Politikus, Agamawan ataukah Aktivis

Jumat, 9 Mei 2003

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Sebenarnya penulis sangat segan mencantumkan judul di atas. Namun tidak ada
jalan lain, karena di mana-mana penulis senantiasa ditanya orang, baik kawan
maupun bukan. Siapakah penulis ini? Politikuskah, karena bagaimanapun juga
penulis adalah orang yang turut mendirikan (dan kemudian memimpin) sebuah
partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari sudut manapun, tampak
bahwa partai tersebut akan menjadi salah satu partai besar setelah Pemilu
yang akan datang, kalau tidak dikatakan yang terbesar.


Pantaskah kalau kemudian orang bertanya benarkah anggapan bahwa penulis
adalah seorang politikus? Jawabannya, tidak bersifat mutlak: mungkin
terkadang seorang politikus tidak pernah melihat dalam dirinya fungsi-fungsi
lain. Anggaplah, dalam bahasa yang populer sebagai politikus plus.


Apa maksudnya plus? Tentu saja dapat berbentuk macam-macam, baik yang umum
maupun yang khusus. Dalam pengertian yang umum, dapat dilihat antara lain
penulis adalah politikus yang dididik bertahun-tahun di lingkungan pesantren
pasti juga seorang ayah, suami dan pemuka masyarakat di tempat ia tinggal.
Tetapi secara khusus mendalami berbagai nilai keagamaan, sebagai bidang
kajian. Karena hal ini, penulis akan diminta pendapat tentang berbagai
masalah keagamaan, karena wajar jika pendapatnya memiliki nilai tersendiri
sebagai buah dari spesialisasinya itu. Contohnya adalah pendapat fiqh (hukum
Islam) atas pagelaran Inul, untuk dibandingkan dengan pendapat Rhoma Irama.


Demikian juga, ketika penulis ditanya mengapa ia "membela" Inul. Penulis
menjelaskan bahwa apa yang dilakukan guru aerobik dengan pagelaran "ngebor"
itu, tidak dapat di hentikan dilarang oleh siapapun, selama tidak melanggar
undang-undang yang ada. Sedangkan yang menentukan Inul melanggar
undang-undang atau tidak, adalah Pengadilan Negeri-Pengadilan Tinggi hingga
Mahkamah Agung. Selama keputusan lembaga-lembaga hukum itu tidak melarang
Inul bergoyang, selama itu pula ia secara undang-undang masih berhak
melakukannya.


Dalam hal ini, penulis bertindak selaku seorang aktivis Hak Asasi Manusia
(HAM). Karena itu penulis secara konsisten memandang hak-hak seorang warga
negara diberikan Undang-Undang Dasar dan tidak ada orang yang berhak
mengeluarkan larangan, betapa pandainya ataupun besarnya pengaruh orang itu
dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang membuat penulis "membela Inul",
terlepas dari perasaan penulis sendiri tentang apa yang dilakukan guru
aerobik dari Japanan, Pasuruan itu.


*****


Terkadang, penilaian penulis sebagai seorang politikus diragukan orang,
karena dianggap ada kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan
tersebut. Orang boleh saja memiliki anggapan demikian, tetapi penulis tidak
mengubris, karena yakin keputusan-keputusan yang diambil selalu didasarkan
kepada kepentingan orang banyak, dalam hal ini peraturan dan undang-undang
yang berlaku.


Ini disebabkan oleh keyakinan penulis, sesuai dengan tuntunan agama, bahwa
seorang pemimpin harus mengambil keputusan berdasarkan kepentingan rakyat.
Sebuah adagium merumuskan hal itu dengan sangat bijak: "Kebijakan dan
tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang di pimpinya. Terkait sepenuhnya
dengan kesejahteraan mereka" (Tasharruf Al-Imam 'ala Al-Rahma'iyyah Manuthun
bi al-Mashlahah).


Kesejahteraan rakyat (al-mashlalah al-ammah) ini, dalam Undang-Undang Dasar
kita, dibagian pembukaan, dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur.
Artinya segenap kebijakan dan tindakan sang pemimpin, diukur dari kemampuan
mencapai sasaran seperti itu (masyarakat adil dan makmur di atas). Inilah
ukuran satu-satunya bagi setiap orang pemimpin, baik dari kalangan politisi,
militer atau birokrasi. Kalau tujuan ini dapat di perjuangkannya dengan
kongkret, maka ia dapat dianggap sebagai pemimpin yang berhasil dan bermotif
baik, terlepas dari apa pendapat orang tentang dirinya. Penulis mencoba
mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat dan tidak ambil pusing adakah ia
seorang politikus yang baik atau tidak.


Sebagai seorang yang dididik di Pesantren, tentu saja penulis melihat segala
sesuatu dari jendela agama yang dipelajarinya, yaitu Islam. Penulis melihat
terjadinya penafsiran ulang (re-interprestasi) sebagai bagian mutlak dari
perkembangan agama Islam. Dengan demikian, penulis tidak hanya melihat
ajaran-ajaran resmi agama sebagai sesuatu yang statis (tetap) saja,
melainkan sebagai proses yang tidak pernah berhenti.


Kata Al-Qur'an: "Wahai jin dan manusia kalau anda dapat melakukan
penjelajahan seluruh kawasan langit dan bumi, lakukanlah hal itu. Tetapi
kalian tidak akan dapat melakukan hal hal-hal itu tanpa kemampuan (yang di
berikan Tuhan), dalam bentuk aslinya berbunyi "Ya Ma'yar al-Jinni wa al-Insi
Inistatha' Tum an Tanfidzuna Illa bil al-Sulthan". Ayat ini dulu ditekankan
kepada ketidakmampuan manusia melakukan penjelajahan, tetapi dengan adanya
kapsul angkasa luar, tekanannya sekarang kepada kemampuan berupa pengusaaan
teknologi ruang angkasa.


*****


Penafsiran ulang tersebut di atas, tidak menyalahi ketentuan ayat berikut:
Hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian, ku sempurnakan
pemberian nikmatku kepada kalian, dan kurelakan bagi kalian Islam sebagai
agama: "Al-Yauma Akmaltu Lakum Dinakum wa Atmantu Lakum Nik'mati wa Radhaitu
Lakum al-Islama Dinnan". Maksud dari ayat tersebut mengenai dan berlaku
kepada prinsip-prinsip kehidupan Islam, bukan kepada perinciannya. Dengan
demikian, menjadi jelas Islam dapat ditafsirkan ulang, dan dengan demikian
Islam layak bagi semua tempat dan masa (Shalihaj Laikuli Zamanin Wa
Makanin).


Sejak kecil penulis menggeluti aktifisme, dalam tahun-tahun 50-an menjadi
warga kepanduan dari berbagai gerakan secara bergantian. Pernah menjadi
warga kepanduan Hisbul Wathan di Kramat Raya 45 (Jakarta), kepanduan bangsa
Indonesia, Pandu Rakyat Indonesia dan sebagainya. Sewaktu di Jogyakarta,
menjadi Pelatih Pemula dari Kepanduan Anshor DIY selama setahun. Kesemuanya
itu memberikan pengalaman bermacam-macam kepada penulis. Sebelum ada gerakan
Pramuka, ketika belajar di pesantren, aktivitas tersebut digabungkan dengan
kegiatan-kegiatan intern Pesantren, dan dengan demikian menjadikan tambahan
kekayaan rohani bagi penulis.


Dari berbagai pengalaman itu, penulis melihat pentingnya berbagai kegiatan
bagi seorang aktivis, guna pembentukan watak seseorang. Semua aktivitas itu
justru mendorong tumbuhnya kepribadian, yang menganggap penting pengabdian
kepada masyarakat.


Karenanya tidaklah heran sekembalinya penulis dari belajar di Timur Tengah
(Kairo dan Baghdad) serta Eropa Barat (selama setahun) penulis segera terjun
dalam dunia kemasyarakatan.


Hal-hal berikut menjadi titik perhatian penulis: pembelaan hak-hak minoritas
di hadapan negara dan kelompok masyarakat yang arogan. Fokus itu terbangun
melalui proses di pesantren, dalam pengembangan masyarakat (community
development), kemerdekaan bicara dan menyatakan pendapat serta dialog antar
agama. Banyak aktivitas dijalani penulis dalam mengabdi kepada kemanusiaan
melalui bidang-bidang tersebut. Ada kalanya melalui tulisan dalam media
publik, keikutsertaan dalam berbagai bidang pegabdian kepada masyarakat, dan
akhirnya kehadiran sebagai anggota pengurus Nahdlatul ulama (NU).


Ada juga "kegiatan sela" seperti tiga tahun menjadi salah seorang Ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Ketua Dewan Juri pada Festival Film
Indonesia (FFI), dua tahun berturut-turut. Pada tahun 1998, penulis di
tugasi membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan akhirnya Presiden RI
di tahun 1999. Di sinilah tugas-tugas politik bertemu dengan kompentensi
sebagai agamawan dan pengalaman sebagai aktivis dalam diri penulis.
Kelihatanya sederhana, namun sulit dijalankan bukan?


Jakarta, 2 Mei 2003


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke