memang petani indonesia itu bukan bermental tengkulak, pada umumnya petani indonesia sudah cukup apabila mereka sudah bisa menghidupi kebutuhan hidup mereka .... sedangkan untuk berpikir tentang produktivitas memang belum ada ... tetapi sekarang ada phenomena petani-petani generasi baru yang sudah berpikir tentang produktivitas dan mereka menguasai pasar ... petani generasi baru itu sudah berpikir dalam bentuk korporasi ... kalo saja petani kita semua berpikir secara korporasi, mereka bergabung dalam satu wadah yang mapan tanpa ada koruptor di dalamnya pasti petani indonesia akan berjaya .....
jadi tidak seharusnya kita mengeritik petani tetapi tidak tahu bagaimana mereka memperjuangkan kehidupan mereka ..... ----- Original Message ---- From: yanri <[EMAIL PROTECTED]> To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Friday, August 8, 2008 10:40:04 AM Subject: [ppiindia] Nikmatnya Menjadi Petani di Amerika (4wd) Mas, petani kita tak pernah untung, karena disini kebanyakan manusia, yang jadi petani sedikit, akhirnya yang lain jadi tengkulak. kalau cuma satu lapis masih lumayan, lah ini dari sentra produksi hingga sampai ke pasar, bisa 5 lapis tengkulak. karena mentalitas kita bukan mentalitas produksi,melainkan mentalitas leyeh leyeh, menerima kenikmatan dari keringat orang lain. dan kalau tidak salah, untuk itulah KADIN didirikan? Indonesia lebih suka berdagang daripada berproduksi. malah kadang, berdagang itupun mereka sebut produktif. ambil saja contoh, pada saat pemerintah campur tangan dalam menentukan HET, harga TBS, harga gabah,dll, mau naik ataupun turun, yang diterima sang petani yang produktif ini yang tetap segitu gitu saja, karena kebijakan itu langsung disulap pleh tengkulak untuk memberikan security bagi pihak mereka. Lihatlah TVRI kita, terkadang sedih melihat petani kita masih dishoot oleh kamera, dengan background lagu2 nasional yang menggambarkan keindahan dan kekayaan alam, tapi pada scene, terlihat pak tani dan bu tani, dan beberapa keluarganya, sibuk menggugurkan bulir padi secara manual...padahal kita tahu, sangk tengkulaklah yang berbahagia dengan ketekunan dan kesabaran petani itu. banyak orang bilang lahan yang sudah tidak cukup, tetapi kalaupun lahan baru dibuka untuk pertanian, maka dia menambah jumlah petani produktif 10 orang, dia juga sekaligus akan menambah jumlah tengkulak 20 orang. ibarat perbandingan deret ukur dengan deret hitung, begitulah perbandingan jumlah petani kita dan tengkulaknya. Siapa yang hari ini masih suka turun ke sawah, atau ke kebun2 rakyat, pasti paham hal ini. beli berapa itu gabah langsung di sawah? berapa pula harga belinya kalau di penggilingan? kalau sudah naik bak truk, nambah berapa lagi? kalau sudah didepot? dari depot turun ke pasar ada buruh angkut? dari buruh angkut sampai ke pedagang di lapak2 pasar? perasaan, "petaninya satu, pendukungnya banyak:" deh atau, "petaninya satu, tengkulaknya banyak" Belum lagi kalau bicara harga TBS yang dipangkas Pajak Ekspor, lah kenapa ditimpakan kepada petani? siapa bilang petani mau mengekspor? Petani justru ingin menjualnya ke pasar dalam negeri, tak ada urusan dengan Pajak Ekspor, apalagi sesudah kemudian pembelian Tandan Buah Sawit dikenakan PE, malah PE yang 20 % itu dibebankan ke petani, bukannya ke eksportir..bolak balik logika jual beli crude oil pertamina kok ya diulangin lagi di minyak kelapa sawit? minyak yang mahal malah dijual dipasar dalam negeri? pastilah pemain dan otaknya sama. Berapapun Pajak Ekspor, yang pasti eksportir selalu aman sejahtera. Biarlah petani yang dihisap darahnya, yang pasti eksportir jelas sumbangannya ke atas,makanya kita lindungi dan bahagiakan hidup mereka, begitu kata "mafia pertanian/perkebuna n" ini. sama dengan idiom diatas,"pekebunnya satu, eksportir dan teman2nya banyak". Yang tidak ada di Indonesia adalah MENTALITAS PRODUKSI! (Untuk yang konsern soal produksi pertanian dan perkeunan, benang merah ini bisa dibaca kembali tulisan kami di milis ini, dengan judul ENCODING THE VISION- search dan klik saja, itu tulisan untuk 17 Agustus tahun lalu, di milis ini) Di Indonesia, mungkin petani tak perlu buka internet, karena eksportir dan tengkulak sudah lebih dulu "membeli server"nya. Merdeka! Yanri,- yang sedang kesulitan menakar kelangkaan & rasionalitas harga Urea, TSP dan KCl- hingga akhirnya menggunakan NPK yang mahalnya naudzubillahi min dzaliik. --- In Forum-Pembaca- [EMAIL PROTECTED] ps.com, "Agus Hamonangan" <agushamonangan@ ...> wrote: > > Laporan dari Minot, North Dakota > > http://www.kompas. com/index. php/read/ xml/2008/ 08/08/18040358/ nikmatnya ..jadi.petani. amerika > > > Apa yang terjadi jika panen Pak Amat di Jawa Tengah atau Kang Asep di > Jawa Barat gagal? Keluarga mereka pasti akan mengalami kesulitan > setelahnya. Bisa jadi mereka terpaksa makan nasi aking, menggadaikan > barang-barang, dan menunggak bayaran sekolah anaknya. Tapi bila mereka > adalah petani di Amerika Serikat, hal seperti itu sepertinya tak akan > terjadi. Pasalnya pemerintah akan mengganti kerugian gagal panen mereka. > > Jaminan dari pemerintah adalah salah satu kenikmatan yang didapat para > petani. Selain jaminan gagal panen, para petani AS juga mendapat > bantuan pengetahuan dan teknologi dari berbagai pihak, terutama > universitas. Mereka bisa dengan mudah mendapat informasi bibit unggul > terbaru, kondisi cuaca harian, bahkan harga berbagai jenis panenan. > Itu artinya para petani diharapkan akrab dengan teknologi dalam > kehidupan sehari-hari. > > Menurut Jay Fisher, direktur Pusat Riset Distrik di North Dakota State > University, petani memang sudah menggunakan internet untuk mencari > berbagai informasi. "Petani di North Dakota sebagian besar memiliki > akses internet dari rumahnya," ujar Fisher saat ditemui Senin (28/7) > di pusat riset di pinggiran kota kecil Minot, North Dakota. > > Selain di rumah, para petani dan peternak bisa berkumpul di pusat > riset untuk mengikuti ceramah tentang produk pertanian atau > peternakan. Bukan hanya mendengarkan para peneliti lokal, mereka juga > bisa bertanya atau sharing dengan peneliti di lokasi lain secara > teleconference. "Akibatnya petani menjadi akrab dengan teknologi. > Mereka bahkan menentukan apa yang akan ditanam atau di mana hasil > panen akan dijual melalui internet," ujar Fisher. > > Kedekatan para petani terhadap teknologi juga terlihat dalam > penggunaan alat-alat pertanian mereka. Selain mesin-mesin besar yang > dipakai memanen, mereka juga memiliki perlengkapan penanda lokasi > semacam GPS (global positioning system) yang bisa menuntun jalannya > traktor sehingga tidak belok ke lahan orang. Alat ini sangat penting > mengingat tiap petani menggarap rata-rata 1.000 hektar lahan. Dengan > ketepatan alat ini, lahan-lahan pertanian terlihat rapi terkotak- kotak > dari atas langit North Dakota. > > Lalu hal apa yang bisa ditiru petani Indonesia? Sulit memang mencontoh > penggunaan mesin-mesin besar dalam proses pertanian karena lahan para > petani Indonesia tergolong amat kecil. Kebanyakan petani juga bukan > pemilik lahan melainkan penggarap. Namun teknologi dan informasi tetap > bisa dimanfaatkan. Petani sayur di Buleleng, Bali, misalnya sempat > meneguk keuntungan setelah mereka melalui internet berhasil mengetahui > kebutuhan pasar. Ada pula petani kacang di Jawa Timur yang menemukan > pembeli setelah menjelajahi dunia maya. Tak jarang di antara mereka > membentuk komunitas online untuk saling bertukar pikiran. > > Permulaannya memang sulit. Kebanyakan petani Indonesia bercerita bahwa > mereka sangat takut mengoperasikan komputer. Takut keliru, katanya. > Tapi itu bukan hanya masalah di Indonesia. Petani Amerika pun > mengalami hambatan serupa. "Awalnya sulit mengajak mereka memanfaatkan > internet," papar Fisher. "Namun setelah beberapa orang mendapatkan > manfaat, yang lain akhirnya tertarik." > > Hal lain yang dirasa sangat membantu petani adalah mudahnya mengakses > informasi pertanian lewat internet. Situs North Dakota State > University misalnya menyediakan hasil-hasil penelitian mereka yang > terbaru mengenai hama dan sistem pertanian. Itu juga pasti bisa > dibangun di Indonesia. Yang sedikit sulit mungkin adalah memastikan > petani akan mendapat ganti rugi bila panen mereka gagal. Namun bisa > jadi itu bukan hal yang mustahil kelak. Dan bila sudah begitu, produk > pertanian kita mungkin bisa bersaing di pasar dunia. Siapa tahu? > > A. Wisnubrata [Non-text portions of this message have been removed]