irina dayasih mengirimkan tulisan gayatri wedotami yg berjudul " SEPTEMBER 
KELABU (Untuk Eyang Tantri).

slamat membaca.

salam, hl
amsterdam

-----------------------------------------------------


Kawan-kawan,


Sekedar berbagi, saya teruskan tulisan kemenakan saya seputar sejarah
'65, yang ditulis di note-nya kemarin. Ia bukan kemenakan kandung saya,
tapi keluarganya sangat dekat dengan kami. Ia alumni jurusan sejarah
Unpad yang cukup produktif, yang banyak menulis cerpen dan puisi. Ia
mewarisi bakat menulis Bapaknya; ia anak sulung "sastrawan sufi"
Indonesia, Abdul Hadi WM.



Di sini ia juga menulis puisi untuk "eyangnya", yang adalah ibu saya.
Ia belum lama tahu sejarah hidup kami, meski sejak kecil ia dan kedua
adiknya jadi "anak asuh" kami.



Banyak kawan tak bisa membuka link tulisan ini, yang saya forward
langsung dari note-nya. Copy-paste (yang saya lakukan ini) tentu bukan
cara terbaik, mengingat ilustrasi foto-fotonya tak bisa terikut dengan
cara ini.



Selamat membaca, semoga berguna.



***



Seorang sejarawan Inggris, John Cannon, berkata “Salah satu tugas
penting para sejarawan adalah untuk memiliki keyakinan terhadap mereka
yang telah meninggal dan tidak memberi nilai rendah kepada mereka.”





SEPTEMBER KELABU

(Untuk Eyang Tarni)





Empat belas tahun sebelum aku lahir

Perempuan itu nenekku

Duduk mengusap-usap perutnya

Ratap tangisnya tertelan desah angin malam

Sementara jabang bayinya terlelap

Di tengah malam kelam suaminya lenyap



Siapa yang mencuri malam pengantinnya?



Dahan-dahan besi menjadi saksi

Bidadari ketujuhnya terlahir ke bumi

Pelangit terbit di ujung langit-langit

Nenekku berhenti menangis

Air matanya telah menjadi embun pagi



Empat belas tahun setelah aku bertemu dia



Di kelas sejarah kami mengenal suaminya

Tapi siapa yang mengenal nenekku

Di pelaminan mereka yang singkat

Enam cahaya mata telah menerangi rumah mereka

Mungkinkah sempat untuk menjahit bendera merah,

mengukir palu, mengasah arit?

Siapa yang menyusui, siapa yang memasak di rumah?



Di kelas sejarah kami tidak mengenalnya

Perempuan itu nenekku

Mendekam dalam bilik muram

Tujuh malaikatnya bagai terbang ke langit

Kesetiaannya dinilai nista

ketika suaminya dicap keji



Di kelas sejarah kami mencatat nama suaminya

Tapi namanya tak pernah ada

Ada yang membakar buku-buku

tentang mereka yang kembali dari Rusia

tentang mereka yang mengirim revolusi dari Cina

Ada yang membela mereka

diam-diam menyebarkan wangi parfum Karl Marx

sebab merekalah rakyat miskin mencium wangi surga dunia

Tapi siapa yang bisa mengembalikan masa mudanya?

perempuan itu nenekku

putri bangsawan yang tak pernah kaukenal

tirai-tirai batu telah mengikis wajah rupawannya

sumpah serapah telah menggerus gairahnya

najis darah telah menenggelamkan tubuh eloknya

bilik pengap itu telah menghisap kebahagiaannya

namun, masih tersisa setetes derai tawanya

mengguyur gersang gurun lampau, membungakan padang esok lusa

Di kelas sejarah kami berdebat

tentang siapa yang terkutuk, siapa yang pantas mengutuk



Tapi, nenekku

Hari itu menari dan menyanyi lagi

rambutnya yang telah memutih seperti salju yang menutupi masa lalunya

bayang-bayang suaminya telah terbakar cahaya terik matahari

seulas senyum memenggal semua kesedihan

Septemberku adalah musim semi – mawar merah berseri-seri

Septembermu adalah badai salju – langit dan bumi kelabu



Kami

sibuk mencerca dan mencacimaki

mesin waktu bahkan tak punya

menerawang masa lalu bahkan hanya mimpi

mencoba menerobos kabut hitam pekat di lorong waktu

menggali mayat-mayat yang tak ingin diusik lagi

berkelahi menentukan siapa yang paling berani menulis nama musuh

dan kau, nenekku, pelukanmu

cairkan kebekuan masa silam

sejarah bagimu, sejarah bagiku, seperti empat musim

saling berebut mencuri kenangan dan pujian

namun kau,

mawar di kebun zamanku

meski seribu tahun merana

merahmu kekal merona



Dusta dan fakta

berkelindan

memberangus cinta



Kami sejarawan,

kamilah yang terkutuk.



September, 2009







Maraknya peristiwa pembakaran buku yang berkaitan dengan peristiwa
September 1965, maupun ditariknya sejumlah buku sejarah SMA dari
peredaran karena dianggap memiliki kecenderungan membela PKI adalah
beberapa hal yang mendorong saya untuk menulis tema tersebut kali ini.



Terus-terang, sejak mula-mula kuliah di jurusan sejarah, topik kuliah
yang tidak terlalu saya minati adalah masalah September 1965 ini.
Sebenarnya ini hanyalah masalah “selera” saja. Seperti, beberapa teman
saya yang lebih tertarik dengan topik ini, sedangkan teman-teman yang
lain lebih berminat kepada sejarah pergerakan Islam, dan ada pula yang
lebih tertarik kepada sejarah lokal, dsb. Meski begitu, bukan berarti
saya tidak tertarik sama sekali untuk mengetahui dan membahas masalah
ini. Pertama, baik secara langsung maupun tidak langsung, orang-orang
terdekat saya memiliki kaitan erat dengan peristiwa tersebut. Kedua,
bagaimana pun juga, mereka yang berminat terhadap sejarah Indonesia,
tidak bisa melepaskan diri dari peristiwa tersebut.



Seorang sejarawan, John Cannon, berkata “Salah satu tugas penting para
sejarawan adalah untuk memiliki keyakinan terhadap mereka yang telah
meninggal dan tidak memberi nilai rendah kepada mereka.”



Kata-kata John Cannon tersebut mungkin telah dilupakan oleh para
sejarawan kita. Semakin lama usia “seorang mayat”, semakin berkurang
keyakinan para sejarawan kita terhadap mereka, bahkan dengan bersikap
pesimis, para sejarawan telah menilai mayat-mayat tersebut hanya dari
batu-batu nisan mereka.



Setidaknya itulah pendapat saya mengenai semua peristiwa yang berkaitan
dengan September 1965, baik sesudah maupun sebelumnya. Bukan satu atau
dua sarjana sejarah saja yang menulis skripsi dan tesis berkaitan
dengan peristiwa itu. Jika kita berhenti dan hanya menatap batu-batu
nisan itu, kita tahu bahwa sejarah atau masa lampau sama sekali tidak
bisa berubah. Tapi, jika kita juga “bercakap-cakap dengan mereka yang
berbaring di dalamnya”, “menaruh keyakinan kepada mereka”, secara
intens dan terus-menerus, perubahan itu pasti terjadi. Terbukti bahwa
dari semua karya tulis sejarah, ia tidak lagi menjadi sekadar sebuah
peristiwa (history-as-event), tetapi merupakan narasi atau deskripsi
(history-as-account) yang dari waktu ke waktu bisa mengalami perubahan.



September 1965 mungkin adalah pintu gerbang menuju dunia yang tidak
pernah dibayangkan oleh putri bangsawan muda nan cantik b sepupu nenek
saya, yang saya kutipkan puisi untuknya tadi. Setelah bertahun-tahun
saya mengenalnya barulah saya mengetahui kisah hidupnya. Hanya dari
film “G 30 S PKI” yang setiap tahun ditayangkan selama zaman Orba saya
mengetahui wajah suaminya. Tentu tak seorang perempuan pun pernah
membayangkan apabila suaminya yang cerdas, penuh bakat dan tadinya
begitu disegani tiba-tiba bagai hilang ditelan bumi, dan dia-lah yang
harus mendekam di penjara karena kiprah politik suaminya.



Tetapi, ternyata, bukan hanya beliau satu-satunya orang yang saya kenal
yang masuk ke pintu gerbang itu. Kakek kandung suami saya juga
merupakan korban peristiwa politik September 1965. Entah beliau
benar-benar terlibat dengan PKI atau tidak, tetapi beliau termasuk
salah satu orang yang tewas mengenaskan sebelum diberi kesempatan
membela diri.



Kira-kira beberapa tahun lalu saya menonton sebuah film berjudul
“Suryathai” mengenai seorang putri Siam yang mengorbankan cintanya demi
negerinya. Di dalam film itu, digambarkan gunjang-ganjing politik
istana Siam, termasuk adanya pemberontakan terhadap raja dari para raja
yang berdiam di ibukota. Sang pemberontak berhasil ditumpas dan dihukum
mati. Namun, yang paling menyayat hati, dalam film itu, seluruh istri,
anak dan cucu sang pemberontak juga dihukum mati kendati mereka masih
bayi. Alasan sang raja adalah khawatir mereka akan membalas dendam di
kemudian hari dan menimbulkan ketidakstabilan dalam negeri.



Mungkin peristiwa tersebut hampir mirip dengan kisah pembantaian
terhadap keluarga imam Husein as. Pasukan Yazid tanpa ampun membantai
seluruh putra dan keponakan imam Husein, bahkan memanah cicit
Rasulullah yang masih bayi. Putra satu-satunya imam Husein yang
selamat, imam Ali Zainal Abidin, juga tak luput dari ancaman kematian
sebab Yazid khawatir ia akan membalas dendam. Namun, berkat keberanian
bibinya Zainab dan perlindungan Allah, cicit Rasulullah itu berhasil
selamat.



Selama beratus-ratus tahun kemudian, peristiwa dipenggalnya Husein b
Ali b Abi Thalib hanya diketahui segelintir umat Islam, dan kalaupun
diketahui, tidak diberi porsi sebagaimana mestinya. Maksudnya, ia tidak
diajarkan di sekolah-sekolah, kemungkinan karena khawatir dianggap
menyebarluaskan ajaran Syiah. Murid-murid belajar tentang empat
khalifah pertama Islam, tetapi tidak diajarkan tentang dinasti-dinasti
Islam sesudahnya, pencapaian-pencapaiannya, dan kegagalan-kegagalannya.
Di sekolah dulu, saya diajarkan hadis tentang Rasulullah yang melamakan
sujudnya karena Husein kecil naik ke punggungnya. Tetapi, mengapa tidak
ada yang memberitahu bagaimana beliau mati mengenaskan, kecuali setelah
saya dewasa dan mencari-cari sendiri? Sementara itu, orang-orang yang
disebut Syiah, mewariskan secara turun-temurun kepada anak cucu mereka
tentang kisah-kisah tersebut antara lain dalam rauzeh-rauzeh mereka –
sesuatu yang menunjukkan bahwa “history-as-account” tentang Peristiwa
Karbala memiliki makna yang berbeda dan terus berubah sepanjang zaman,
meski pun “history-as-event”nya sama dan tidak bisa berubah: Tak ada
sejarawan pun yang mengingkari peristiwa Karbala itu.



Demikian juga, selama Orba, semua hal yang berhubungan dengan komunis
dan sosialis digebyah uyah (dipukul rata) buruk, kejam dan hina. Namun,
di hati dan pikiran sanak saudara dan kaum kerabat mereka yang divonis
bersalah karena PKI tidak akan pernah bisa sama dengan anak-anak Orba
yang telah dicuci otaknya dengan P4 dan film G 30 S PKI. Justru,
perasaan mereka sebenarnya sama dengan sanak saudara dan kaum kerabat
mereka yang pernah menjadi korban tindakan PKI ketika masih berjaya,
yang tidak bisa dinafikan pernah terjadi, seperti peristiwa Tebu Ireng.
Hanya saja, sudut pandang yang satu dengan yang lain berbeda.



Mudahnya: jika orang-orang Muslim di Baghdad pada abad ke-13 menganggap
Jengis Khan sebagai jelmaan iblis dan binatang terkutuk, sebaliknya
orang-orang Mongolia mengagungkannya sebagai pahlawan bangsa Mongol. Di
hati kaum Muslim, tersimpan rasa dendam dan luka karena pembantaian
yang dilakukan pasukan Jengis Khan. Begitu pun di hati kaum Mongol,
tersimpan rasa dendam dan benci karena bangsa mereka selalu dilecehkan
dan dijadikan budak hina bangsa-bangsa besar.



Oleh karena itu, tepat seperti yang diucapkan Nicolas dari Cusa:
“Manusia tidak bisa membuat apa-apa selain penilaian manusia”. Jika ada
sejarawan yang begitu bernafsu memberangus semua buku sejarah yang
berkaitan dengan ideologi komunis, tampaknya sejarawan tersebut harus
kembali mengambil mata kuliah filsafat sejarah. Karl Marx bagaimana pun
juga memberikan andil besar dalam bidang ini. Marx misalnya membahas
pertanyaan-pertanyaan sbb: 1. Di manakah kita berdiri dalam sejarah? 2.
Bagaimana kita menyadari diri kita di dalamnya? 3. Bagaimana kita bisa
memahami diri kita sendiri di dalam cahaya sejarah?



Dan, karena penilaian-penilaian manusia belaka pula, adalah lebih baik
bagi kita yang tidak sanggup berpikiran jernih, meredakan amarah,
menghapus dendam, dan memahami dari sudut pandang lain, untuk mencamkan
ucapan sejarawan Michael Stanford untuk Lord Curzon sbb:

“Jangan pernah menjelaskan. Jangan pernah minta maaf.”



Sebab, kemarahan membabi buta akibat perbedaan pendapat dalam menilai
suatu peristiwa sejarah bukan hanya bentuk ketidakdewasaan dan
ketidakbijaksanaan seorang sejarawan. Tetapi, itu sama saja dengan
berdiri memandangi batu-batu nisan sebagai situs statis, menaruh
prasangka kepada orang-orang mati yang berbaring di bawahnya, &
malahan memberi nilai rendah kepada mereka. Padahal, siapa sih
sejarawan kalau tidak “bergantung” pada mereka?



Apalagi Michael Standford juga menegaskan, “Sejarawan tidak pernah
benar-benar menemukan masa lalu (discover the past), mereka hanya
membuat cerita (make up story) tentang hal itu.” : -(





Gayatri Wedotami







Sumber kata-kata mutiara:

Michael Stanford, “A Companion to the Study of History.” Massachusetts: 
Blackwell.





http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/




http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/





      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke