http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=c9b49ca561a1f728f02c136e2f987c0b&jenis=d645920e395fedad7bbbed0eca3fe2e0


Prinsip-prinsip Islam vs Negara Islam di Indonesia 
Jumat, 19 Maret 2010 | 11:17 WIB 
Oleh: Blake Respini 
Dosen Jurusan Ilmu Politik San Fransisco State University.


Satu komponen penting dalam masa depan demokrasi Indonesia adalah pengakuan 
akan peran "khusus" Islam dalam negara. Karena banyak Muslim di Indonesia yang 
ingin agar pemerintah mereka menghormati tradisi-tradisi Islam meski mereka tak 
mendukung pendirian negara Islam, batas antara dukungan dan penolakan terhadap 
hukum Islam kemudian menjadi sumir. 

Banyak orang Indonesia, termasuk mereka yang hanya Muslim nominal, menganut 
nilai-nilai konservatif dan mendukung hukum-hukum moral yang kaku tanpa 
mengasosiasikannya sebagai bagian dari ajaran agama atau syariah. Sehingga, 
mudah sekali keliru untuk mengasosiasikan dukungan yang demikian ini sebagai 
dukungan terhadap Islam politik, padahal dukungan tersebut hanyalah refleksi 
murni nilai-nilai konservatif. 

Pada saat yang sama, banyak Muslim di Indonesia yang menolak norma dan tatanan 
sosial yang umumnya diasosiasikan dengan demokrasi di Barat, termasuk model 
pluralisme dan sekularismenya. Tetapi bukan berarti mereka adalah pendukung 
teokrasi atau anti demokrasi. 

Debat politik yang terjadi saat ini memang sering dikerangkai sebagai 
pertarungan antara Islamis melawan non-Islamis. Padahal perbedaan di antara 
kelompok yang berdebat sebetulnya lebih rumit dari itu, dan negosiasi 
demokratis akan mengharuskan semua kelompok memahami kerumitan ini untuk bisa 
menemukan titik temu. 

Dalam hal ini komentar Dr. Ahmad Shboul, ketua Jurusan Studi Islam dan Arab di 
University of Sydney mengingatkan kita bahwa memisahkan agama dari politik 
tidak sama dengan memisahkannya dari masyarakat pada umumnya, dan bahkan 
pemerintah yang paling sekuler di dunia Barat pun tidak pernah mencoba 
melakukannya.

Shboul menyatakan bahwa upaya AS menyekulerkan politik Arab mungkin akan 
berakhir dengan reaksi balik yang justru akan mendorong tumbuhnya Islam 
politik. Orang Barat seharusnya sadar bahwa tidak ada bentuk masyarakat 
demokratis yang tunggal. 

Kita pun pada akhirnya harus menyadari bahwa bahkan di Barat sekalipun definisi 
demokrasi beragam dan selalu berubah. 

Seperti dinyatakan oleh Robert W. Hefner, Profesor Antropologi dan Direktur 
Institut Budaya, Agama dan Hubungan Internasional (CURA) di Boston University, 
keluarga pernah dianggap sebagai basis utama budaya Barat, tetapi sekarang 
kebebasan individu seringkali didahulukan di atas kesatuan keluarga. Bahkan 
pengertian istilah "keluarga" bagi orang Amerika pun beragam, termasuk dua 
orang yang tinggal bersama (meski tidak menikah), pasangan sesama jenis 
tercatat, dan pernikahan gay.

Meski ada konsensus mengenai nilai-nilai penting dalam masyarakat kita, selalu 
ada saja ketegangan dalam masyarakat Barat terkait pentingnya keseimbangan 
antara hak-hak individu dan kebutuhan akan adanya komunitas, kesetaraan dan 
kebebasan, bahkan tentang peran yang pantas bagi agama dan moral dalam politik. 
Seperti beragamnya pengertian masyarakat Barat yang demokratis tentang hal-hal 
di atas, negara-negara Muslim yang demokratis pun pasti akan memiliki model 
pluralisme mereka sendiri.

Debat mengenai peraturan-peraturan berbasis syariah merefleksikan adanya 
kepentingan di kalangan rakyat Indonesia untuk mencari masalah terpenting yang 
akan mempengaruhi bentuk demokrasi negaranya. Debat yang muncul bukan mengenai 
baik atau buruknya syariah, melainkan apa makna yang layak untuk syariah dan 
hubungannya dengan negara, dan juga hubungannya dengan ideologi nasional 
Pancasila, yang merupakan perwujudan pluralisme Indonesia yang dipengaruhi oleh 
pemikiran-pemikiran Islam, Hindu, Budha dan Barat. 

Pada akhirnya, perdebatan ini merefleksikan adanya pertanyaan besar mengenai 
apa makna bangsa Indonesia itu sendiri dan apa makna menjadi orang Indonesia. 
Kita semua memiliki beragam identitas. Kita bisa mendefiniskan diri sebagai 
mahasiswa, sarjana, suami, istri, atlit atau musisi dari berbagai penggambaran 
yang membentuk identitas kita secara keseluruhan. Tetapi, agar berhasil sebagai 
sebuah bangsa, penting artinya bagi warganegara untuk mempunyaisebuah citra 
utama diri yang juga merupakan identitas nasionalnya. 

Tapi tentu saja tak cukup hanya menjadi seorang Amerika, Jerman, Indonesia, 
atau orang Turki. Sebuah bangsa hanya bisa berfungsi sebagai bangsa jika 
identitasnya merepresentasikan adanya nilai yang diyakini bersama dan adanya 
rasa kekeluargaan yang sama. 

Kebanyakan, sebuah bangsa terbentuk melalui sejarah panjang karena adanya 
sejarah bersama. Di kebanyakan negara Eropa Barat, sejarah bersama itu diikat 
oleh adanya bahasa, agama dan norma kultural yang sama. Karenanya, meskipun 
mayoritas orang Italia dan Perancis adalah orang Katolik, kesadaran mereka yang 
semakin tinggi akan adanya perbedaan pada akhirnya menjadi ekspresi 
nasionalisme.

Orang Indonesia mungkin menganut Islam yang sama dengan orang Islam di belahan 
bumi lain, tetapi Islam hanya menjadi suatu bagian saja dari visi 
nasionalisnya. Ini wajar terutama bila kita mengingat bahwa belasan juta orang 
Indonesia adalah non-Muslim. 

Tantangan bagi Indonesia adalah menemukan tempat bagi syariah yang tidak akan 
mengasingkan keunikan Indonesia dari Islam yang lain, dan tidak melemahkan 
orang Indonesia yang non-Muslim. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke