Refleksi : Hanya http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41263:kalau-tak-hendak-jangan-punya-anak&catid=78:umum&Itemid=131
Kalau Tak Hendak, Jangan Punya Anak Oleh : Dicky Sembiring Berbicara masalah anak, maka kita berbicara mengenai generasi penerus. Bagi kebanyakan masyarakat di dunia, terutama yang sangat menghargai garis keturunan apalagi bagi suku-suku bangsa yang melekatkan marga pada nama keturunan mereka, anak menjadi begitu sangat penting artinya. Khusus mengenai orang-orang yang sangat menghargai sebuah garis keturunan, tidak hanya di Indonesia, bahkan dengan bangga mereka menambahkan inisial Jr (Junior) pada nama belakang anak mereka. Dengan demikian, kelak tanpa melihat data pribadi anak tersebut pun orang lain akan mengetahui siapa orang tua sang anak. Anak sebagai salah satu anugerah terindah pemberian Yang Kuasa, tidak selayaknya disia-siakan dengan alasan apapun. Mentelantarkan mereka sama saja menghina pemberian Yang Kuasa. Kesadaran akan hal inilah yang kemudian melahirkan berbagai bentuk peraturan dan undang-undang, baik yang berlaku secara Internasional maupun secara nasional, yang melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan lain-lain serta memastikan mereka mendapatkan semua hak. Rekaman dari Berbagai Peristiwa Terhadap Anak Harian Analisa tanggal 6 Januari 2010, tepatnya pada rubrik Mancanegara, mengangkat kisah Anak-anak Pakistan Mengais Rezeki di Perbatasan Afghanistan yang Berbahaya. Sebuah kisah nyata yang terjadi saat ini, dimana organisasi PBB untuk anak-anak, Unicef sedang bekerja mengatasi atau paling tidak mengurangi suasana yang sangat riskan bagi anak-anak di sana, dan yang paling penting adalah mengusahakan mereka untuk mendapatkan hak mendapatkan pendidikan. Sebenarnya efek peperangan terhadap kehidupan anak-anak di dunia sudah terjadi sejak dulu. Ambisi yang terlampau tinggi, keserakahan, haus kekuasaan dari orang tua mengakibatkan hidup generasi penerus mereka sengsara. Peperangan merupakan satu penyebab, belum lagi jika kita melihat sebab lain seperti bencana alam, wabah penyakit dan lain sebagainya. Situasi demikian tentu berpengaruh signifikan terhadap perkembangan jiwa dan mental anak. Namun sangat disayangkan apabila anak-anak tetap tak terlindungi meskipun di tempatnya tumbuh dan berkembang tersebut aman dari bencana dan peperangan. Hal ini bukan berarti lantas kita memaklumi begitu saja yang namanya peperangan atau pertikaian terhadap anak-anak. Bagi orang-orang dewasa yang punya pikiran waras, siapa yang tidak merasa geram ketika melihat seseorang yang notabene kaya materi salah satu provinsi di Indonesia hendak menikahi seorang gadis ingusan yang masih duduk di SLTP. Apakah orang tersebut bisa dikatagorikan sakit jiwa? Mungkin. Tapi yang jelas orang dimaksud memanfaatkan faktor ketidakmampuan dari keluarga si gadis kecil secara materi untuk kesenangannya, untuk keuntungannya sendiri. Yang lebih parah oknum yang bersangkutan mengait-kaitkan kehendaknya tersebut dengan ajaran agama yang dianutnya. Bayangkan betapa sempit pemikiran tersebut. Sejauh yang diketahui, tidak ada satu kitab suci pun, dari semua agama yang diakui di negara tercinta ini, mematok batasan umur terhadap pasangan yang ingin melaksanakan perkawinan. Manusia diberi akal, gunakan! Kemudian dari sisi orang tua sang gadis, seolah begitu saja tergiur dengan harta yang bakal dihibahkan kepada mereka, juga perubahan status sosial tanpa sedikit pun memikirkan hak-hak anak mereka yang langsung hilang ketika hal itu terjadi. Pengejawantahan bahwa anak adalah harta orang tua diwujudkan secara sembarangan. Sehingga anak bisa dianggap barang dagangan. Komnas Perlindungan Anak dan aparat penegak hukum Indonesia patut diacungi jempol dalam menangani kasus ini. Institusi-institusi dimaksud berfungsi dengan baik dan tegas. Khusus untuk Sumatera Utara, sepak terjang Komnas Perlindungan Anak Indonesia pun sudah dibuktikan ketika dulu pernah ada seorang anak yang terhitung masih Balita (bayi di bawah umur lima tahun) dihadapkan di depan sidang pengadilan. Tentu saja, banyak pihak saat itu menggeleng-gelengkan kepala atas kebijakan pengadilan negeri untuk menghadirkan anak di bawah umur di kursi pesakitan. Kini menjelang akhir tahun 2009, sebuah peristiwa penganiayaan anak oleh ibu kandungnya sendiri kembali menghebohkan provinsi tercinta ini, tepatnya di Nias. Sebenarnya peristiwa ini lebih tepat disebut pembantaian daripada penganiayaan, karena peristiwa tersebut menyebabkan tiga orang anak meninggal dunia dan dua lainnya cacat fisik dan mental. Tiga anak yang meninggal dunia di tempat adalah: Ferius Nduru, Fohana Nduru, Ferina Nduru, masing masing berumur 3, 8 dan 10 tahun. Sedangkan Kafina Nduru, Foloo Nduru dan Ferida Nduru, masing-masing berumur 1,5 dan 5 serta 7 tahun selamat dari kematian. Pemicu kejadian untuk sementara diduga karena faktor ekonomi dan pertengkaran orang tua mereka. Keinginan sang bapak yang ingin memboyong semua anaknya dan memisahkan dengan ibunya menyebabkan sang ibu kalap. Catatan Statistik 2009 Koordinator PKPA (Koordinator Pusat Kajian Perempuan dan Anak) Sumut, Azmiati Juliah, SH mengatakan bahwa selama kurun waktu 2009 paling tidak ada 40 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di daerah ini (Nias - pen), dan 50 persen diantaranya merupakan penganiayaan terhadap anak. (Analisa, 8/1/2010) Kalau data ini valid bisa dibayangkan pula angka yang diperoleh dalam ligkup provinsi. Karena jika angka 40 dimaksud adalah rekapitulasi dari seluruh kabupaten di Provinsi Sumatera Utara selama 1 tahun, maka justru angka tersebut menjadi tidak valid. Lebih luas lagi, mari kita lihat secara nasional menurut data yang dirilis oleh Komnas Perlindungan Anak Nasional. Kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2009 Komnas Perlindungan Anak telah menerima pengaduan sebanyak 1.998 kasus. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008 yakni 1.736 kasus. 62,7 persen dari jumlah tersebut adalah kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis. Dari hasil pengaduan, pelaku kekerasan tersebut tidak ada kaitannya dengan status sosial, agama, keyakinan serta etnis, atau ras. Demikian juga dengan angka kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sepanjang tahun 2009 Komnas Perlindungan Anak menerima 1.258 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2008. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan. Persentase pemidanaan ini dibuktikan dengan data Anak yang berhadapan dengan Hukum di 16 Lapas di Indonesia (Departemen Hukum dan HAM) ditemukan 5.308 anak mendekam dipenjara. Hanya kurang lebih 10 persen anak yang berhadapan dengan hukum dikenakan hukuman tindakan yakni dikembalikan kepada Departemen Sosial atau orang tua. Ini menunjukkan bahwa negara khususnya penegak hukum gagal melaksanakan amanat UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak maupun Konvensi PBB tentang Hak Anak. Kalau Tak Hendak Kembali sejenak kepada judul di atas. Barangkali judul tersebut terlalu keras untuk sebagian orang yang membacanya. Kalau Tak Hendak, sebenarnya lebih kepada ajakan berpikir tentang kemampuan orang tua atau calon orang tua dalam merencanakan sebuah keluarga. Rencana dimaksud tidak lain dari sisi kesiapan mental dan ekonomi tanpa harus terfokus pada tuntutan adat-istiadat dan keluarga misalnya, dan lain sebagainya, yang sebenarnya jika dituruti orang tua atau bakal orang tua tidak sanggup melaksanakannya. Kita sering melihat Pasutri (pasangan suami isteri) baru yang karena desakan pihak ketiga, yaitu orang tua atau mertua, diharuskan mempunyai target anak dalam jangka waktu sekian lama. Kita juga sering melihat Pasutri dari kalangan penyandang marga yang dijejali pendapat bahwa harus ada anak laki-laki untuk penerus marga. Masih banyak lagi yang lain jika dikupas satu per satu. Setiap keluarga seyogyanya memang dikehendaki mempunyai anak. Keharusan ini bukan berarti tanpa daya ukur kemampuan dan kesiapan mental bahkan yang menyangkut kesehatan reproduksi pasangan masing-masing. Halangan yang terberat untuk memperoleh anak dari sisi kesehatan reproduksi tidak menutup kemungkinan untuk mempunyai anak yang sah dari sisi hukum yang berlaku, yaitu dengan cara mengadopsi. Sekali lagi, anak itu bukan untuk disia-siakan, bukan untuk diperjual-belikan, bukan untuk dianiaya. Tolok ukur kemajuan suatu bangsa tidak lain sejauhmana kualitas generasi penerusnya kelak, bukan sejauhmana kuantitasnya. Penanganan serius dengan melibatkan berbagai institusi terkait dibarengi kerjasama antar pemuka-pemuka agama sangat diperlukan untuk memberi pengertian yang benar terhadap sebuah perkawinan atau pembentukan keluarga sejak sebelum menikah. Kalau tak hendak jangan punya anak. Kalau merasa belum siap tundalah lebih dulu. Kalau merasa belum mampu jangan ditambah terus. *** Penulis adalah karyawan salah satu bank swasta nasional. [Non-text portions of this message have been removed]