"Propaganda Poligami". Begitu saja?  Kalo saya mengikuti pikiran 
anda bhw ini merupakan propaganda poligami, saya akan 
menambahkan "Propaganda poligami yang benar".

Bagaimana anda bisa yakin kalo poligami itu dilarang dalam kitab 
suci AlQur'an? Setau saya Alqur'an tidak mempropagandakan poligami 
dan juga tidak melarang. Artinya, Poligami dalam konteks hukum 
AlQur'an itu MUBAH = Boleh (Boleh jadi haram, boleh jadi halal 
bergantung sikon). Kalo dalam tatanan praktek sifatnya menjadi 
kontekstual. Ini kan beda dengn pelarangan makan babi, minum khamar, 
berjudi...yang jelas disebut dalam AlQur'an.

Ketika anda bilang AlQur'an melarang (=haram) berarti anda sudah 
merubah ketentuan hukum dalam AlQur'an. Itu yang saya khawatirkan.
AlQur'an itu kan bersifat universal. Kalo sekarang dikatakan haram, 
jaman lalu dikatakan halal, bisa jadi nanti kembali halal (kan 
artinya AlQur'an tidak universal: plintat plintut dalam hal 
penetapan hukum).

Terus terang sayapun menolak poligami sekarang ini karena melihat 
masih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Masih banyak anak dan 
istri (pertama) yang ditelantarkan dan didzalimi karena susahnya 
bertindak adil. Kapasitas moral manusia kebanyakan (laki dan 
perempuan) sekarang ini memang beda kalo mo dibandingkan dengan para 
nabi dan khulafaur rasyidin dan para ummul mukminin yang berpoligami.

wassalam,

 
--- In ppiindia@yahoogroups.com, didik elpambudi 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Ya, Mbak Lina, memang "...Kalo kemudian Aisyah memilih utk 
dipoligami, ya itu dah kemauan sutradara/penulis..." karena itulah 
saya katakan, ini propaganda poligami.  Pedagang asongan juga bilang 
itu. Tentu saja otak saya mungkin  hanya secerdas pedagang asongan. 
> Saya tidak bisa menangkap premis lain kecuali habiburrahman tengah 
mengkampanyekan ayat-ayat yang memperbolehkan poligami dalam kitab 
suci (padahal saya yakin kitab itu melarangnya--konteks poligami  
terjadi 1400 tahun yang lalu).
> tetapi orang seperti saya dan habiburrahman  memang beda. ibarat 
minyak dg air.
> tidak jadi masalah kalau  pemerintah berlaku  netral.
> Sayangnya... 
> ya Anda saksikanlah.
>  
> Tabik
> 
> 
> Lina Dahlan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             
Dibawah ini kan pendapat dari orang yang anti poligami. Jadi wajar 
>  saja. Saya sendiri tidak mengatakan anti ato kontra, pada tatanan 
>  praktek poligami. Harus dilihat kasus per kasus.
>  
>  Sekarang kalo kasusnya kayak di AAC, apalagi dalam konteks premis 
>  mayor dan minor spt ini, saya juga bisa melihat paradigma lain.
>  
>  Aisyah telah memilih jalan untuk (terpaksa) menerima poligami utk 
>  menyelematkan suaminya. Tapi sebetulnya ada jalan lain yang sudah 
>  diajukan oleh pamannya (Surya Saputra) utk (terpaksa) nyogok 
hakim 
>  saja.
>  
>  Sekarang kan tinggal Aisyah memilih mana: poligami ato nyogok?
>  Kalo kebanyakan kita (mungkin termasuk saya) akan milih nyogok 
>  hakim...:-) karena kapabilitas keimanan saya tidak setinggi 
Aisyah.
>  
>  Kalo kemudian Aisyah memilih utk dipoligami, ya itu dah kemauan 
>  sutradara/penulis yang bertindak sebagai tuhan pada sebuah film 
or 
>  novel.
>  
>  wassalam,
>  
>  --- In ppiindia@yahoogroups.com, "didikelpambudi" 
>  <didikelpambudi@> wrote:
>  >
>  > 
>  > 
>  > AAC, Poligami, dan Netralitas Pemerintah
>  > Didik L. Pambudi
>  >  
>  > Prolog:
>  > Premis mayor film  Ayat-ayat Cinta (AAC),  poligami harus 
dilakukan
>  > jika terpaksa 
>  > Premis minor film  AAC, Fahri terpaksa melakukan poligami
>  > Kesimpulan film  AAC, Fahri harus melakukan poligami
>  > 
>  > Semula aku tak berkeinginan membahas film AAC karena aku 
bukanlah
>  > seorang kritikus. Bagiku, AAC hanyalah sebuah dunia khayal
>  > Habiburrahman yang ternyata mampu menggoda jutaan orang untuk 
>  memuji;
>  > mengejek; atau mendebatkannya.
>  > Kekecewaanku muncul ketika film yang kontroversial itu akhirnya
>  > mendapat dukungan dari para petinggi negara. Film itu dianggap
>  > mengawali kebangkitan film Indonesia yang tak menjual horor dan 
>  seks;
>  > film itu dianggap menjual moralitas; bahkan—ini yang gawat—
film itu
>  > dianggap mewakili moral Islam.
>  > Bagiku, agama adalah urusan pribadi seseorang. Sama dengan Anda 
>  cinta
>  > pada si A atau si Z; Anda suka memelihara jenggot atau kumis; 
Anda
>  > suka memakai kemeja putih atau hitam. Tidak perlu ada campur 
tangan
>  > siapa pun di wilayah itu. Anda bebas memilih dan negara, sekali 
>  lagi
>  > negara, wajib melindungi sekaligus bersikap netral.
>  > Sayangnya, hal itu tidak terjadi. AAC yang kontroversial hingga
>  > mengundang berbagai sikap pro-kontra terkait poligami yang 
>  dilakukan
>  > tokohnya, Fahri—misalnya, debat panjang di berbagai milis—
ternyata
>  > mendapat sanjungan penuh dari para petinggi negara. Ini sangat
>  > berbahaya. Para petinggi negara telah menjadi orang-orang yang 
>  tidak
>  > netral lagi dalam melayani rakyat. 
>  > Tentu tidak ada yang salah jika petinggi negara menonton film 
AAC.
>  > Terserah mereka. Tetapi jika para petinggi negara menganggap 
bahwa
>  > Islam yang benar adalah Islamnya Fahri, hal ini tentu pantas 
>  ditolak.
>  > Sangat banyak umat Islam (termasuk aku) di Indonesia yang 
menolak
>  > melakukan poligami. Jauh lebih banyak daripada yang 
melakukannya.
>  > Mereka tidak melakukannya karena memang menganggap itu tidak 
adil 
>  bagi
>  > perempuan; itu menyakitkan hati perempuan. 
>  > Apakah Fahri salah ketika melakukan poligami karena diminta 
Aisah?
>  > Jika aku yang ditanya, maka aku menjawab, kejadian seperti itu 
>  hanya
>  > ada di dalam dunia khayal Habiburrahman. 
>  > Baiklah kita ringkas saja imajinasi Habiburrahman tentang 
Fahri—
>  lelaki
>  > naif—yang dicintai empat perempuan.
>  > Tentu di luar logika, ada seorang lelaki (Fahri) yang tidak 
>  mengetahui
>  > ada seorang perempuan (Maria Girgis) mencintainya. Padahal 
>  perempuan
>  > itu setiap hari memperhatikan bahkan memberikan jus mangga
>  > kesukaannya. Setiap hari, Bung.
>  > Apalagi Fahri digambarkan sebagai seorang terpelajar yang banyak
>  > membaca buku. Pertanyaan, buku apa saja yang dibaca Fahri 
hingga 
>  tidak
>  > bisa mengetahui bahasa tubuh  seorang perempuan yang sudah luar 
>  biasa
>  > lugas mengungkapkan perasaannya? Tentu saja kalimatku bisa
>  > diperdebatkan. Hanya saja, aku memang belum pernah menjumpai 
>  seorang
>  > lelaki yang tidak merasa, seorang perempuan—misal rekan
>  > sekantor—memperhatikan ia habis-habisan, jika perempuan itu 
setiap
>  > hari membuatkan kopi susu, khusus untuknya. Tidak untuk atasan 
>  apalagi
>  > rekan kerja dan bawahan si perempuan (meski mereka semua 
lelaki).
>  > Nah, jika Fahri kemudian tahu Maria mencintainya; dan dia pun
>  > mencintai Maria tentu perkawinan terjadi dan tidak muncul 
seorang
>  > Aisah. Sayangnya, dunia khayal Habiburrahman memang menuntut, 
Fahri
>  > haruslah sangat naif. Lantas Aisah pun dimunculkan untuk 
dinikahi
>  > Fahri—lewat sebuah perjodohan pula. Maria, Noura, dan Nurul—
ketiga
>  > perempuan itu digambarkan memiliki pribadi yang teramat lemah 
>  (alamak,
>  > apa kata dunia)—lantas sangat kecewa karena cinta mereka 
kandas. 
>  Noura
>  > membalas dendam karena merasa cintanya ditolak dengan cara 
menuduh
>  > Fahri memerkosanya; Nurul menjadi saksi yang menguatkan 
kebejatan
>  > Fahri; dan Maria membela Fahri setelah dipoligami.
>  > Luar biasa memang khayalan Habiburrahman. Tetapi biarlah. 
Seliar 
>  apa
>  > pun imajinasi Habiburrahman memang menjadi haknya. Aku tentu 
tidak
>  > berhak membatasinya. 
>  > Jadi masalah ketika imajinasi Habiburrahman yang liar dan 
>  mengundang
>  > kontroversi itu ternyata mendapat pujian dari para petinggi 
negara.
>  > Aku, sebagai warga negara yang anti-poligami, tentu merasa 
>  pemerintah
>  > sudah berdiri berat sebelah dalam menyikapi masalah ini. 
Pemerintah
>  > bagai tutup mata bahwa banyak warga negara yang tidak menyukai
>  > keliaran imajinasi Habiburrahman untuk mem-propagandakan 
poligami.
>  > Pemerintah telah mendudukkan posisi berada di pihak pendukung 
>  poligami.
>  > Negara ini didirikan atas dasar pluralisme. AAC jelas-jelas
>  > mempropagandakan poligami, praktek yang tidak disukai banyak 
warga
>  > negara (termasuk kalangan Islam). Sikap Pemerintah untuk 
berdiri di
>  > sisi para pendukung poligami tentu sangat mengecewakan.
>  > Bagiku, sangat naif jika pemerintah berkata, kami mendukung film
>  > Indonesia bukan film yang mempropagandakan poligami. 
>  > Jika memang itu alasannya, mengapa pemerintah tidak ramai-ramai
>  > menonton film Naga Bonar Jadi Dua yang jelas-jelas film terbaik 
FFI
>  > 2007 (terakhir pada Indonesian Movie Award 2008, menyabet 
>  penghargaan
>  > Pemeran Utama Pria Terbaik, Kategori Spesial Award, peran Yang 
>  Mencuri
>  > Perhatian dan Film Terfavorit).
>  > Tidak mungkin pemerintah tidak melihat propaganda poligami 
dalam 
>  film
>  > itu karena beberapa pedagang vcd bajakan AAC di kereta listrik 
>  jurusan
>  > Jakarta-Bogor fasih melontarkan yel-yel "... kisah tentang 
Fahri 
>  yang
>  > poligami dengan Aisah dan Maria..." ketika menawarkan 
>  dagangannya.     
>  > Jika pemerintah berkata, kami tentu perlu tahu, mengapa film 
AAC,
>  > bukannya Naga Bonar Jadi Dua, yang ditonton jutaan rakyat.
>  > Kalau hanya untuk mengetahui fenomena yang terjadi, mengapa 
seorang
>  > presiden sampai menyediakan waktu khusus untuk menonton film itu
>  > hingga gedung bioskop mesti diseterilkan?  Bukankah, jika untuk
>  > mengetahui fenomena yang terjadi, pemerintah bisa saja memutar 
film
>  > itu di istana;  lantas mendiskusikannya? Lagipula apakah 
banjirnya
>  > penonton AAC menjadi skala prioritas pemerintah untuk diteliti?
>  > Bukankah lebih baik pemerintah mencari cara menurunkan harga 
>  sembilan
>  > bahan pokok?
>  > Naif juga jika pemerintah beralasan, kami tidak tahu bahwa 
>  propaganda
>  > poligami yang diusung AAC menjadi polemik berkepanjangan di 
dunia
>  > internet. 
>  > Apakah pemerintah sudah sedemikian anti-teknologi hingga tidak
>  > mengetahui perdebatan rakyat yang demikian panas? Bukankah 
sudah 
>  sejak
>  > lama masalah poligami menjadi perdebatan panjang, bahkan
>  > pemerintah—pimpinan Soeharto—pernah melarang pegawai negara 
>  berpoligami? 
>  > Jika pemerintah berkata, tentu menjadi hak kami untuk menonton 
>  film AAC!
>  > Lantas mengapa Presiden DR Yudhoyono harus "mengumumkan" di 
depan
>  > umum, meneteskan air mata haru untuk AAC?1) Padahal sebelumnya, 
>  para
>  > menteri dan wakil Tuan telah pula memuji-mujinya.  
>  > Tidakkah sebaiknya Tuan Presiden mengumumkan, meneteskan air 
mata 
>  duka
>  > untuk propaganda poligami?  
>  > 
>  > Keterangan:
>  > 1)"Saya sampai berkali-kali menyeka air mata saya. Pesannya 
>  sampai,"
>  > ungkap SBY usai menonton film itu di Plaza EX, Jl Thamrin, 
Jakarta,
>  > Jumat (28/3/2008) malam. (Sumber: detik.com 28/03/2008 23:21 
WIB)
>  >
>  
>  
>      
>                                        
> 
>        
> ---------------------------------
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di 
Yahoo! Answers
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke