Jawa Pos
[ Kamis, 11 Februari 2010 ] 

Gertak Sambal Reshuffle Kabinet 
Oleh: Moh Samsul Arifin

USIA Kabinet Indonesia Bersatu jilid II sudah lebih dari seratus hari. Dari 
Istana Presiden di Cipanas, sang nakhoda memaklumatkan keberhasilan 
pemerintahannya. Menurut dia, hingga seratus hari kerja -sejatinya seratus hari 
plus lima tahun- (program pemerintahan) telah mencapai target (sukses) 99 
persen. Tentu klaim ini bisa diperdebatkan karena sejumlah pihak memiliki 
indikator berbeda untuk menilai. Nah, jika program seratus hari dinyatakan 99 
persen sukses, mengapa pula ada usul agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
(SBY) merombak kabinet? 

Inilah yang anomali dalam jagat politik Indonesia. Konklusi bisa ditarik tanpa 
menimbang premis minor dan mayornya: Pemerintahan disusun oleh parpol yang 
menyetor kadernya untuk duduk di kabinet. Mereka disebut kawan kongsi Partai 
Demokrat yang bersama-sama menyokong pemerintahan SBY-Boediono. Setelah 
(pemerintahan) berjalan seratus hari dan diklaim sukses, kabinet malah hendak 
dirombak. 

Tapi, jangan berhenti pada logika umum untuk memahami politik di negeri yang 
lepas dari otoritarianisme 12 tahun lalu ini. Masuklah ke dalam sengkarut 
tali-temali ikatan politik yang melatarbelakangi pembentukan kabinet. Di sini, 
rasanya, politik dan subjek politik (baca: aktor dan parpol) berada di 
persimpangan jalan. 

***

Usul reshuffle berasal dari petinggi Partai Demokrat terkait dengan dinamika 
yang berkembang di Panitia Khusus Angket Bank Century. Demokrat gerah terhadap 
parpol kawan kongsi, khususnya Partai Golkar, PKS, dan PPP. Sebab, ketiga 
parpol itu bakal menentukan rekomendasi Pansus Century nanti. Apabila kawan 
koalisi kompak, seluruh kebijakan KSSK dan BI pada masa lalu seperti merger, 
pemberian fasilitas jangka pendek, penetapan Century sebagai bank gagal 
berdampak sistemik, hingga pengucuran dana talangan (bailout) kepada bank yang 
pernah dimiliki Robert Tantular cs itu dianggap tak bermasalah.

Sebaliknya, jika Golkar, PKS, dan PPP bergabung dengan tiga parpol oposisi 
-PDIP, Hanura, dan Gerindra- kesimpulan terkait dengan kebijakan yang antara 
lain diputuskan Boediono dan Sri Mulyani Indrawati tersebut akan menguak tabir 
skandal Bank Century. Ini yang ditunggu-tunggu publik, yang notabene adalah 
konstituen parpol pemilik kursi di parlemen.

Kredibilitas Pansus Century dan parpol akan sangat ditentukan oleh kesimpulan 
akhir panitia yang dibentuk pada Desember 2009 itu. Tentu kesimpulan akhirnya 
harus berdasar fakta dan data yang diperoleh selama proses penyelidikan. Bukan 
sejenis apriori yang beralas kepentingan semata. Kita mengingatkan anggota 
Pansus Century untuk berangkat dari temuan BPK yang menyatakan ada sejumlah 
pelanggaran dan keganjilan dalam fase-fase menuju bailout Century. Temuan BPK 
itulah soko gurunya, dan bukannya politisasi yang menyertai kerja pansus yang 
akan berakhir Maret nanti.

Reshuffle dalam jalinan politik merupakan pedang bermata dua: ia jadi semacam 
gertakan -kalau bukan ancaman- kepada parpol untuk mengerem anggotanya di 
Pansus Century. Ancaman tersebut biasanya berujung pada pemecatan kader parpol 
dari kabinet. 

Kedua, reshuffle bisa dibaca sebagai uluran tangan kepada parpol semacam 
Golkar, PKS, dan PPP untuk menambah kursi di kabinet. Sebentuk tawaran untuk 
mengubah haluan atau kritisisme kadernya di parlemen. Isu reshuffle yang 
dikaitkan dengan perilaku kawan koalisi di parlemen itu pernah juga terjadi 
pada masa Abdurrahman Wahid atau Megawati Soekarnoputri. Sebuah risiko yang 
secara otomatis melekat kepada parpol dan kadernya yang duduk di kabinet. 

Yang harus dicamkan, Demokrat di satu sisi dan Golkar-PKS di sisi lain punya 
optik berbeda soal koalisi. Demokrat sejak awal selalu mengumandangkan bahwa 
koalisi terjadi antara mereka dan parpol lain dalam mendukung pemerintahan 
SBY-Boediono. Sedangkan Golkar dan PKS menyebut tak terikat koalisi dengan 
Demokrat, melainkan dengan Presiden SBY. Ini menegasikan Demokrat. Tak heran 
jika petinggi Golkar dan PKS, dalam kasus Bank Century, menyatakan bahwa 
keduanya terikat kepada ''koalisi kebenaran". Maksudnya, anggota kedua parpol 
di Pansus Century itu diminta mengungkap skandal tersebut tanpa memikirkan 
koalisi parpolnya dengan Presiden SBY. 

***

Menengok kesimpulan sementara fraksi-fraksi di DPR, kita menangkap sinyal 
koalisi yang dibangun Presiden SBY tidak efektif. Hanya satu parpol, yakni PKB, 
yang sebangun dengan Demokrat. Selebihnya, tujuh fraksi lain -dengan bahasa 
masing-masing-mendapati ada keganjilan, pelanggaran, dan indikasi tindak pidana 
korupsi pada tiga tahap skandal Bank Century. Kawan kongsi semacam Golkar, PKS, 
PPP, dan PAN memiliki kesamaan pandangan dengan tiga parpol di kubu oposisi; 
PDIP, Gerindra, dan Hanura. 

Koalisi yang dibangun SBY sebetulnya rapuh karena tidak diikat platform dan 
ideologi yang sama. Sebaliknya, koalisi berfondasi pada pembagian kursi di 
kabinet, semacam power sharing. Siapa yang bersedia mendukung SBY-Boediono 
memperoleh kursi kabinet sesuai dengan proporsi suara dan kursi parpol di 
parlemen. Kira-kira begini logika yang dibangun: Semakin banyak parpol pemilik 
kursi di DPR bergabung dalam koalisi, maka pemerintahan bakal kian kuat. Dengan 
demikian, basis dukungan di parlemen akan kukuh dan pemerintah bisa menyusun 
kebijakan dengan mulus. Itu berarti pemerintahan akan efektif dan mampu 
mencapai target-target untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Premis itu disusun dari kesadaran bahwa sistem kepartaian yang dianut negeri 
ini adalah multipartai. Artinya, presiden terpilih sebisa-bisanya harus 
menggeser orientasi parpol menjadi eksponen (pendukung) pemerintahan. Ia 
berkepentingan mengurangi kekuatan oposisi, setidaknya menjadi minimalis.

Dengan bergabungnya Golkar ke koalisi pendukung SBY-Boediono, 75 persen lebih 
suara parpol di tangan pemerintah yang berkuasa. Harapannya, 
kebijakan-kebijakan pemerintah bakal selalu dapat lampu hijau dari parlemen. 
Tapi, harapan itu barangkali akan mengempis jika pada 4 Maret nanti Pansus 
Century menetapkan kesimpulan akhir seperti konfigurasi sikap fraksi-fraksi 
saat ini. 

Begitu pula, kita bisa memetik pelajaran dari dinamika politik saat ini. Sistem 
pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia mengharuskan rampingnya parpol. 
Karena itu, instrumen penyederhanaan parpol lewat mekanisme electoral threshold 
dan parliamentary threshold harus senantiasa ditingkatkan. Lewat Pemilu 2009, 
hanya sembilan parpol yang lolos ke parlemen. Dengan perangkat parliamentary 
threshold, diharapkan jumlah parpol di parlemen hasil Pemilu 2014 nanti 
berkurang sehingga tinggal lima saja. Jika tidak, presiden yang dipilih 
langsung oleh rakyat akan selalu tersandung di parlemen. (*)

*) Moh Samsul Arifin , pemerhati politik dan penulis ''Perempuan Punya 
Pilihan'' 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke