I. Yusanto: " Dalam jihad, tergambar sangat jelas siapa yang menjadi musuh, konteksnya apa, untuk tujuan apa, dan lain-lain. Pengertian jihad dari segi bahasa yang berarti "sungguh-sungguh" itu harus ditarik kepada pengertian istilah, yakni berperang baik secara ofensif maupun defensif..."
++++ Nah ber siap siaplah para anakbangsa, nasionalist dan patriotist pencnta negara nasional Indonesia yang multibudaya dan multiagama untuk dimusuhi dan diserang..Si vic pacem para bellum (If you want peace, prepare for the war. (Vegetius)! Baik bagi mereka belum tentu baik bagi seluruh jajaran rakyat Indonesia... kita telah mengalami pada masa pembrontakan di tii ditahuin 50an..jasmerah (bung Karno) janganlah melupakan sejarah... --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Mudatsir" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > KHILAFAH vis a vis NASIONALISME > > Posted By solihan On July 17, 2007 @ 11:21 pm In Kantor Jubir | 2 Comments > > Ide Khilafah sering kali dibenturkan dengan gagasan nation state, untuk memperdalam masalah ini berikut wawancara Tsaqofah dengan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto (Redaksi) > > > > Bagian -- #2 > > > > BURHANUDDIN: > > Sering kita dengar bahwa demokrasi adalah sistem yang dibikin oleh manusia. Atas dasar itulah, Hizbut Tahrir menawarkan penerapan syariat Islam sebagai solusi. Apakah ini bisa diartikan Hizbut Tahrir menolak demokrasi? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Demokrasi itu intinya 'kan kedaulatan di tangan rakyat. Yang dimaksud kedaulatan di situ adalah yamlikul iradah atau yang "memiliki kehendak paling tinggi", kemana seluruh rakyat dan seluruh elemen negara tunduk. Dalam konteks negara modern sekarang ini kedaulatan rakyat diwujudkan melalui wakil rakyat yang duduk di parlemen. Dalam parlemen, para wakil rakyat itu berhak menetapkan undang-undang. Dalam proses legislasi ini, wakil rakyat itu diasumsikan sebagai orang yang memiliki wisdom atau kebijaksanaan, bahwa mereka akan mengambil keputusan dan membuat hukum yang terbaik. Makanya kemudian ada adagium terkenal Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Faktanya tidak selalu demikian, toh? > > Hizbut Tahrir menolak gagasan bahwa kedaulatan itu di tangan rakyat, karena jelas sekali Islam mengajarkan kedaulatan itu di tangan Allah, di tangan syariat. Kehendak yang paling tinggi itu di tangan syariat. Ke sanalah rakyat dan seluruh elemen negara itu wajib tunduk. Dalam Al-Qur'an tertulis: innama kaana kaula al- mu'minina idza du'u iIallahi wa rasulihi liyahkuma baynahum ayyakulu sami'na wa atho'na" (Kami mendengar dan kami mentaati)". Itu menunjukkan bahwa syariat itu menempati posisi yang paling tinggi. Begitu syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang sesuatu, mereka tunduk , sami'na wa atho'na. Itu jelas sekali. > > Ditegaskan dalam ayat lain, wa ma kaana li mu'minin wa la mu'minatin idza qadha alllahu wa rasulahu amran ayyakuna lahumul khiyarat min amrihim. Jadi kalau Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan keputusan hukum, maka tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari keputusan hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul itu. Itu menunjukkan bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah dan Rasul-Nya. Atau dalam bahasa yang lebih simpel, syariat. Karenanya, syariat itu semestinya bukan option (pilihan), tapi obligation (kewajiban). Dalam sistem demokrasi di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia, syariat itu masih sekadar option, bukan obligation. Di situlah kita wajib menolak, karena syariat itu merupakan kewajiban, bukan pilihan, yang semestinya diterapkan sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. > > > > BURHANUDDIN: > > Jadi benar Hizbut Tahrir anti-demokrasi dalam pengertian sebenarnya? Maksud saya, meskipun tidak melancarkan gerakan yang melanggar demokrasi, tapi secara substansi menolak secara radikal the idea of democracy? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Persoalannya bukan pro atau anti-demokrasi. Kita harus cermat berbicara. Mengapa? Berbicara tentang kekuasaan di tangan rakyat, sebagaimana dikatakan sistem demokrasi, Hizbut Tahrir tentu juga setuju. Tapi, Hizbut Tahrir tidak setuju bila dikatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Jadi, Hizbut Tahrir itu memisahkan antara kekuasaan dengan kedaulatan. Kekuasaan memang di tangan rakyat, tapi kedaulatan harus di tangan syariat. Rakyatlah yang memilih pemimpin, dan pemimpin yang dipilih itu bukanlah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, melainkan melaksanakan kedaulatan syariat. Jadi dia dipilih untuk melaksanakan syariat. Di sinilah, acapkali terjadi kesalahpahaman di kalangan pengamat atau kritikus terhadap Hizbut Tahrir. Ketika misalnya Hizbut Tahrir melakukan pemilihan internal pemimpinnya, mereka mengatakan ternyata Hizbut Tahrir memperhatikan juga demokrasi. Ketika kita berdemonstrasi, ada yang bilang Hizbut Tahrir memanfaatkan mekanisme demokrasi. Itu tidak betul. Seolah-olah ketika kita bicara soal pemilihan, bahwa rakyat boleh memilih pemimpinnya, itu otomatis kita pro demokrasi. Tidak begitu. > > Jadi ketika kita mempraktekkan pemilihan internal atau melakukan unjuk rasa, bukan berarti kita mempraktekkan demokrasi, tapi mempraktekkan bagian dari ajaran Islam. Karena memang pemimpin itu dipilih oleh rakyat dan amar ma'ruf nahi mungkar adalah kewajiban rakyat. > > > > BURHANUDDIN: > > Sekarang pertanyaannya klasik sebenarnya, siapa yang berhak menafsirkan syariat dalam pandangan yang lebih bersifat operasional menurut gagasan Hizbut Tahrir? Adakah suatu lembaga keagamaan yang diisi oleh orang-orang yang qualified secara teologis untuk menafsirkan syariat. Karena syariat itu sendiri, dalam banyak hal, penafsirannya selalu tidak bisa tunggal, tidak monolitik. Sederhananya, syariat yang mana? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Sebentar, kita mesti menilai secara jujur dulu. Jangan sampai tiap kali kita berbicara tentang syariat selalu dipertanyakan lantas syariat yang mana. Seolah-olah semua syariat itu serba relatif. Padahal cukup banyak bagian dari syariat yang sangat gamblang, dimana tidak ada satupun orang Islam yang memahaminya secara berbeda atau istilahnya ma'lumun min al-din bi al-darurah, sesuatu yang sudah jelas kewajibannya dalam agama. Misalnya, bahwa ada kewajiban zakat, shalat, puasa, haji. Itu pasti. Tak bisa ditolak. Kalau shalat itu menghadap kiblat, maghrib tiga raka'at, shubuh dua raka'at, bahwa puasa wajib di bulan Ramadhan, haji ke Baitullah di Mekkah dan sebagainya, juga sudah cukup clear kan? Kemudian tentang akhlak, mana akhlak yang baik dan mana akhlak yang buruk, juga cukup jelas. Tentang makanan, mana yang halal mana yang haram, itu cukup clear. Tentang aurat, mana yang aurat mana yang bukan sebenarnya juga cukup clear. Kalaupun ada perbedaan hanya menyangkut muka, apakah termasuk aurat atau bukan. Bahwa zina, riba, syirik, mencuri, membunuh manusia tanpa haq semua itu terlarang, juga cukup jelas. Jadi, ada sangat banyak aspek syariat yang sebenarnya sudah clear, sehingga tidak perlu ada pertanyaan syariat Islam yang mana. > > Tapi selain itu, terutama pada masalah-masalah furu' memang terdapat ikhtilaf. Untuk diketahui, terhadap soal ini kemudian Hizbut Tahrir memisahkan menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah syariat yang menyangkut masalah-masalah individu (ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq), semuanya diserahkan kepada individu masing-masing untuk mengikuti pendapat mana yang dinilai paling kuat. Negara tidak akan mentabani atau mengadopsi pilihan syariat tertentu untuk menjadi pendapat negara. Masing-masing warga negara berhak untuk memutuskan hukum syariat mana yang akan diikutinya. Misalnya, apakah ketika shalat subuh memakai qunut atau tidak; shalat tarawih 20 rakaat atau 8 rakaat, semua diserahkan pada pilihan masing-masing. Tetapi bila sudah menyangkut kemaslahatan bersama, maka negara akan mentabani atau mengadopsi sebuah pendapat hukum yang dinilai paling kuat hujjahnya. Misalnya perihal penetapan awal dan akhir Ramadhan. Tidak mungkin kaum muslim berpuasa dan berlebaran sendiri-sendiri. Pasti akan timbul kekacauan, seperti yang terjadi selama ini. > > Begitu juga bila menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara atau muamalah (ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya), negara wajib mentabani, syariat mana yang dinilai paling kuat hujjahnya yang akan diadopsi oleh negara dan diterapkan di tengah- tengah masyarakat. Lalu bagaimana prosesnya? Prosesnya melalui ijtihad. Siapa yang berijtihad? Siapa saja boleh berijtihad. Akhirnya toh nanti akan bisa dilihat siapa yang paling unggul. Di tengah masyarakat ada memang orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, ada juga yang sebenarnya tidak. Dan yang memiliki kemampuan ijtihad pun juga bertingkat-tingkat. > > Dalam konteks yang sedikit berbeda, hal serupa juga pernah terjadi di Indonesia, yakni ketika Soeharto turun. Dari sini ketahuan siapa yang benar benar ahli hukum tata negara dan siapa yang tidak. Ketika Habibie menggantikan Soeharto, sebagian pakar hukum menyatakan sah, sebagian lagi menyatakan tidak. Mana yang kemudian lebih bisa diterima? Bahwa naiknya Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto adalah sah. Karena yang mengatakan tidak sah itu Dimyati Hartono, ternyata adalah seorang ahli hukum kelautan. Maka, dia tidak kredibel berbicara tentang hukum tata negara. Itu 'kan mekanisme wajar, dan mekanisme itu sebenarnya juga terjadi dalam Islam. Nanti akan terlihat siapa mujtahid yang paling kompeten. Tambahan lagi, ketika terjadi perbedaan ijtihad, khalifah berhak untuk mengambil salah satu pendapat yang dinilai paling kuat. > > > > BURHANUDDIN: > > Itu juga menjadi wewenang khalifah? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Ya, itu termasuk wewenang khalifah. Kami menamakannya sebagai hak tabanni pada khalifah. Nabi Saw mengatakan amrul imam yarfa'ul khilaf (perintah imam itu menghentikan perselisihan). Ditambah dengan ketaqwaan pada khalifah, insha allah dia bisa mengambil salah satu pendapat berdasarkan argumen yang paling kuat. Di Indonesia, saya kira presiden juga berhak 'kan mendapatkan berbagai macam usulan, lalu atas semua usulan itu presiden mengambil salah satu pendapat yang memiliki argumen yang paling kuat. Jadi, dalam konteks sistem sekuler pun mekanisme seperti itu berjalan, apalagi dalam konteks hukum Islam. Dengan pengawasan dan koreksi dari rakyat, saya kira akan semakin mudah mekanisme yang tadi dijelaskan untuk melahirkan sebuah keputusan hukum yang tepat. > > > > BURHANUDDIN: > > Dari gambaran Anda, khalifah tampaknya memiliki tugas yang sangat berat. Dia memiliki hak prerogative dan hak tabani yang luar biasa dan seterusnya. Kira-kira bagaimana sistem pemilihan khalifah dilaksanakan? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Sebenarnya itu tugas biasa saja. Sebagaimana tugas presiden yang berat itu toh juga bisa dilakukan, apalagi dengan semangat ketaqwaan dan keIslaman yang luar biasa. Saya ingin mengatakan bahwa memang khalifah itu idealnya seorang mujtahid. Makanya Hizbut Tahrir di dalam kitab Nidzamul Hukmi fi al-Islami membagi syarat khalifah menjadi dua: Pertama, syarat in'iqadz (syarat pengangkatan). Kedua, syarat afdhaliyat, syarat keutamaan. Di antara syarat keutamaan itu adalah bahwa seorang khalifah lebih disukai bila dia seorang mujtahid. Artinya dia paham Islam, paham syariat, paham ijtihad dan memiliki kemampuan untuk berijtihad. Dengan demikian, khalifah akan bisa melaksanakan hak tabani itu dengan sebaik-baiknya. > > Nah, bagaimana proses pemilihannya? Itu sebenarnya proses biasa dalam kemunculan pemimpin umat. Di situlah pentingnya partai politik. Jadi dalam dalam sistem khilafah Islam pun nanti tetap saja akan ada partai politik Islam. Dan partai politik itu tugasnya ada dua: pertama, sebagai jalan untuk menuju kekuasaan. Yang kedua sebagai alat untuk mempertahankan sistem Islam dan mengoreksi penguasa. Sebagai jalan menuju kekuasaan, partai politik juga berarti merupakan jalan bagi munculnya tokoh-tokoh pemimpin umat. > > > > BURHANUDDIN: > > Lantas mekanisme untuk menentukan dari partai politik mana yang dipilih menjadi khalifah bagaimana? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Tokoh dari partai politik mana saja, asal berideologi Islam, berhak dicalonkan atau mencalonkan diri. Mekanismenya ada dua: dipilih oleh majelis umat atau dipilih langsung oleh rakyat. Majelis umat itu adalah kumpulan wakil rakyat yang dipilih dengan prinsip wakalah dimana terjadi ijab qabul antara wakil dan muwakkil secara pasti. Dalam bahasa sekarang ini, bolehlah disebut dengan sistem distrik, karena antara wakil dan muwakil itu saling mengenal. Jadi memang betul-betul mewakili umat. Nah, majelis umat tersebut berhak membatasi calon, atau menentukan metode pemilihan khalifah. Itu satu alternatif. Kemudian yang kedua, majelis umat berhak membatasi calon, tapi pemilihannya diserahkan kepada masyarakat secara langsung. > > > > BURHANUDDIN: > > Dari segi prosedural, ada beberapa kemiripan dengan proses demokrasi. Lantas apa perbedaan substansialnya dengan demokrasi? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Ya, memang dari segi prosedur tampak ada kemiripan dengan sistem demokrasi. Bedanya, kembali pada penjelasan saya di atas, bahwa meski mereka sama-sama dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi dipilih untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, sementara dalam Islam dipilih untuk melaksanakan kedaulatan syariat. > > > > BURHANUDDIN: > > Kalau dilihat dari substansi gagasan Hizbut Tahrir, harus diakui, memang sangat radikal, tapi metodenya ditempuh dengan cara-cara damai, paling tidak untuk membedakan dengan beberapa harakah lain dalam Islam yang menempuh cara-cara kekerasan. Terkecuali ada beberapa kasus yang sempat disitir International Crisis Group (ICG) di Asia Tengah yang menunjukkan adanya gejala Hizbut Tahrir yang juga mengarah pada modus operandi kekerasan. Hal ini termasuk perbedaan metode gerakan Hizbut Tahrir yang absah dalam organisasi Anda? > > > > ISMAIL YUSANTO: > > Tidak. Salah satu prinsip perjuangan Hizbut Tahrir yang harus kami pegang di manapun kami bergerak adalah prinsip la maddiyah, non- kekerasan, non-violence. Prinsip ini berlaku ke seluruh dunia. Jadi sama sekali tidak benar tudingan ICG tersebut. Meskipun umat Islam di Uzbekistan, Kirgystan dan Tajikistan, termasuk anggota Hizbut Tahrir mengalami represi, tapi kami tidak pernah sekalipun melakukan kekerasan sebagai balasan. Memang ada satu kelompok yang diidentikkan dekat dengan Hizbut Tahrir, yaitu Uzbekistan Islamic Movement (UIM). Gerakan ini ditengarai dekat dengan Hizbut Tahrir dan mereka memang melakukan cara-cara kekerasan, tapi UIM itu bukanlah Hizbut Tahrir. > > Kenapa kami tidak melakukan cara-cara kekerasan, karena memang syariat tidak membolehkan metode tersebut. Nabi Saw juga tidak mencontohkan kekerasan sebagai salah satu langkah dakwah. Dakwah itu intinya mengubah pikiran. Kalau begitu, bagaimana kita bisa mengubah pikiran dengan kekerasan? Jelas tidak bisa. Pikiran itu harus diubah dengan pikiran, hujjah bi al-hujjah. Ud'u ila sabili rabbika bi al-hikmati. Al hikmah di sini maknanya al-hujjah. Jadi, dakwah harus dilakukan dengan reasoning, dengan argumen, dengan alasan. > > Kekerasan dalam dakwah hanya akan menghasilkan siklus kekerasan berikutnya dan tidak akan menghasilkan perubahan. Meski begitu, tidak berarti Hizbut Tahrir tidak menjelaskan dan tidak mengajarkan dan menyerukan jihad yang memang harus dilakukan dengan kekerasan. Jihad kita artikan sebagai qitalul kuffar fi sabilillah li'ilai kalimatillah, memerangi orang kafir di jalan Allah dalam rangka untuk menegakkan kalimat-Nya. Dalam jihad, tergambar sangat jelas siapa yang menjadi musuh, konteksnya apa, untuk tujuan apa, dan lain- lain. Pengertian jihad dari segi bahasa yang berarti "sungguh- sungguh" itu harus ditarik kepada pengertian istilah, yakni berperang baik secara ofensif maupun defensif. Penyerbuan AS ke Afghanistan, juga ke Irak makin menegaskan relevansi jihad dalam konteks modern saat ini. Mau dihadapi dengan apa kedzaliman AS di berbagai wilayah Islam itu bila tidak dengan jihad? > > ========================= > > > [Non-text portions of this message have been removed] >