http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/terorisme-dan-ideologi-fundamentalisme/
Senin, 15 Maret 2010 12:46 Terorisme dan Ideologi Fundamentalisme OLEH: AHMAD HASAN MS Jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali meringkus jaringan teroris di Aceh. Detasemen Khusus (Densus) 88 menembak mati dua tersangka teroris bernama Anceng Kurnia dan Ura Sudarma dan menangkap delapan teroris lainnya. Pelaku ditangkap di Desa Leupueng, Kecamatan Leupueng, Kabupaten Aceh Besar pada Jumat, 12 Maret. Penangkapan ini merupakan rangkaian kerja tim Densus 88 setelah sebelumnya menangkap gembong teroris Dulmatin di Pamulang, Tangerang, Selasa, 9 Maret lalu. Memori kolektif masyarakat kembali bertanya-tanya mengapa jaringan teroris tak pernah habis. Apa yang menyebabkan mereka tak gentar dalam melakukan aksi terorisme? Bukankah terorisme bertentangan dengan ajaran agama mana pun? Pertanyaan bernada gugatan dan reflektif ini senantiasa mengendap dalam benak kita. Seperti diketahui, jaringan terorisme di Indonesia berjalan secara sistematis dan massif. Jaringan ini diduga kuat memiliki kedekatan dengan Jamaah Islamiyah (JI) dan Al-Qaeda. Serentetan tragedi pengeboman disertai bunuh diri yang berlangsung di Indonesia mulai dari Bom Bali (12 Oktober 2002), Hotel JW Marriot, Jakarta (5 Agustus 2003), bom di Kedubes Australia dan seterusnya, membuktikan mereka cukup rapih, cerdas, canggih, dan lihai dalam melancarkan aksinya. Mulai dari strategi perekrutan anggota, pelatihan dan pengkaderan, penggalangan dana hingga aksi lapangan, semua direncanakan secara rinci dan terstruktur. Pola kepemimpinan organisasi tidak mengandalkan satu orang, akan tetapi dibentuk tim sehingga semua saling berperan. Akan tetapi, mereka berjalan secara kolektif. Modal kekompakan itulah yang membuat gerakan mereka sulit ditumpas. Pihak kepolisian sering kali dibuat repot dan kalang kabut. Mereka ibarat ikan belut yang sulit ditangkap dan dijebak. Meski telah ditangkap dan dibunuh, pelbagai gembong teroris seperti Dr Azahari, Noordin M Top, Am Rozi, Imam Samudra, Dulmatin dan tokoh teroris lainnya, kenyataanya masih saja ancaman selalu muncul. Mereka pandai melakukan pengkaderan. Ibarat peribahasa, "hilang satu tumbuh seribu." Ini dibuktikan dengan masifnya kelompok tersebut dalam melatih dan merekrut orang-orang muda di daerah Provinsi Aceh. Bahkan, Aceh diproyeksikan sebagai tempat persembunyian, pelatihan, dan pertemuan teroris untuk tingkat Asia Tenggara. Aceh dipandang sebagai daerah yang aman dan efektif. Terlebih, Aceh merupakan daerah bekas konflik yang mayoritas beragama Islam. Aceh cukup kondusif, khususnya pascapenandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Helsinki. Akam tetapi, tentu kita patut bersyukur bahwa jajaran kepolisian berhasil mengendus gerombolan tersebut. Dengan begitu, sedikit banyak itu bisa melumpuhkan dan memutus mata rantai gerakan terorisme. Apa yang dilakukan aparat kepolisian beberapa hari yang lalu di Aceh, dengan menembak mati dua teroris Anceng Kurnia dan Ura Sudarma dan penangkapan delapan pelaku terorisme, kiranya sedikit melegakan dada. Akan tetapi, tentu kita masih bertanya-tanya, apakah dengan ditangkapnya para pelaku ini lantas gerakan terorisme akan lenyap, sekaligus menjamin keberlangsungan keamanan RI di masa-masa mendatang? Pertanyaan tersebut tentu tidak bisa dijawab dengan mudah. Dibutuhkan sebuah kajian dan penelitian mendalam. Ahmad Syafi'i Ma'arif (2008) menyatakan, gerakan terorisme tidak bisa ditumpas begitu saja tanpa dicari akar masalahnya. Bagi Syafi'i Ma'arif, gerakan terorisme yang didengungkan oleh kelompok JI tidak lepas dari ideologi fundamentalisme yang cenderung radikal dan bercita-cita mendirikan negara Islam. Mereka tidak puas dengan sistem demokrasi saat ini yang dinilai sekuler dan liberal. Mereka membenci "antek-antek" AS, yakni Indonesia, yang dinilai telah masuk lembah kapitalisme dan liberalisme. Pemerintah Harus Evaluasi Diri Martin E Marty dan R Scott Aplleby (1991) dalam Fundamentalism Observed yang dikutip Karen Amstrong, menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan ideologi yang teguh dalam prinsip, termasuk ajaran agama, mengaku paling benar dan tidak bisa dikritik (uncriticable). Ideologi ini memiliki pola-pola tertentu sebagai mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam. (Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam Kristen dan Yahudi, Serambi, 2001). Rumadi dalam bukunya, Renungan Santri, dari Jihad Hingga Kritik Wacana Agama (Erlangga, 2007), menyebutkan bahwa kemunculan fundamentalisme diakibatkan pelbagai faktor yang saling berhubungan erat. Pertama, kekecewaan terhadap sistem demokrasi yang dinilai sekuler. Ajaran demokrasi yang menempatkan suara rakyat suara Tuhan (Vox Vopuli Vox Dei) dianggap telah mensubordinasi Tuhan. Meskipun kelompok fundamentalis radikal, termasuk JI dan kawan-kawannya, kecewa terhadap sistem demokrasi, namun mereka memanfaatkan momentum demokrasi itu sebagai sarana memperjuangkan aspirasi politiknya. Kedua, kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial yang disebabkan ketidakberdayaan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara religius. Demokrasi yang dianut Indonesia dinilai cenderung sekuler dan mengabaikan prinsip-prinsip agama. Demokrasi hanya membiarkan berkembangnya kemaksiatan dan kemudaratan. Ketiga, ketidakadilan politik. Fundamentalisme radikal muncul sebagai ekspresi perlawanan terhadap sistem politik yang menindas dan tidak adil. Bagi kelompok JI, termasuk para teoris, sistem demokrasi menyebabkan rakyat Indonesia jatuh dalam jurang kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Demokrasi hanya menindas orang-orang kecil yang papa, tak berdaya, dan termarginalkan. Kesejahteraan hanya dimiliki elite politik dan penguasa yang berkongkalikong dengan pengusaha. Rakyat hanya diperas dan ditindas. Fundamentalisme merupakan sebuah tantangan bagi bangsa Indonesia. Gerakan terorisme berbasis fundamentalisme ini tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Kepolisian atau Tim Densus 88 bisa saja menangkap dan menyisir pelaku terror, akan tetapi akar masalah tersebut tetap menjadi pekerjaan rumah (PR) yang wajib diselesaikan bersama. Itulah sebabnya, fundamentalisme harus diputus. Pendekatan inklusivis, kemanusiaan, dan paham multikulturalisme layak disemaikan. Pemerintah juga harus berevaluasi untuk berpihak pada civil society yang berkeadilan dan berkeadaban. Penulis adalah peneliti pada Lakpesdam NU DIY. [Non-text portions of this message have been removed]