Tribun Timur, Sabtu, 27 Februari 2010
Wacana Nikah Siri Dalam Kebijakan Publik
Oleh : Muslimin B.Putra
http://www.tribun- timur.com/ read/artikel/ 81490/Wacana_ Nikah_Siri_ 
Dalam_Kebijakan_ Publik

Departemen Agama sedang mempersiapkan draft RUU Hukum Material Pengadilan Agama 
(HMPA) dan kini sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010. Dalam 
Pasal 143-153 draft RUU tersebut, terdapat ketentuan pidana pada perkawinan 
siri dan perkawinan mut’ah (kontrak), perkawinan kedua, ketiga, dan keempat 
serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan 
dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, 
padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman untuk tindak pidana jenis 
perkawinan terlarang diatas bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun, 
sementara ancaman denda mulai dari Rp 6 juta hingga 12 juta. 

Dalam draft RUU tersebut juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang 
yang kewarganegaraan. Pada Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang 
berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui 
bank syariah sebesar Rp500 juta (Antara News, 10 Februari 2010).

Banyak wacana berseliweran yang cenderung mempersamakan antara nikah siri’, 
nikah mut’ah, kawin kontrak seiring dengan rencana perubahan Undang-Undang 
Perkawinan atau RUU Hukum Material Pengadilan Agama. Secara sederhana nikah 
siri yang dimaksud disini adalah setiap pernikahan yang tidak dicatatkan pada 
Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga tidak mendapatkan surat nikah meskipun 
secara syariat dinyatakan sah. Dari defenisi sederhana ini, nikah mut’ah atau 
kawin kontrak juga termasuk kategori nikah siri’ karena tidak dicatatkan pada 
KUA, namun secara syar’i sudah diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW hingga yaumul 
qiyamah.

Wacana kriminalisasi pelaku nikah siri’ merupakan isu utama dari amandemen UU 
Perkawinan yang memantik perdebatan. Banyak argumentasi dibangun untuk 
memidanakan pelaku nikah siri’ seperti untuk melindungi kaum perempuan dan 
anak-anak yang sering menjadi korban nikah siri’, jaminan hak waris pada anak, 
dan sebagainya. 

Suatu pernikahan memiliki lima syarat (rukun) yakni ada pengantin pria, 
pengantin wanita, penghulu, wali dan dua orang saksi. Maraknya pernikahan yang 
dilakukan secara siri’ lebih disebabkan karena persoalan sosiologis dan 
ekonomis. Alasan sosiologisnya, pernikahan sudah berlangsung sebelum lahirnya 
negara yang mengatur persoalan pernikahan. Sejak zaman dulu, banyak yang 
melakukan pernikahan pada penghulu, ulama atau guru pesantren sementara 
anak-anak dari hasil pernikahan siri tetap mendapatkan hak waris karena agama 
telah mengaturnya. Sementara alasan ekonomis, seiring dengan lahirnya instansi 
pemerintah yang mengurusi masalah agama (Departemen Agama), setiap pernikahan 
yang dicatatkan pada kantor tersebut memiliki beban financial karena harus 
mengeluarkan biaya tertentu. Untuk honor penghulu saja berkisar antara Rp 500 
ribu hingga Rp 1 juta sehingga beberapa kalangan terasa berat. 

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menganut azas monogami sebagaimana 
tertera pada Pasal 3. Meskipun menganut azas monogami, sebenarnya UU ini tetap 
memberi peluang bagi seorang laki-laki/suami untuk beristri lebih dari satu, 
dengan catatan mendapat izin dari Pengadilan Agama (PA), sebagaimana diatur 
pada Pasal 4 dan Pasal 5. Ketatnya persyaratan untuk beristri lebih dari satu 
secara legal menurut UU mendorong terjadinya nikah siri karena tidak perlu 
meminta izin pada Pengadilan Agama sebagaimana perintah UU.

Sebenarnya UU Perkawinan No. 1/1974 sudah mengatur sanksi bagi pelaku nikah 
siri dan kawin kontrak. Dalam UU ini disebutkan bahwa orang yang tidak 
melaporkan perkawinannya ke Kantor Urusan Agama diancam hukuman kurungan tiga 
bulan dan denda Rp 7.500. Mungkin denda sebesar Rp 7.500 amat besar pada 
konteks tahun dibuatnya UU Perkawinan ketika itu (1974), namun kini denda 
sebesar itu sangat kecil seiring perubahan nilai rupiah yang terus anjlok.

Meski nikah siri sah secara agama dalam prakteknya banyak yang menjadikan 
sebagai kedok perzinaan terselubung sehingga sifatnya berbentuk transaksional. 
Padahal Rasulullah menganjurkan setiap pernikahan agar diumumkan dan 
diresepsikan (walimah). Namun rupanya, praktek nikah siri’ kebanyakan untuk 
menghindari syarat tersebut dan biasanya berlangsung secara diam-diam. Selain 
itu, praktek yang terjadi, tidak ada kewajiban bagi suami memberikan hak waris 
bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan siri karena perkawinannya tidak 
diakui negara.

Adanya deviasi atas praktek-praktek nikah siri pada beberapa kasus tidak bisa 
dijadikan alasan pembenaran dan menggeneralisir pemidanaan pelaku nikah siri 
dalam UU baru. Masih banyak keluarga yang dibangun secara baik, bahagia dan 
harmonis dari hasil pernikahan siri yang tidak terekspos ke media. Perbuatan 
zalim terhadap istri dan anak-anak dari hasil nikah siri seharusnya 
diselesaikan secara hukum melalui UU KDRT, bukan melalui UU Perkawinan atau RUU 
Hukum Material Pengadilan Agama. Karena itu pernikahan secara siri tetaplah 
halal, baik dan mulia.

Dinegara manapun, baik di Eropa dan Amerika, menghargai hukum asal pernikahan 
adalah baik. Pernikahan bukanlah perbuatan kriminal, sehingga pelaku pernikahan 
tidak dianggap sebagai pelaku kriminal. Jika terjadi pelanggaran dalam 
pernikahan, bukan pernikahannya yang salah tetapi perilaku pelaku pernikahan 
yang keliru dalam menerapkan pernikahan. Jika UU tersebut disahkan, berarti 
pelaku nikah siri akan dipidana sementara pernikahan siri adalah perbuatan 
kriminal.

Prediksi Dampak Kebijakan

Jika UU ini disahkan, boleh jadi instansi Departemen Agama c.q KUA akan 
memiliki otoritas tunggal dalam menilai halal-haramnya pernikahan. Hal ini 
mirip dengan fungsi MUI yang memegang lisensi halal-haramnya makanan dan obat. 

Kriminalisasi terhadap pelaku nikah siri melalui UU Perkawinan maupun RUU Hukum 
Material Pengadilan Agama dapat diperkirakan memiliki dampak buruk yakni kian 
memarakkan aktifitas perzinaan, seperti free seks dan “kumpul kebo”. Selama 
ini, nikah siri memang dijadikan jalan alternatif agar tidak terjadi perzinaan, 
meski telah menjurus pada mekanisme transaksional, utamanya pada nikah kontrak 
yang berasal dari pemahaman mashab tertentu dalam kelompok Islam (baca: syiah). 

Apalagi hukum perzinaan yang berlaku di negeri ini adalah hukum buatan Belanda 
yang sangat jauh dari hukum Islam. Hukum buatan Belanda sangat dipengaruhi 
konsep monogami ajaran Kristen Katolik. Untungnya Mahkamah Agung pernah 
mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No 3 tahun 1963 yang fenomenal dengan tidak 
memberlakukannya Pasal 108 dan 11 KUHP soal kewenangan istri melakukan 
perbuatan hukum/menghadap pengadilan tanpa izin suami.

Ancaman pemidanaan pelaku nikah siri dapat dilihat dari aspek kebebasan sipil 
yakni intervensi negara pada urusan privat. Negara yang melakukan intimidasi 
terhadap proses perkawinan yang dilakukan setiap warga negara dapat dianggap 
pelanggaran hukum. Semestinya negara hanya berhak mengatur registrasi 
perkawinan dan berkewajiban menyiapkan ruang bagi setiap warga negara untuk 
melangsungkan perkawinannya menurut keyakinan dan tata cara agama 
masing-masing. Dalam konteks ini, negara tidak berhak memaksakan kehendaknya 
pada setiap warga negara untuk mencatatkan pernikahannya dalam sistem 
administrasi negara.

Fungsi ancaman pidana bagi pelaku nikah siri sebagai alat untuk mendidik dan 
mencegah penyalahgunaan tujuan pernikahan yang amat mulia. Namun sebaiknya, 
dalam rangka mengambil alih kesempurnaan oleh negara, sebaiknya pelaku nikah 
siri cukup dikenakan sanksi perdata dan/atau diberikan kewajiban administratif. 
Jangan sampai kumpul kebo dilegalkan atas nama hak azasi manusia, sementara 
pelaku nikah siri yang sah secara agama justru dipidana.

Penulis, Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik pada CEPSIS Makassar.



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke