KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jombang


*Latar Belakang Keluarga***



Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal,
“Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim,
orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan
tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup
dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih
dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.



Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di
Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus
Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra
K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa
Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang,
K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU,
yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan
demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh
bangsa Indonesia.



Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir,
ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid
Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya.
Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang
sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya
menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang
anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai
berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang
sering mangkal di rumahnya.



Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur
akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan
tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama
ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah
baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung,
mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi
ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam
kehidupannya.



Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif
berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur
telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang
agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita,
utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan
dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.



Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan
musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk
menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga
melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur
pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.



Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo.
Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa
berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai
kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya
telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh.
Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.



*Pengalaman Pendidikan***



Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim
Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca
al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada
saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus
Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama
Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya
dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl
selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa.
Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula
Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.



Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya
tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari
pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan
gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa
kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.



Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar
di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun
dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan
kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa
Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia
minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan
lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya,
setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di
SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan
anggota Muhammadiyah lainnya.



Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya
semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk
menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur
menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.



Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway,
John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai
tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan
beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan
Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant
yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca
buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya
sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat
radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur
pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota
Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat
yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das
Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan
ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.



Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo
Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai
yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang
memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan
praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur
mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada
saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya,
yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur
telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.



Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut
diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang
diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan
semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping,
jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas
sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan
terjadi di Pesantren Tegalrejo.



Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah
kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya
mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah,
ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun,
Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian
diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama
kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk
dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah
persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata
pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan
informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh
buku-buku yang dikehendaki.



Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah
pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis,
Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan
pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke
Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di
Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi
tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang
berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan
rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama
ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis
Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir
semua buku yang ada di Universitas.



Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para
wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat
Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang
pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur
menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut
mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu.
Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain
sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya,
Azis Badri tewas terbunuh.



Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa.
Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk
masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani
atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya,
akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar
keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia
menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar
Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup
dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai
pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di
Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun,
akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang
menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus
Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki
kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.



Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun
1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna
mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat
dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur
tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa
disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk
dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.



*Perjalanan Karir***



Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan
memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas
Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi
sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai
menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis.
Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat
perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya,
menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang
dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak
heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.



Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu
di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur
mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum
diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama
Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan
pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.



Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren
Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil
katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan
yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai
kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan
bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun
pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya
sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran
adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983.
Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986,
1987.



Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa
al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan
ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali
dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan
muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi
presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh
seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu,
khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang
seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang
dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.



Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini
adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan
sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan
nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam
organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak
bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi
sektarian.



Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan
rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan
berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya,
kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman
keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks,
mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan
sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur
yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang
terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para
pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan
radikal semua dialami.



Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga
inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan
struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan
Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif,
simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang
kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir
Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang
humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil
besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari
Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo
telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada
sentuhan-sentuhan kemanusiaan.



Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis,
tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang
terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan
sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir
tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai
sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya
mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya
dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui
batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.



*Penghargaan***

·         Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990

·         Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay
Award Foundation, Philipina, tahun 1991

·         Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991

·         Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994

·         Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998

·         Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from
the University of Twente, tahun 2000

·         Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun
2000

·         Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari
Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000

·         Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne)
pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu
humaniora, tahun 2000

·         Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari
Columbia University, September 2000

·         Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand,
tahun 2000

·         Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001

·         Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002

·         Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul
Korea Selatan, 21 Maret 2003.



Nama:
Abdurrahman Wahid

Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.

Orang Tua:

Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).

Istri:

Sinta Nuriyah

Anak-anak:

Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari



Pendidikan:

·         Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)

·         Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)

·         Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)



Karir:

·         Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari
Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)

·         Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)

·         Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)

·         Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)

·         Ketua Forum Demokrasi (1990)

·         Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)

·         Anggota MPR (1999)

·         Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)



Penghargaan:

·         Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya
mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)

·         Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)



Dari berbagai sumber.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
    ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke