Refleksi : Pertanian syariah? Di daerah gurun pasir [dessert and semi dessert] 
pada zaman bahula tidak ada pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan 240 juta 
manusia seperti di NKRI sekarang. Dahulu kala jumlah anggota masyarakatnya 
sedikit dan lagi hidup nomadik artinya tidak berdiam tetap di satu tempat, 
melainkan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain tergantung dari 
keadaan rumput untuk ternak dan juga musim. Kalau ada pertanian syariah, 
berarti telah pertama-tama dan terutama diaplikasikan di negeri-negeri Timur 
Tengah. Yang sekarang negeri-negeri Timur Tengah yang kaya dengan petro dollar 
mengincer ialah membeli tanah di luar neger, teristimewa di negeri-negeri 
miskin untuk memproduksi makanan untuk mereka. Rezim SBY telah bersedia menjual 
500.000 ha di Papua untuk Bin Laden Groups untuk memproduksi makanan buat Arab 
Saudia.

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=14561

2010-03-15 
Rindu Sistem Pertanian Syariah


Sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, tidak jelas sistem apa yang dipakai 
untuk mengelola pertanian. Akibat tidak jelasnya sistem, nasib petani pun 
banyak yang tidak jelas, alias terpuruk. Di negara yang menganut sistem 
pertanian kapitalis, para petaninya kaya, memiliki lahan pertanian yang luas 
dan didukung peralatan pertanian modern.


Sedangkan, petani Indonesia, lahannya kecil dan hasilnya pun kecil. Itu pun 
para petani masih menghadapi banyak kendala, mulai dari harga pupuk mahal, 
irigasi yang buruk, peralatan pertanian yang tradisional. Tak jarang pula 
petani terjerat utang bank.


Ada dua fakta. Pertama, Indonesia merupakan negara agraris. Kedua, mayoritas 
penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, perlu dibuat sistanas (sistem 
pertanian nasional) berbasiskan syariah (dalam arti sharing atau bagi hasil). 


Sarana dan prasarana berupa traktor tangan, BBM, pupuk, obat-obat antihama, 
alat penyemprot hama, benih padi, irigasi, dan lain-lain disediakan oleh pemda, 
pengusaha atau kelompok pengusaha. Juga perlu adanya asuransi pertanian untuk 
mengantisipasi timbulnya kerugian (akibat banjir/kekeringan/puso/hama dan 
lain-lain). Dalam sistem ini petani tidak perlu mengeluarkan uang satu sen pun.


Ketika panen, maka hasilnya dibagi. Misalnya 25 persen untuk pemda, pengusaha 
atau kelompok pengusaha dan 75 persen untuk petani. Petani pun membagikan lagi 
berdasarkan luas lahan yang dimiliki. Petani penggarap dibayar sesuai dengan 
bayaran yang layak.


Hanya dengan sistem pertanian syariah kesejahteraan petani bisa terjamin. 
Negara untung karena mampu berswasembada beras (pangan). Tidak menutup 
kemungkinan Indonesia akan menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia. 
Tentu, perlu dibuat undang-undang tentang sistem pertanian syariah.

Hariyanto Imadha
BSD Nusaloka Blok S-1/11
Tangerang


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke