http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detail&id=1593
Tanggal:  11 Februari 2010 - 14:49 WIB
Sumber: infobanknews.com

Suka tidak suka, kita perlu menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal. Bahkan, 
dibandingkan dengan BUMN negara lain, khususnya BUMN negeri jiran yang dulu 
belajar dari kita. Riant Nugroho

Mustafa Abubakar, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memulai pekerjaannya 
dengan prinsip yang patut diapresiasi: transparansi. Sebuah konferensi awal 
tahun Kementerian BUMN dengan tema “Refleksi 2009 dan Proyeksi 2010” dihelat 
pada awal Januari 2010.

Dipaparkan bahwa target BUMN 2010, laba bersih Rp90 triliun, naik dari laba 
(prognosis) 2009 senilai Rp74 triliun, sedangkan pendapatan usaha naik 13% 
dibandingkan dengan 2009 (prognosis) senilai Rp930 triliun menjadi Rp1.050 
triliun.

Menarik pendekatan yang ditawarkan Menneg BUMN, yakni mengurangi jumlah BUMN 
yang merugi, dari 20 BUMN menjadi 10 BUMN (separuhnya). Strategi yang 
ditawarkan, antara lain rightsizing, merger, hingga penyuntikan modal 
antar-BUMN.

Sebelum menilik strategi yang ditawarkan Menneg BUMN tersebut, ada baiknya kita 
menilik BUMN milik negara tetangga. Salah satu yang hendak kita jadikan 
perbandingan adalah Petronas, perusahaan pertambangan minyak bumi dan gas alam 
milik Malaysia, perusahaan yang didirikan dengan belajar dari Indonesia.

 Fortune edisi Juli 2009 menampilkan 500 perusahaan terbesar dunia. Petronas 
berada pada ranking 80 dengan total revenue dalam rupiah sekitar Rp750 triliun 
dan laba sekitar Rp150 triliun.

 

Dalam hal pendapatan usaha, Petronas “seorang diri” saja sudah 75% dari total 
pendapatan BUMN yang ditargetkan pada 2010. Laba bersih Petronas pun lebih 
besar daripada laba seluruh BUMN yang ditargetkan pada 2010.

Belum lagi dibandingkan dengan Sinopec, “Pertamina”-nya Cina yang pada 2009 
dilaporkan memiliki pendapatan usaha US$207 miliar (setara dengan Rp2.000 
triliun), mendekati aset total BUMN 2009, yaitu Rp2.150 triliun.

 Ada tiga pelajaran yang dapat kita petik. Satu, suka atau tidak, kita perlu 
menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal. Bahkan, dibandingkan dengan BUMN 
negara lain, khususnya BUMN negeri jiran yang dahulu belajar dari kita.

Saya teringat, pada pertemuan chief executive officer (CEO) BUMN di Bali pada 
2003, seorang pejabat tinggi Petronas diundang sebagai pembicara untuk 
menceritakan kisah suksesnya.

Dengan suara merendah, ia berkata, “Bagaimana saya harus bercerita, karena kami 
dulu diajari oleh Indonesia.” Saya percaya, beliau tidak bermaksud menyinggung, 
apalagi menyakiti. Tapi, di situ saya tetap terpukul malu.

 

Dua, korporasi tetap korporasi. Jadi, untuk maju tetap relevan melakukan 
benchmarking kepada korporasi lain. Pernah seorang pejabat tinggi BUMN berkata, 
“BUMN Indonesia itu berbeda dengan BUMN di negara lain mana pun. Jadi, jangan 
pernah membuat perbandingan. Tidak ada gunanya.” Mungkin ada benarnya.

Namun, tampaknya pelajaran terbaik untuk maju adalah belajar kepada yang lebih 
baik. Benchmarking mencegah kita terbelenggu tempurung keyakinan semu.

Tiga, strategi yang dikemukakan di atas adalah baik. Namun, sesungguhnya kita 
memerlukan lebih dari sekadar strategi tersebut untuk membuat BUMN benar-benar 
menjadi korporasi yang dapat dibanggakan.

Untuk itu, ditawarkan empat strategi. Pertama, reorientasi, yaitu 
sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang BUMN. BUMN adalah korporasi atau 
entitas bisnis, terlepas dari apa pun amanat kebangsaan yang dilekatkan 
kepadanya.

 

Inti dari reorientasi adalah korporatisasi BUMN. Konsekuensinya, BUMN tidak 
boleh secara sewenang-wenang diintervensi oleh politik dan birokrasi.

 

Penetapan direksi tidak lagi menjadi mandat tunggal dari kekuasaan politik dan 
birokrasi. Direksi tidak lagi boleh dengan sewenang-wenang dipanggil ke Senayan.

 Untuk melakukan aksi korporasi, BUMN tidak lagi harus “sowan-sowan” ke 
birokrasi dan menunggu “kebaikan hati” dari birokrasi untuk mengizinkan BUMN 
bersangkutan melakukan aksi korporasinya.

Selama BUMN dianggap sebagai bagian dari politik dan birokrasi, BUMN tetap 
merupakan kepanjangan dari badan usaha milik naon wae. Badan usaha milik siapa 
saja, deh.

 

Kedua, restrukturisasi, yang dimulai dengan memisahkan BUMN yang profit 
oriented (PO) dan non for profit oriented (NfPO). BUMN PO diarahkan ke strategi 
holdingisasi ke dalam 10-12 superholding.

 

Teori bisnis klasik: size matter. Baik dalam mencari akses permodalan maupun 
aksi korporasi yang lain. Holding adalah sinergi, dalam hal ini satu tambah 
satu hasilnya lebih dari dua. BUMN yang siap membentuk superholding adalah 
perkebunan dan pupuk.

 Ketiga, profitisasi, yaitu menjadikan setiap superholding menjadi entitas 
bisnis yang memberikan laba luar biasa. Jika BUMN sudah menjadi badan usaha 
yang sehat dan memiliki laba yang besar, ia akan memberikan hasil yang optimal 
kepada pemegang saham pada saat diprivatisasi.

Privatisasi adalah langkah keempat yang perlu dilakukan agar BUMN dipaksa 
transparan. Seperti kata pepatah, “transparency is the best disinfectant”. 
Tanpa transparansi, BUMN berpotensi terjebak ke dalam korupsi, kolusi, dan 
nepotisme (KKN).

 Privatisasi juga mencegah BUMN untuk dengan sewenang-wenang diintervensi 
politik dan birokrasi karena ada pemegang saham publik yang menjadi instrumen 
pencegahnya.

 

Pada 2010 Kementerian BUMN dihadapkan pada agenda mempersiapkan suatu roadmap 
berupa strategi pemberdayaan dan pendayagunaan BUMN yang tepat, yang lebih dari 
upaya membangun BUMN, tetapi—dan ini untuk ke sekian kalinya—melakukan turn 
around.

 Tahun ini adalah pertaruhan apakah lima tahun ke depan kita akan memiliki BUMN 
yang world class corporation atau sekadar BUMN yang mampu memberikan 
pendapatan, laba, dan dividen yang lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.  

 Penulis adalah Direktur Institute for Policy Reform, pekerja pada BUMN 
Executive Club. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke