Juga Jurnalisme Jalan Raya, Lampu dan Peci

Mohon maaf untuk yang satu ini, semoga bermanfaat...

Dalam tulisan Andreas Harsono soal Jurnalisme Sastrawi disebutkan tim bentukan 
Universitas New York di tahun 1990 yang terdiri 37 ahli sejarah, wartawan, 
penulis, dan akademisi memilih 100 karya jurnalistik terbaik di Amerika Serikat 
pada abad ke-20. Hasilnya, “Hiroshima” menduduki tempat nomor satu. Karya 
Rachel Carson soal DDT "Silent Spring" pada 1962 jadi juara kedua, sedang karya 
investigatif Bob Woodward dan Carl Bernstein soal Watergate untuk harian The 
Washington Post pada 1972-73 juara ketiga).*

Saya ingin memberi penekanan khusus kepada Silent Spring sebagai karya kedua 
terbaik, karena soal Hiroshima dan Watergate sudah cukup diketahui dan populer. 
Silent Spring yang sudah diterbitkan edisi Indonesianya oleh Yayasan Obor 
ditulis oleh Rachel Carson, dimana ketika observasi dan penulisan buku ini 
dalam situasi sedang menjemput maut akibat kanker oleh pestisida (DDT) yang 
menjadi bahan observasinya ini. Buku ini memberi sumbangan sangat berarti dalam 
kebangkitan gerakan lingkungan hidup di Amerika Serikat bahkan di dunia. 

Silent Spring pada tahun terbitnya didaftar sebagai salah satu buku yang paling 
laris selama 31 minggu dan terjual lebih dari 500.000 eksemplar. Kirkpatrick 
Sale (Revolusi Hijau : Sebuah tinjauan historis-kritis gerakan Lingkungan Hidup 
di Amerika Serikat, YOI 1996) menyebutkan bahwa gerakan lingkungan - dalam arti 
yang aktif, vokal, merakyat dan berpengaruh - tidak ada sebelum Silent Spring 
terbit. Seorang Max Nicholson, kepala British Nature Conservancy dan seorang 
tokoh internasional menyebut Silent Spring “mungkin merupakan sumbangan paling 
besar dan paling efektif dalam membangkitkan opini umum dan kesadaran 
masyarakat mengenai pentingnya ekologi”. 

Untuk membaca pasang naik gerakan lingkugan hidup di Amerika Serikat dan 
kontribusi Silent Spring di dalamnya silah akses tinjauan buku Revolusi Hijau 
ini.

------------------------------------

Saya sangat menikmati dan merasa diperkaya baik batin dan pikiran ketika 
membaca karya2 delapan orang jurnalis yang dihimpun dalam buku Jurnalisme 
Sastrawi : Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Buku ini diterbitkan oleh 
Yayasan Pantau dengan editor Andreas Harsono dan Budi Setiyono.
Apa itu jurnalisme sastrawi? Andreas Harsono menyebutkan “genre ini mulanya 
berkembang di Amerika Serikat 1960-an. Ia menggabungkan disiplin paling berat 
dalam jurnalisme serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam karya fiksi. 
Wawancara biasa dilakukan dengan puluhan, bahkan sering ratusan, narasumber. 
Risetnya mendalam. Waktu bekerjanya lama. Ceritanya juga kebanyakan tentang 
orang biasa.”

Wajarlah kemudian saya pikir ketika menikmati karya-karya ini disatu sisi kita 
bisa mengetahui sebuah berita/peristiwa sekaligus mengerti, memahami, 
menghayati peristiwa dengan kekayaan rasa, pikiran, emosi dan karakter seperti 
sebuah karya sastra. Mengerti, memahami, menghayati Manusia dan 
Peristiwa secara lebih utuh dan mendalam.

Tetapi dengan menilik keterangan Andreas Harsono adalah sebuah kemewahan bagi 
orang awam (penulis amatir bukan jurnalis) untuk menuliskan narasi (jurnalisme 
sastrawi) dengan riset yang mendalam melalui wawancara puluhan hingga ratusan 
nara sumber atau studi literatur.

Namun demikian saya berpendapat banyak inspirasi yang bisa diperoleh dengan 
mempelajari sambil menikmati karya-kaya jurnalisme sastrawi ini. Kita mungkin 
hanyalah penulis biasa-biasa saja untuk lingkungan teman-teman atau menulis di 
blog sendiri (catatan : dengan menulis diblog ini sebenarnya kita sudah menulis 
dan potensial dibaca oleh masyarakat luas). (Bagi saya mestinya NGO atau 
organisasi gerakan sosial lain harus mulai membekali diri dengan perkakas 
perang ini yakni kemampuan menulis sebaik kawan-kawan jurnalis!!!!!)

Saya mengasumsikan bahwa dibalik kegiatan tulis menulis amatir ini bisa jadi 
tersimpan motivasi untuk mengekspresikan diri, membangun komunikasi, sharing 
bahkan memperkaya para pembacanya hingga mendorong perubahan di lingkungan 
dekat, masyarakat sekitar hingga negara. Walaupun barangkali kita juga tak 
pernah menginginkan tulisan-tulisan kita dianggap penting, berbobot atau 
sebagai karya jurnalistik.

Ada satu catatan menarik yang saya dapat dari sebuah buku berjudul Engineers of 
Happy Land ; Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni terbitan 
Yayasan Obor Indonesia 2006. Buku yang ditulis oleh Rudolf Mrazek ini berhasil 
mengungkapkan kerjernihan analisis tentang gagasan-gagasan besar seperti 
kolonialisme, nasionalisme, modernisme hingga revolusi dengan menyoroti 
soal-soal kecil. Dari teropong, jalan raya, kereta api, tangki air, kamera 
foto, AC, peci, novel, lampu hingga guci. Melalui buku ini Mrazek menelusuri 
sejarah perkembangan teknologi  dan akar historis nasionalisme di Indonesia. 
Catatan ini ingin memberikan penekanan bahwa di dalam setiap soal, bahkan soal 
yang dianggap sederhana, kecil dan remeh bila diperlakukan secara serius dan 
cermat akan dapat mengungkapkan makna yang dalam. Artinya bisa sama bermaknanya 
tulisan mengenai soal-soal besar dengan tulisan-tulisan yang menggarap 
soal-soal yang dianggap kecil dan remeh temeh.
 Kuncinya adalah seberapa intens dan cerdik kita mengolah tulisan kita dan 
menemukan konteks maknanya.

Andreas Harsono membagikan kepada kita apa yang diajarkan Robert Vare guru 
kelas narasinya di Cambridge. Dimana Vare menyebutkan ada 7 pertimbangan ketika 
menulis narasi , yakni fakta. konflik, karakter,  akses (kepada karakter), 
emosi, perjalanan waktu dan unsur kebaruan. 

Barangkali kita cukup meningkatkan kualitas tulisan kita dengan mempelajari 
unsur-unsur tersebut dan coba memperkaya tulisan kita dengan unsur-unsur 
tersebut. Untuk motif apapun kita menulis elok nian kalau semakin hari semakin 
meningkat kualitasnya.

Dalam buku Jurnalisme Sastrawi : Antologi Liputan Mendalam dan Memikat yang 
diterbitkan Grafiti Pers  kita dapat menikmati karya -Sebuah Kegilaan di 
Simpang Kraft- oleh Chik Rini (Banda Aceh), -Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan- 
oleh Alfian Hamzah (Makassar), -Taufik bin Abdul Halim- oleh Agus Sopian 
(Bandung), -Ngak Ngik Ngok- oleh Budi Setiyono (Semarang), -Hikayat Kebo- oleh 
Linda Christanty (Bangka), -Koran, Bisnis dan Perang- oleh Eriyanto (Jombang), 
-Konflik Nan Tak Kunjung Padam- oleh Coen Husain Pontoh (Bolaang Mongondow) dan 
"Cermin Jakarta, Cermin New York" karya Andreas Harsono.

Juga tak ada salahnya kita mengakses karya-karya menarik para jurnalis ini 
diblog atau web mereka atau menikmati karya-karya jurnalistik di Pantau 
Sindikasi. Setahu saya Pantau juga mengadakan kursus-kursus penulisan 
diantaranya adalah Narasi.

Silahkan juga membaca referensi di Pantau Sindikasi soal Jurnalisme Sastrawi 
yang ditulis oleh Andreas Harsono.

Salam hangat
Andreas Iswinarto

Untuk mengakses tulisan-tulisan berikut ini : Jurnalisme Sastrawi – Andreas 
Harsono, Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft, Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, 
Hikayat Kebo, Taufik bin Abdul Halim, Ngak Ngik Ngok, Tinjauan Buku Revolusi 
Hijau

Silah klik 
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/blogger-unite-mari-tingkatkan-kemampuan.html



      

Kirim email ke