http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detail&id=1497 Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis Tanggal: 03 Februari 2010 - 12:31 WIB Sumber: infobanknews.com
Jika sikap publik dan DPR terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus BLBI, maka pada masa-masa yang akan datang jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Eko B. Supriyanto Sistemik dan tidak sistemik merupakan wilayah perdebatan yang tak berpangkal. Namun, hampir semua pengamat ekonomi sepakat bahwa pada saat dilakukan penyelamatan Bank Century (20 November 2008) sedang dalam kondisi krisis. Sementara, para ekonom yang tidak setuju penyehatan sekarang ini, ternyata pada saat dilakukan penyehatan hampir semua berpandangan pada waktu itu kita sedang dicekam krisis akibat krisis keuangan global. Tidak hanya itu. Kelompok yang kontra kebijakan penyehatan menilai, LPS bakal merugi ketika dilakukan divestasi. Menurut mereka, dana yang digelontorkan ke Bank Century sebesar Rp6,7 triliun jika dimasukkan ke dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga rata-rata 6,5% saja pada lima tahun mendatang bisa mencapai kisaran Rp9 triliun-Rp10 triliun. Hitung-hitungan itu memang tidak salah. Tapi, menyesatkan publik sebab LPS bukanlah sebuah lembaga profit atau investment bank, melainkan lembaga yang tugasnya menjamin dan menyehatkan bank. Harusnya juga dihitung, kalau ditutup, berat ongkosnya. Menurut data LPS, jika ditutup pada saat itu, biaya penjaminan sebesar Rp6,4 triliun. Itu biaya langsung. Belum biaya yang akan muncul, seperti efek domino. Jadi, penyelamatan Bank Century harusnya dilihat juga efeknya bagi perbankan nasional. Situasi perbankan sekarang ini yang relatif tidak rusak tidak serta-merta karena penyehatan Bank Century. Namun, karena kebijakan pengambilalihan bank tersebut ternyata tidak berefek buruk terhadap bank-bank lain. Bank Century yang disehatkan itu suatu saat bisa dijual dan selama hidupnya Bank Century akan memberikan kredit, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak. Kenyataan itulah yang ditutupi para pengamat yang antipenyelamatan. Padahal, penyehatan perbankan bukan sebuah matematika tentang untung rugi, melainkan lebih banyak mengurangi biaya yang lebih besar. Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran. Pengalaman masa lalu, yaitu ditutupnya 16 bank yang berukuran kecil ternyata menjadi bencana yang tidak pernah terlupakan oleh perbankan. Biaya yang dibutuhkan hingga mencapai Rp650 triliun dengan menelan uang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Harusnya Pansus Hak Angket Bank Century tidak berputar-putar pada masalah apakah penutupan Bank Century berdampak sistemik atau tidak sistemik, tapi lebih fokus pada persoalan apakah ada aliran dana yang tidak semestinya atau tidak. Sebab, kebijakan yang diambil bisa saja salah kalau toh dianggap salah. Tapi, kebijakan yang salah itu tidak bisa dikriminalisasi atau dianggap sebagai sebuah kejahatan. Jika sikap publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka pada masa-masa yang akan datang, jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Bahkan, jika ada bank gagal, maka akan didor (dilikuidiasi) saja. Selesai persoalan. Jika hal itu menjadi pikiran pengambil keputusan, maka bank-bank sekarang rasanya tidak mempunyai payung jika terjadi krisis. Hati-hatilah. Kenyataan itu tentu tidak menguntungkan industri perbankan yang selama ini membayar premi atas dana nasabahnya. Penyelesaian yang berlarut-larut atas kasus Bank Century juga tidak kondusif bagi perbankan. Industri perbankan yang membayar premi atas dana nasabahnya tentunya menginginkan penyelesaian kasus Bank Century yang proporsional. Tidak harus menghukum kebijakan karena pada akhirnya perbankan yang akan merugi. (*) [Non-text portions of this message have been removed]