akrab atau berada di
lingkungan pezina atau pelacur. 

Berkebalikan dengan pandangan Islam di atas, perda
Tangerang memegang satu perspektif bahwa seseorang
pada hakekatnya adalah bersalah kecuali ada dalil lain
yang menunjukkan bahwa dirinya adalah bersih-tak
bersalah. Perda Tangerang menganut asas praduga
bersalah. Dengan nalar seperti ini, polisi Tangerang
dapat menangkap seseorang yang dicurigai sebagai
pelacur. Bagaimana kriterianya sehingga seseorang bisa
dicurigai sebagai pelacur, perda ini tak
menjelaskannya secara clear-cut. Karena tak ada
petunjuk-penjelasan itu, polisi bisa saja bergerak
secara leluasa untuk menentukan kriterianya. Misalnya,
perempuan yang patut dicurigai sebagai pelacur adalah
perempuan yang berpakaian seksi, memakai parfum yang
menyengat, memakai bedak yang tebal dan lipstik yang
ngejreng. Bahkan, menurut pengakuan Lilis (sebagaimana
dalam wawancara di TVRI 28 Maret 2006 pukul 22.00
WIB), dirinya divonis sebagai PSK (pekerja seks
komersial) karena di dalam tasnya ada bedak dan
lipstik. Jika demikian kriterianya, maka sekian ribu
perempuan akan digiring masuk tahanan. Konon,
sepanjang tahun 2005, Pemerintah Kota Tangerang telah
menjaring tiga ratusan lebih perempuan yang diduga
sebagai pelacur. 

Paragraf demi paragraf di atas telah cukup untuk
menegaskan bahwa Peraturan Daerah Kota Tangerang itu
sangat problematis, bukan hanya dari sudut semantik
dan koherensinya dengan peraturan-peraturan lain
sebagaimana dikemukakan sejumlah pakar, melainkan juga
bermasalah dari perspektif fikih Islam. Jika demikian
jelasnya kelemahan-kelemahan dalam perda itu, maka tak
bisa lain kecuali bahwa perda tersebut memang harus
ditolak. Begitu juga terhadap perda-perda serupa yang
kini banyak muncul di sejumlah kota dan kabupaten di
Indonesia. []

^ Kembali ke atas 
Referensi:
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1027


===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
http://www.media-islam.or.id

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke