Saat ini luas tanah Indonesia sekitar 2 juta km2 atau 200 juta hektar. Artinya jika dibagi rata kepada setiap keluarga (1 keluarga terdiri dari 4 orang) maka tiap keluarga dapat 4 hektar. Atau jika tiap keluarga dibagi 1 hektar masih tersisa 150 juta hektar untuk hutan dan kebun.
Toh ternyata tidak semua rakyat Indonesia bisa mendapatkan tanah untuk berusaha/bertani. Di sisi lain pemerintah dengan royal memberi jutaan hektar pada perusahaan asing seperti Freeport, Newmont, Exxon, dsb. Ini tentu merupakan satu ketidak-adilan. Apalagi saat ini banyak terjadi sengketa tanah yang sering berakhir dengan penembakan kepada petani. Contoh di Alas Tlogo Pasuruan, Marinir menembak mati 4 orang petani termasuk ibu hamil dan anak-anak. Para petani menolak digusur sebab TNI hanya mengganti tanah seluas 500 meter persegi bagi setiap keluarga. Coba pikir, idealnya minimal seorang petani punya lahan 1 hektar agar bisa menghidupi keluarganya. Ini Cuma dikasih 500 m2 atau 1/20 hektar. Kira2 (maaf) masih punya otak tidak orang yang hanya ingin memberi tanah Cuma 500 m2 atas tanah petani yang dia gusur. Di Ujung Kulon juga sengketa tanah berakhir pada penembakan juga. Harusnya pemerintah yang menguasai 200 juta hektar tanah punya peran di sini dalam membagikan tanah secara adil kepada rakyatnya. Dulu Soeharto masih punya visi dengan melakukan proyek Transmigrasi. Meski banyak kekurangan, toh itu satu langkah untuk memberi tanah kepada petani agar Indonesia bisa swasembada pangan. Mudah2an ke depan Pemerintah bisa lebih baik dari itu. Salam http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/hut_bul_sikap_koa_260803_/ Hentikan Pembunuhan dan Kekerasan atas Petani, Masyarakat Adat, dan Aktivis Bulukumba di Propinsi Sulawesi Selatan Pada hari Senin, 21 Juli 2003, telah terjadi tindakan kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat POLRI dari Polres Bulukumba dan didukung oleh personil Polda Sulawesi Selatan, Brimob Polwil Bone, Polres Sinjai, dan Polres Bantaeng terhadap petani, masyarakat adat Kajang dan aktivis di wilayah Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sampai hari ini (26/08/03), jumlah korban-namun tidak terbatas pada-yang tewas 2 orang, ditangkap lalu ditahan sebanyak 28 orang serta 24 orang aktivis dan petani dimasukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) aparat kepolisian. Peristiwa penyerbuan, penembakan, dan pembunuhan atas petani dan masyarakat adat Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang sedang melakukan aksi menuntut hak atas tanah dan sumberdaya alam yang telah dirampas/diserobot oleh PT London Sumatera (PT LONSUM) dan digunakan sejak tahun 1960-an sebagai perkebunan karet, menunjukan realitas masih dipergunakannya pilihan kekerasan dalam penyelesaian konflik dan melindungi kepentingan perusahaan (modal). Hal ini juga menunjukan lemahnya keberpihakan aparat kepolisian menegakkan hukum (law enforcement) yang berpihak pada rasa keadilan rakyat. Sementara itu, hingga satu bulan lebih peristiwa Bulukumba ini, terlihat jelas pihak pemerintah maupun institusi POLRI masih tetap berpihak pada klaim kebenaran pihak PT Lonsum. Tindakan penembakan dan penganiayaan tahanan oleh pihak Polres Bulukumba dinyatakan sudah sesuai prosedur, baik oleh pihak Polda Sulawesi Selatan maupun oleh pihak Mabes POLRI (dibuktikan dengan tidak adanya sikap tegas KAPOLRI atas insiden ini, serta masih terus dilakukannya pengejaran disertai teror dan tindak kekerasan aparat kepolisian atas rakyat sipil di Bulukumba maupun di Makassar). Bukti lainnya, persoalan pokok pada kasus ini tentang status kepemilikan tanah perkebunan PT Lonsum yang diperoleh dari hasil merampas dan membunuh rakyat begitu saja disingkirkan. Terakhir, pada tanggal 15 Agustus 2003 sejumlah 4 orang petani ditangkap di kota Makasar dengan tuduhan ikut terlibat dalam aksi pendudukan kembali (reclaiming) pada tanggal 21 Juli 2003. Bahwa adanya fakta-fakta peristiwa pidana yang dilakukan oleh PT Lonsum antara lain: 1. Tahun 1980-1990, terjadi perampasan tanah yang disertai tindakan kekerasan, pembakaran dan penggusuran rumah warga oleh PT Lonsum dengan dukungan aparat Militer dan POLRI 2. Pada bulan Maret 2003, terjadi penggusuran lahan warga di desa Bonto Manggiring Kec. Bulukumba, pembakaran rumah dan penembakan terhadap warga yang dilakukan oleh orang-orang PT Lonsum. 3. Penyerbuan oleh aparat kepolisian dan orang-orang PT Lonsum disertai penangkapan sewenang-wenang atas 4 orang warga pada bulan Mei 2003. 4. Keabsahan atas klaim wilayah izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Lonsum di wilayah TKP (Desa Biraeng dan Bonto Mangiring), sementara berdasarkan gambar situasi khusus tanggal 30 Mei 1997 Nomor 19/1997, Nomor 20/1997, Nomor 21/1999 dan Nomor 22/1997 yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN dan Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia B) Propinsi Sulawesi Selatan wilayah izin kerja HGU PT Lonsum seluas 5.784,45 ha l wilayah Desa Bonto Mangiring dan Bonto Biraeng (lokasi TKP), tidak termasuk di dalamnya (lihat petikan SK Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ir. Soni Harsono Nomor:111/HGU/BPN/97) Mengenai peristiwa itu, walaupun warga telah melaporkannya kepada Polres Bulukumba dan instansi pemerintah daerah terkait, namun tidak ada kejelasan mengenai tindak lanjutnya hingga saat ini. Sementara itu, apabila pihak perusahaan yang melapor, aparat keamanan sangat cepat meresponnya. Secara tegas, dapat kami katakan bahwa pola operasi sistematis yang dilakukan oleh aparat pemerintah, kepolisian dan didukung oleh perusahaan perkebunan PT Lonsum adalah upaya membendung dan meredam perjuangan rakyat untuk mendapatkan hak atas tanah dan kekayaan alam lainnya dengan cara-cara represif. Perjuangan yang dilakukan rakyat petani dan masyarakat adat Kajang di Bulukumba bukanlah tindakan melanggar hukum (kriminalitas), melainkan harus dilihat sebagai usaha langsung yang sah dari rakyat guna memperjuangkan dan mempertahankan hak atas tanah sebagai sumber penghidupannya. Berdasarkan kejadian dan pandangan di atas, kami SOLIDARITAS NASIONAL UNTUK BULUKUMBA menyatakan sikap dan tuntutan sebagai berikut: 1. Segera hentikan segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat Kajang. 2. PECAT dan ADILI Kepala Polisi Daerah Sulawesi Selatan Irjen Jusuf Manggabarani, Kapolwil Bone, dan Kapolres Bulukumba AKBP Tigor Situmorang, serta 2 Kapolres, yakni Kapolres Sinjai dan Bantaeng. 3. Terhadap para petani, masyarakat adat dan aktivis Ornop yang telah ditangkap lalu ditahan, aparat kepolisian harus segera membebaskan dan memulihkan hak-hak mereka. 4. Segera lakukan perundingan antara pemerintah daerah, PT. LONSUM dengan petani dan masyarakat adat Kajang untuk penyelesaian yang seadil-adilnya pada rakyat atas persoalan tersebut, untuk penyelesaian atas kasus ini secara adil dan tuntas. Dengan menghormati institusi adat (amatoa) dan mekanisme penyelesaian konflik lokal yang telah lama ada di Bulukumba. 5. Wajib bagi PT. LONSUM dan pemerintah daerah Bulukumba untuk segera memberi kompensasi, rehabilitasi dan restitusi atas seluruh tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum sistematis yang telah dilakukan selama ini terhadap petani dan masyarakat adat kajang. 6. Dalam melakukan proses penyelesaian sengketa tanah dan sumber daya alam seperti ini, pemerintah daerah (Bupati dan DPRD) Bulukumba hendaknya berlandaskan pada mandat Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dan Keppres No.34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan yang pada pokoknya terkandung semangat kerakyatan dan keadilan sosial, serta cukup besarnya kewenangan daerah dalam menuntaskan masalah agraria termasuk penyelesaian konflik pertanahan yang menjamin hak-hak rakyat atas tanah di dalamnya. 7. Mendesak Komnas HAM segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) sebagai tindak lanjut hasil investigasi sebelumnya (30 Agustus-03 Juli 2003) di Bulukumba. 8. Saat ini, mengingat banyaknya konflik tanah dan sumber daya alam, sementara mekanisme dan lembaga peradilan yang ada saat ini dirasa tidak mampu lagi memenuhi rasa keadilan rakyat banyak, maka kebutuhan lembaga/badan penyelesaian sengketa agraria perlu untuk segera dibentuk. Badan-badan khusus untuk penyelesaian sengketa pertanahan ini, untuk tingkat nasional dapat disebut Komisi Nasional untuk Penyelesaian Sengketa Tanah yang dibarengi dengan pembentukan Komisi sejenis di daerah-daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota, hingga desa atau nama lainnya) dengan menggunakan pendekatan transisional (transitional justice) dalam menyelesaikan sengketa tanah yang selama ini mengorbankan rakyat. 9. Mendesak pemerintah untuk segera membuat Undang-Undang tentang Perlindungan Petani. Demikian Siaran Pers ini disampaikan kepada publik dan semua pihak yang berkepentingan. Terimakasih. Jakarta, 26 Agustus 2003 SOLIDARITAS NASIONAL UNTUK BULUKUMBA YLBHI WALHI LBH Rakyat - KONTRAS - ELSAM - JARINGAN PEMBELAAN AKTIVIS LINGKUNGAN (TAPAL) KOALISI UNTUK KESELAMATAN MASYARAKAT SIPIL - ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) YAPPIKA PBHI - KONPHALINDO - SOLIDARITAS ORNOP SULSEL (SOS) Untuk Perjuangan Petani Bulukumba RACA Institute LS ADI SERIKAT TANI NASIONAL (STN) FEDERASI SERIKAT PETANI INDONESIA (FSPI) - POKJA PETANI NASIONAL MANDIRI (POKJA PNM) - HUMA LBH APIK KpSHK IMPARSIAL PAN/BIOTANI INDONESIA LP3ES Jarnas HAM LMND APHI FMN GPK JATAM - KAU - SAWIT WATCH SKEPHI - FRONT RAKYAT ANTI MILITERISME (FRAM) LSPP - SNB - YPR Bulukumba Sulsel Kontak: * - Ridha Saleh (Eknas WALHI) : 0815-9448017 * - Abusaid Pelu (Kontras : 0812-8872060) * - Afrizal. T (YAPPIKA) : 0811-147952 * - Syamsul Bahri (YLBHI) : 0813-104510155 * - Rukka. S (AMAN) : 0811-116676 Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Rully Syumanda Pengkampanye Isu Hutan Email Rully Syumanda Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363 Mobile: Fax: +62-(0)21-794 1673 === Ingin berdiskusi mengenai masalah ekonomi di Indonesia? Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] ____________________________________________________________________________________ Get the Yahoo! toolbar and be alerted to new email wherever you're surfing. http://new.toolbar.yahoo.com/toolbar/features/mail/index.php