Banyak orang yang menyalahkan pemerintah dan juga
operator transportasi ketika berbagai kecelakaan
transportasi terjadi.

Entah itu kecelakaan kapal laut seperti KM Senopati,
Levina, pesawat terbang seperti Lion Air, Adam Air,
Garuda atau pun kereta api.

Tim investigasi dikirim, namun berbagai kecelakaan
tetap terjadi.

Menurut saya ada faktor utama terjadinya kecelakaan
transportasi, yaitu penerapan sistem ekonomi
neoliberal di bidang transportasi.

Pada sistem itu negara tidak boleh turut berbisnis.
Semua diserahkan pada swasta. Negara haram memberikan
subsidi. Sebisa mungkin, subsidi di bidang
transportasi dihapuskan.

Sayangnya masyarakat kita yang menggunakan
transportasi umum tidak sekaya dengan masyarakat di
Negara maju. Jika di Negara maju gaji bulanan bisa
mencapai rp 11 juta dan mampu menghabiskan uang
transportasi sampai rp 2 juta, di Indonesia rata-rata
berpenghasilan rp 1 juta atau di bawahnya (sebagian
UMR tahnun 2006 di daerah seperti di Madiun masih di
bawah Rp 500 ribu). Bahkan masih banyak pekerja di
Indonesia yang gajinya masih di bawah UMR (misalnya
pelayan toko). Paling banter mereka hanya mampu
menghabiskan rp 300 ribu per bulan untuk transportasi.
Sisanya untuk biaya hidup sehari-hari seperti makan
dan akomodasi.

Oleh karena itu, operator transportasi juga tidak bisa
mengenakan tarif yang wajar. Sebagai contoh, dengan
tarif Rp 1.500 saja untuk KRL Jabotabek Jakarta-Depok,
masih banyak penumpang yang berjubel di atas gerbong,
sementara di bawah dengan kondisi berdesakan hingga ke
luar pintu, ada penumpang yang tidak membeli tiket.

Dengan kondisi keuangan seperti itu, akhirnya operator
transportasi swasta sulit membeli kendaraan baru atau
pun alat pengaman seperti sekoci atau pelampung karena
pendapatan jadi kurang. 

Selain itu, sudah jadi prinsip swasta untuk mengeruk
untung sebesar mungkin. Caranya meningkatkan
“penjualan/jasa” sebanyak mungkin dan menekan
biaya seminim mungkin. Karenna keterbatasan kantong
rakyat Indonesia, maka penerimaan yang didapat
operator transportasi kita jauh lebih rendah dari yang
ada di luar negeri. Sementara biaya, terutama
pembelian alat transportasi justru lebih tinggi karena
umumnya untuk pesawat terbang, kapal laut, mau pun
mobil kita justru beli dari Negara-negara maju.

Akibatnya untuk menekan biaya, selama kendaraan tidak
rusak, terus mereka pakai hingga rusak. Kalau mobil
paling mogok. Namun jika pesawat terbang atau kapal
laut bisa jatuh atau tenggelam di laut. Sebagai
contoh, banyak pesawat terbang yang dipakai berumur di
atas 15 tahun. Bis, metromini, mau pun mikrolet banyak
yang sudah reot. Tak jarang lantainya bolong-bolong
sehingga kita bisa melihat jalanan.

Oleh karena itu, pemerintah selain menerapkan aturan
seperti umur kendaraan maksimal 15 tahun untuk
kendaraan umum juga harus membantu untuk pengadaan
kendaraan baru agar kendaraan yang sudah tua bisa
diganti dengan yang baru. Jika tidak, maka rakyat
Indonesia terpaksa harus mengalami berbagai kecelakaan
seperti yang terjadi sekarang.

Kesejahteraan pengemudi juga harus diperhatikan.
Dengan gaji rp 1 juta atau kurang, saya yakin banyak
pengemudi mikrolet atau metromini yang sudah pusing
duluan memikirkan uang makan atau pun sekolah untuk
anaknya. Akibatnya mereka tidak bisa konsentrasi penuh
untuk mengemudi. Kejar setoran yang berakibat
kebut-kebutan atau menurunkan penumpang di lajur
tengah pun jadi kebiasaan.

Namun meminta uang pada pemerintah untuk subsidi pun
sulit. Karena dengan sistem ekonomi Neoliberalis
negara tidak punya uang banyak.

Kekayaan alam seperti minyak, gas, emas, dan
sebagainya diserahkan mayoritas ke swasta asing
(Chevron, Exxon Mobil, Standard Oil, Freeport, dsb)
akibatnya sebagian besar hasil penjualan kekayaan alam
lari ke AS. Untuk pertambangan pemerintah hanya dapat
15%. Untuk migas, meski menurut kontrak pemerintah
dapat 85%, tapi itu harus dipotong lagi dengan “Cost
Recovery” yang besarnya ditetapkan oleh perusahaan
asing yang mengelola kekayaan alam kita. Akibatnya di
Natuna negara Indonesia hanya kebagian O (baca: NOL)
persen saja.

Untuk mengharap dapat pendapatan dari pajak pun sulit,
karena para « pelaku pasar » / Investor minta agar
pajak diturunkan atau bahkan dihilangkan agar «
investor » (baca : penguras kekayaan alam Indonesia)
bisa masuk.

Sistem ekonomi neoliberalisme inilah yang
mengakibatkan negara Indonesia termasuk pengusaha
lokal dan rakyat Indonesia kekurangan uang. Penopang
sistem ini tak lain AS lewat kedubesnya di Indonesia,
segelintir pelaku “Pasar” (Pasar Modal/Pasar
Uang), perusahaan Multinasional, dan segelintir ekonom
dari perguruan tinggi negeri yang didanai oleh pihak
luar.

Itulah akar permasalahan yang sebenarnya. Sebagai
bukti, lihat artikel di bawah di mana Garuda harus
berhutang sebesar US

Salam

Pemerintah Masih Setengah Hati Bantu Garuda      
Selasa, 27 Pebruari 2007  
JAKARTA (BP) - Perusahaan penerbangan PT Garuda
Indonesia (Persero) belum dapat memastikan, apakah
dalam waktu 1-2 tahun mendatang sudah bisa menikmati
keuntungan. Sebab, maskapai penerbangan plat merah ini
masih terbelit utang. Bahkan, Penyertaan Modal Negara
(PMN) Rp1 triliun yang pernah dijanjikan oleh
(pemerintah-red) sampai saat ini belum juga masuk ke
rekening perusahaan (Garuda). 
Akibatnya, pembelian pesawat hingga pembayaran utang
kepada kreditor menjadi molor. Sehingga, maskapai
berkode GA ini masih bungkam soal keuntungan. 


Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP)
Komisi V DPR-RI dengan Direktur Utama PT Garuda
Indonesia, Emirsyah Satar, yang membahas mengenai
kinerja Garuda 2006 dan buisness plan 2007, di Gedung
DPR/MPR, Senayan, Jakarta, pekan lalu.


Emir menjelaskan, jumlah utang Garuda per 31 Desember
2006 sebesar 748,055 juta dolar AS, “Sebesar 470
juta dolar AS adalah utang pembelian pesawat A-330,”
ujarnya. 
Menurut Emir, jika utang Garuda telah terselesaikan,
tidak tertutup perseroan akan menjadi perusahaan yang
sehat dan kuat. 


Pesawat yang sudah dibeli itu lanjut Emir, tidak bisa
dikembalikan karena adanya perbedaan harga jika
pesawat tersebut dijual ke pasar dengan jumlah utang
pesawatnya, “Jadi kita tetap saja masih berutang,”
cetusnya. 


Emir menambahkan, Garuda sedang membicarakan masalah
share of payment pelunasan utang itu dengan
pemerintah. Sampai sejauh ini pemerintah menolak
memberikan jaminan utang pembelian A-330.
“Mudah-mudahan tahun ini bisa diselesaikan,”
ujarnya. 


Garuda juga sedang bernegosiasi dengan kreditor
mengenai penyelesaian utang perseroan. “Jika utang
ini tidak selesai tahun ini akan sulit untuk Garuda ke
depannya,” tutur Emir. Emir juga menegaskan, meski
masih mempunyai utang Garuda bisa terus melakukan
efisiensi dengan segala daya upaya. “Seperti cost
per unit sudah turun hampir 5 persen di luar biaya
bahan bakar, dan pemakaian bahan bakar pun sudah kita
efisienkan,” tandasnya. 


“Untuk penambahan modal dengan adanya penyertaan
modal negara (PMN) Rp1 triliun kita harapkan
permodalan akan semakin baik,” lanjut Emir. Pihaknya
juga mengharapkan tahun ini segera diselesaikan
masalah strategic partner sehingga permodalan makin
bertambah. 


Untuk pembayaran asuransi juga mengalami penurunan
atau efisiensi sebesar 24 persen dari 14 juta dolar AS
yang telah dibayarkan terdahulu.


Kinerja Garuda tahun 2006 mencatat rugi sebesar
Rp191,9 miliar dibanding tahun 2005 yang rugi Rp688,5
miliar. Pendapatan operasi tahun 2006 mencapai Rp
12,29 triliun, turun 3 persen dari 2005 yang sebesar
Rp 12,65 triliun. 


Rugi usaha tahun 2006 sebesar Rp 362,1 miliar
meningkat 46 persen dibanding rugi usaha tahun 2005
sebesar Rp 668,1 miliar. (jpnn)
http://www.harianbatampos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=14396&Itemid=70

  


===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
http://www.media-islam.or.id



 
____________________________________________________________________________________
Need Mail bonding?
Go to the Yahoo! Mail Q&A for great tips from Yahoo! Answers users.
http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396546091

Kirim email ke