Dengan segala hormat pada mendiang Gus Dur. Tetapi, apakah beliau memiliki 
kapasitas keahlian untuk menilai teknologi pesawat tempur? Saya khawatir, Gus 
Dur dipasok dengan informasi yang keliru.
 
Sukhoi Su-27/Su-30 termasuk pesawat tempur yang terbaik dalam kelasnya. Daya 
jangkaunya lebih jauh daripada F-18 Hornet buatan Amerika yang kini jadi 
andalan Australia. Daya manuvernya juga luar biasa, melebihi pesawat-pesawat 
buatan Eropa/AS. Kemampuan membawa persenjataan juga lebih besar satu level di 
atas F-16.
 
Sukhoi-30 kini juga jadi andalan AU India, superpower regional Asia.





Satrio Arismunandar 
Executive Producer
News Division, Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 3542,  Fax: 79184558, 79184627
 
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://satrioarismunandar.multiply.com  
 
Verba volant scripta manent...
(yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi...)

--- On Mon, 2/22/10, Ananto <pratikno.ana...@gmail.com> wrote:


From: Ananto <pratikno.ana...@gmail.com>
Subject: [ppiindia] Gus Dur: Pertahanan Memang Mahal
To: 
Date: Monday, February 22, 2010, 9:13 AM


  



Pertahanan Memang Mahal

Rabu, 3 September 2003

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Ketika tulisan ini dibuat pesawat tempur Sukhoi yang dibeli dari Rusia Eropa
Timur mendarat di Lanuma Iswahyudi Madiun. Pembelian pesawat itu memang
menjadi bahan pembicaraan dan pertentangan. Kesimpulan saya, pembelian
pesawat Sukhoi itu dilakukan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan politis,
bukannya alasan-alasan teknis. Terlepas dari sikap setuju atau tidak atas
pembelian pesawat terbang tempur jenis itu, hal itu sangat mengherankan.
Pembelian peralatan tempur dimana saja di dunia ini, pertama-tama tentulah
di dasarkan atas pertimbangan- pertimbangan teknis, bukan karena
alasan-alasan politis. Sewaktu masih menjabat sebagai Presiden, penulis
memerintahkan untuk meneliti mengapa mantan Presiden Soeharto dan Habibie
tidak jadi membeli jenis pesawat tersebut. Menhan (Menteri Pertahanan) Prof.
Mahfud MD menyatakan hasil diskusi dilingkungan Departemen tersebut. Ia
menyimpulkan atas dasar pertimbangan- pertimbangan teknis, pesawat Sukhoi
tidak layak dibeli karena jangkauannya dari Lanuma Iswahyudi di Maospati
(Madiun) tidak mencapai bentangan teritorial Republik Indonesia dari Timur
maupun Barat.

Penulis memutuskan untuk tidak membawa masalah pembelian pesawat Sukhoi itu
ke dalam sidang-sidang kabinet maupun forum-forum lainnya, karena memang
sudah tidak ada keinginan membelinya. Walaupun Amerika Serikat masih
memberlakukan embargo suku cadang F.16 Falcon dan pesawat-pesawat lainnya.
Pemerintah waktu itu tetap tidak melakukan pembelian Sukhoi, karena
ketidaklayakan teknis tersebut. Ditambah dengan krisis keuangan dan ekonomi
yang kita hadapi hingga saat itu, sebagai bagian dari krisis
multi-dimensional, dengan sendirinya pembelian semua jenis pesawat militer
ditiadakan. Ini adalah keputusan yang sangat sulit diambil, karena memang
kita berada dalam masa krisis berkepanjangan. Karenanya sangat mengherankan
sikap terakhir pemerintah yang jadi juga membeli pesawat tempur itu,
sedangkan krisis belum berakhir dan pertimbangan- pertimbangan teknis tetap
menjadikan bahwa Sukhoi tidak layak dibeli. Akhirnya pembelian itu
mendapatkan reaksi yang hebat dimana-mana, walaupun upaya untuk "membungkam"
media massa kita, memang untuk sementara dapat dilaksanakan. Namun dalam
jangka panjang keputusan itu tetap saja akan dikritik oleh banyak orang,
akibatnya akan semakin banyak kredibilitas pemerintah yang hilang.

Sikap tidak mementingkan faktor-faktor diatas justru merupakan permulaan
dari pandangan yang tidak mementingkan pertahanan negara, yang penulis rasa
sangat tidak tepat untuk diikuti. Apalagi mengingat bentangan tanah air kita
yang sangat luas, dan sejumlah pulau-pulau di negeri kita memang tidak
didiami manusia. Peristiwa manuver lima pesawat angkatan laut AS dari jenis
F-18 Hornet di atas pulau Bawean, masih terasa sangat pahit bagi kita, yang
kemudian disusul dengan sejumlah manuver dua buah kapal perang AS disebelah
Barat Natuna di Riau, tanpa ada protes berarti dari pemerintah kita. Padahal
tindakan-tindakan AS ini, oleh Prof. Dr Ahmad Syafi'i Ma'arif dinilai
sebagai manifestasi sikap dari kaum Imperalis. Marilah kita renungkan
lanjutan pendapat profesor kita itu: masihkah kita mempunyai kedaulatan
sebagai bangsa dan negara? Pendapat ini dikemukakan beliau dihadapan penulis
sewaktu mengikuti acara rekaman SCTV di Hotel Intercontinental, Selasa 26
Agustus 2003 yang lalu.

*****

Hari ini kita secara resmi menerima pesawat tempur Sukhoi, yang entah apakah
harga pembeliannya dengan mark up atau tidak. Tiga buah pertanyaan harus
dipikirkan jawabannya secara matang pertimbangan apakah yang seharusnya
dipakai dalam pembelian alat-alat pertanahan kita? Sampai seberapa jauhkah
kita harus berani membayar pembelian alat-alat pertahanan itu? Dengan kata
lain, apakah batas-batas yang harus kita gunakan dalam pembelian alat-alat
pertahanan? Tanpa mengurangi hormat penulis kepada pertimbangan- pertimbangan
lain, rasa-rasanya tiga sisi yang penulis kemukakan sebagai pertanyaan itu,
merupakan dasar bagi kokohnya kehidupan kita sebagai penganut paham
demokrasi sebagai bangsa dan negara.

Dalam pandangan penulis, menyusun pertahanan sebuah negara harus memenuhi
dua sisi yang sangat penting, sisi teknis dan aspek politis. Aspek politis
telah kita miliki dalam kehidupan sebagai bangsa, walau dalam beberapa hal
justru berlebihan. Bagaimana mencari keseimbangan antara keduanya, agar
tidak saling merugikan. Jika antara sisi teknis dan politis itu bertentangan
maka yang digunakan adalah pertimbangan teknis yang oleh teori hukum
Islam/Ushul Fiqh dirumuskan sebagai "kepentingan umum" (al-Maslahah
al-Ammah) adalah keseimbangan tersebut. Inilah pertimbangan utama yang harus
digunakan dalam pengambilan keputusan. Betapa hal ini harus dikemukakan
terus-menerus. Konsekuensinya bagi kehidupan kita, kalau keseimbangan ini
kita lalaikan kita akan mengembangkan aspek teknis dan mementingkan aspek
politis. Contohnya ketika aspek hukum dibuang dalam pelaksanaan SI (Sidang
Istimewa) MPR dua tahunan yang lampau, hasilnya adalah menangnya aspek
politis sebagai satu-satunya bahan petimbangan dan terjadinya pelanggaran
konstitusi yang berujung pada pelengseran presiden.

Nah, keseimbangan seperti itulah yang harus kita gunakan dalam pengambilan
keputusan politik, bukannya pengabaian aspek teknis dan penggunaan
pertimbangan politik belaka. Seperti dalam pembelian pesawat tempur Sukhoi,
yang jelas digunakan hanyalah pertimbangan politis saja karena jelas sekali
pertimbangan- pertimbangan teknis diabaikan secara total, betapapun murahnya
harga pesawat tempur tersebut. Rasa keamanan dalam diri kita lalu hilang,
karena pertahanan udara kita lalu menjadi "tidak cukup". Bagi mereka yang
bertanggung jawab langsung atas pertahanan udara kita memang sangat
mengerikan, bertugas melakukan pertahanan di kawasan udara tanpa peralatan
yang cukup. Memang belum tentu ada serangan di jaman ini atas wilayah udara
kita, namun kesiagaan mengharuskan kita menggangap dapat saja serangan
terjadi sewaktu-waktu.

*****

Sampailah kita kepada sebuah pertanyaan sangat mendasar bagi kehidupan
sebuah bangsa: Berapakah batas sebuah bangsa harus membayar biaya
pertahanan? jawabannya ada dua yaitu minimal dan maksimal.

Biaya minimal adalah sekedar mempertahankan sebuah teritori saja, dengan
membiarkan kawasan lain di negara tersebut "terbuka" dari serangan luar,
namun akan dibalas secara total dari kawasan lain. Contohnya adalah kawasan
Rub Al-Khali (seperempat kawasan kosong) yang ada di timur laut Saudi
Arabia, berbatasan dengan Kuwait dan Jordan. "Pertahanan longgar" itu karena
keseluruhan teritori Saudi Arabia adalah tanah daratan yang bersambung,
sehingga dapat dilakukan "serangan balik" atas daerah yang diduduki musuh.
Tetapi negara kita tidak demikian halnya karena banyak pulau yang dengan
mudah dapat diduduki musuh tanpa kita melakukan serangan balik atas daerah
yang telah direbut itu, karena merebut kawasan dengan melakukan pendaratan
jauh lebih besar korban yang harus ditanggung dan biaya yang harus
dikeluarkan.

Sebaliknya, pertahanan dengan biaya maksimal harus dipergunakan untuk negara
kepulauan seperti negeri kita. Ditambah lagi adanya rimba belantara di
pulau-pulau kita yang sangat banyak, pertahanan harus lebih banyak
ditekankan kepada pesawat tempur yang sangat cepat, kapal-kapal perang yang
cepat pula, pemindahan serdadu dari tempat ke tempat dengan menggunakan
pesawat angkut ringan ataupun helicopter. Ini berarti biaya yang sangat
besar untuk mempertahankan kedaulatan wilayah kita. Demikian pula, luasnya
kawasan negara kita memerlukan biaya pertahanan yang sangat tinggi dan ini
berarti perlunya keseimbangan antara pengeluaran negara dan penerimaannya.
Karenanya perekonomian kita harus meningkat terus menerus, guna memungkinkan
tercapainya penghasilan yang besar melalui pajak.

Jelas dari tulisan di atas, penulis termasuk orang yang menginginkan
kesiapsiagaan prima dalam pertahanan kita. Dan kaitannya dengan hal itu,
penulis beranggapan ekonomi kita harus terus-menerus "bergerak keatas" dalam
tatanan yang kreatif. Sumber-sumber kekayaan alam, hasil hutan-hasil
tambang- kekayaan laut harus diolah begitu rupa, sehingga memberikan
penghasilan besar bagi warga negara kita secara keseluruhan, guna
memungkinkan jumlah besar penghasilan negara dari pajak. Tetapi ekonomi
seperti itu mengharuskan usaha kecil dan menengah berkembang pesat, guna
memungkinkan partisipasi maksimal semua orang warga negara dalam proses
perkembangan ekonomi seperti itu. Tidak dibenarkan ketimpangan- ketimpangan
dalam struktur ekonomi yang hanya menguntungkan kaum kaya saja, karenanya
harus ditegakkan "ekonomi rakyat". Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan
bukan?

Jakarta, 28 Agustus 2003

-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

[Non-text portions of this message have been removed]









      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke