Menjelang sidang paripurna DPR untuk mengesahkan kesimpulan akhir
Pansus tentang Skandal Bank Century, para Staf Khusus Presiden giat melakukan
lobi politik ke beberapa pihak.
 
Bahkan, para Staf Khusus Presiden juga secara aktif melakukan
pengungkapan kasus-kasus hukum yang diperkirakan mungkin akan dapat menjerat
pihak-pihak yang dilobinya itu.
 
Kombinasi dari pendekatan lobi politik digabungkan dengan pressure
pengungkapan kasus-kasus hukum itu sedikit banyak membuat pihak-pihak yang
didekati menjadi keder dan jeri.
 
Pintu untuk kompromi pun menjadi terbuka dan dimungkinkan untuk
diusahakan serta berpeluang untuk diwujudkan.
 
 
Beberapa pihak menengarai ini merupakan taktik dan strategi untuk
memungkinkan terjadinya kompromi.
 
Dalam arti kata, dalam kompromi itu dimungkinkan terjadinya kebijakan
pengesampingan atas kasus-kasus hukum itu yang ditukar gulingkan dengan
perubahan sikap partai-partai menjadi selaras dan senada dengan sikap politik
yang diinginkan oleh Partai Demokrat.
 
 
Sebagaimana diketahui, semula dalam sikap politiknya fraksi Partai
Demokrat berpendapat bahwa pemberian FPJP dan PMS serta kebijakan maupun
pelaksanaannya tidak ada permasalahan.
 
Sedangkan fraksi PKB berpendapat bahwa pemberian FPJP dan PMS serta
kebijakannya tidak ada permasalahan sedangkan dalam pelaksanaannya ada
permasalahan.
 
Diluar dua fraksi itu semuanya berpendapat bahwa pemberian FPJP
dan PMS serta kebijakan maupun pelaksanaannya ada permasalahan.
 
 
Namun, pasca mulai digulirkannya aksi lobi dan pressure kasus hukum
yang dilakukan oleh para Staf Khusus Presiden, posisi sikap politik menjadi
berubah.
 
Adapun fraksi Partai Demokrat juga mulai sedikit mengalah dan merubah
pendapatnya menjadi seperti pendapatnya fraksi PKB, yaitu bahwa pemberian FPJP
dan PMS serta kebijakannya tidak ada permasalahan sedangkan dalam
pelaksanaannya ada permasalahan.
 
Demikian juga dengan fraksi PAN, juga mulai terlihat kesediaannya untuk
berkompromi dan menyamakan sikap politiknya sesuai dengan apa yang menjadi
sikap politiknya fraksi Partai Demokrat.
 
Pihak-pihak lainnya mulai goyah, fraksi PPP dan fraksi Gerindra
terlihat mulai menunjukkan sikap yang cenderung untuk terbuka terhadap kompromi
atas sikap politiknya.
 
Bahkan fraksi Partai Golkar dan fraksi PKS pun sudah mulai menunjukkan
tanda-tanda bahwa sikap politiknya mulai bimbang.
 
Hanya tinggal fraksi PDIP dan fraksi Hanura saja yang terlihat masih
ngotot dengan sikap politiknya, yaitu pemberian FPJP dan PMS serta kebijakan
maupun pelaksanaannya ada permasalahan.
 
 
Maka peta sikap politik pun menjadi lebih sedrahan lagi, dari tiga
jenis sikap politik menjadi mengerucut ke arah dua jenis sikap politik.
 
 
Opsi pilihan yang mungkin akan dipilih di rapat paripurna DPR pun
menjadi hanya tinggal dua saja, yaitu sikap politik yang berpendapat bahwa
pemberian FPJP dan PMS serta kebijakannya tidak ada permasalahan sedangkan
dalam pelaksanaannya ada permasalahan, atau sikap politik yang berpendapat
bahwa pemberian FPJP dan PMS serta kebijakannya maupun pelaksanaannya ada
permasalahan.
 
 
Sehari menjelang rencana rapat paripurna yang ternyata kemudian
berakhir ricuh itu, pihak penguasa negara dan partai yang berkuasa yaitu Partai
Demokrat mulai menunjukkan kepercayaan diri.
 
Kepercayaan diri yang berlandaskan kepada kalkulasi kekuatan suara di
DPR dan asumsi akan tanda-tanda mulai dimungkinkannya adanya kompromi.
 
 
Berdasarkan itu pula, maka Presiden SBY yang semenjak awal kasus
Skandal Bank Century ini tidak secara tegas menyatakan bertanggungjawab, mulai
dengan kepercayaan diri yang cukup tinggi dengan tegas menyatakan bahwa dirinya
bertanggungjawab sepenuhnya atas kasus Skandal Bank Century ini.
 
 
Namun, sesuatu perubahan berlangsung cepat, tanda-tanda keberhasilan
kompromi menjadi diragukan tingkat validitasnya. Fraksi-fraksi yang tadinya
menunjukkan sikap siap berkompromi tiba-tiba berubah menjadi ngotot kembali.
 
Sehingga, opsi pilihan sikap politik yang menyatakan bahwa pemberian
FPJP dan PMS serta kebijakannya tidak ada permasalahan sedangkan dalam
pelaksanaannya ada permasalahan, menjadi hanya tinggal didukung oleh fraksi
Partai Demokrat dan PKB serta PAN saja.
 
Sedangkan fraksi PPP dan fraksi Gerindra serta fraksi Partai Golkar dan
fraksi PKS malahan kembali ngotot pada sikap politik yang sama dengan fraksi
PDIP dan fraksi Hanura, yaitu pemberian FPJP dan PMS serta kebijakan maupun 
pelaksanaannya
ada permasalahan.
 
 
Dan lagi, tata cara voting yang apabila tidak berhasil dilakukan
musyawarah untuk mufakat itu juga berubah.
 
Jika voting tertutup yang tadinya mulai terlihat dapat diterima oleh
kebanyakan fraksi, menjadi berubah dimana kebanyakan fraksi menghendaki voting
secara terbuka.
 
 
Inilah yang barangkali membuat pihak penguasa negara dan partai yang
berkuasa yaitu Partai Demokrat mulai sedikit panik.
 
 
Entah berkaitan dengan kepanikan lantaran peta politik yang berubah
dengan cepat itu, ataupun tidak, yang jelas kejadiannya adalah Ketua DPR tanpa
persetujuan para Wakil Ketua DPR maupun forum sidang secara sepihak menutup
sidang paripurna DPR itu sehingga menjadi ricuh.
 
Banyak pihak yang menyayangkan sikap Ketua DPR yang melupakan bahwa
asaz kepemimpinan DPR adalah kolegial. Dalam arti Ketua DPR tidak bisa
memutuskan secara sepihak tanpa persetujuan dari para Wakil Ketua DPR maupun
forum sidang yang sedang dipimpinnya.
 
 
Terlepas dari apapun hasil sidang lanjutan dari sidang paripurna DPR
yang kemarin berakhir ricuh itu, ada sesuatu keprihatinan yang maknanya sangat
esensial.
 
Mengapa kok
sebuah fakta kebenaran yang terang benderang itu harus dikalahkan oleh sistem
demokrasi yang berdasarkan voting ?.
 
Akankah ini
bukan berarti bahwa kebenaran hanyalah dapat bernilai kebenaran jika
dijustifikasi oleh suara mayoritas saja ?.
 
Lebih tragisnya lagi, mengapa kok
kebenaran harus diperjuangkan melalui lobi dan tawaran kompromi tukar guling ?.
 
Akankah ini
bukan berarti bahwa kebenaran itu hanya bermakna sebagai kebenaran kompromi
saja ?.
 
 
Akhirulkalam, mengapa kok tidak
dilakukan saja pengajuan semua pihak yang terlibat dalam pemberian FPJP
dan PMS serta kebijakan maupun pelaksanaannya bailout Century ini ke depan
pengadilan ?.
 
Tentunya yang diajukan ke depan pengadilan itu adalah sosok kuncinya
yang mulai dari Direksi Bank Century, dan Wapres Boediono sebagai Gubernur BI
pada waktu itu, serta Menkeu Sri Mulyani sebagai Ketua KSSK pada waktu itu.
 
Toh, kalau nantinya Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani di depan
pengadilan tidak terbukti bersalah, masih bisa direhabilitasi namanya.
 
Karena dengan demikian, kasus ini menjadi terang benderang, dan
kebenaran yang didapatkan juga kebenaran berdasarkan proses pengadilan.
 
Ya, mengapa kok tidak diajukan
saja para Direksi Bank Century, dan Wapres Boediono sebagai Gubernur BI pada
waktu itu, serta Menkeu Sri Mulyani sebagai Ketua KSSK pada waktu itu, kepada
kebenaran berdasarkan proses Pengadilan, sehingga kebenaran yang terang
benderang menjadi benar-benar kebenaran hakiki dan sejati ?.
 
 
Wallahualambishshawab.
 
 
*
Catatan Kaki :
Artikel lainnya yang berjudul ‘Tukar Guling dalam Skandal Century’
dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang
berjudul ‘The Century Band’
dapat dibaca dengan mengklik di sini , serta yang
berjudul ‘Inilah Ending dari Skandal Century’
dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang
berjudul ‘Pintu Masuk KPK ke Century’
dapat dibaca dengan mengklik di sini .

*
Kompromi
Kebenaran atau Kebenaran Kompromi ?
http://polhukam.kompasiana.com/2010/03/03/kompromi-kebenaran-atau-kebenaran-kompromi/
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke