Rencana kunjungan Presiden AS Barack Hussein Obama ke Indonesia menuai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. Mereka tentu memiliki padangan sendiri untuk mau atau tidak menerima kunjungan Obama yang pertama kalinya ke Indonesia sejak resmi menjabat sebagai presiden AS. Namun, ada satu hal yang harus kita cermati dari kunjungan Obama ke Indonesia. Seperti dinyatakan Menlu Marty Natalegawa pada Senin (15/3) bahwa salah satu agenda Gedung Putih yang dibawa Obama ke Indonesia adalah sektor kesehatan, yang boleh jadi ada kaitannya dengan kasus Namru 2 (the US Naval Medical Research Unit Two). Namru 2 tidak lain adalah unit kesehatan angkatan laut AS yang berada di Indonesia untuk melakukan berbagai riset mengenai penyakit menular. Banyak pihak menilai keberadaan Namru 2 ini adalah bagian dari upaya AS untuk melakukan agenda terselubungnya dalam pengembangan senjata biologi rahasia. Itulah mengapa akses ke Namru 2 sangat dibatasi. Meski tidak secara eksplisit Marty Natalegawa menyebut istilah Namru 2, namun bisa diprediksi bahwa sektor kesehatan yang menjadi satu di antara agenda Obama yang dibawa ke Indonesia untuk dinegosiasikan dengan pemerintahan SBY akan menyinggung nabib Namru 2, yang boleh dibilang sebagai cover CIA di Indonesia. Kalau benar Namru 2 menjadi agenda utama dari kunjungan Obama ke Indonesia, maka pemerintah SBY harus bisa mengambil langkah bijak dan tegas seperti yang pernah ditunjukkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kala itu. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pemerintah RI melalui mantan menteri kesehatan itu secara resmi menghentikan kerjasama dengan Namru 2. Tepatnya 16 Oktober tahun lalu, Fadilah melayangkan surat kepada pemerintah AS. Surat bernomor 919/Menkes/X/2009 juga ditembuskan kepada menteri luar negeri, menteri pertahanan, menteri koordinator kesejahteraan serta menteri sekretaris negara. Memang, seperti diakui Siti Fadilah Supari, dalam pencegahan wabah flu burung pada tahun 2005 misalnya, NAMRU yang mempekerjakan 60 peneliti dan staf, cukup berperan. Namun dari seluruh pernyataannya, tersirat betapa gemasnya ia karena kekuasaannya sebagai menteri ternyata tidak mempan untuk mengontrol lembaga riset itu. Betapa kedaulatan Indonesia diinjak-injak oleh lembaga milik negara adidaya AS itu. Langkah taktis dan strategis seperti yang ditunjukkan Fadilah inilah yang mestinya menjadi perhatian utama pemerintahan SBY saat ini. Setelah gebrakannya itu, keberadaan Namru 2 mulai terungkap ke masyarakat luas. Pelajaran Berharga untuk SBY Kaum perempuan saja seperti Siti Fadilah Supari dengan gagah berani melawan pemerintah AS atas keberadaan Namru 2 di Indonesia. Sikap itu diambil Fadilah karena merasa bangsa ini sudah tak berdaya atas kekuatan dan cengkeraman AS yang dengans sengaja menempatkan lembaga risetnya untuk tujuan yang dianggap ilegal. Maka di sini, penulis menilai dengan memposisikan Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai pengganti Sti Fadilah Supari, presiden SBY telah melakukan langkah mundur dan layak dipertanyakan. Betapa tidak, penunjukan Endang sebagai menteri kesehatan menyisakan pertanyaan. Karirnya di depkes sempat tersandung karena Endang pernah dimutasi oleh Siti Fadilah Supari. Langkah Fadilah memutasi Endang yang merupakan orang paling dekat dengan Namru 2 karena ia telah membawa virus yang dilarang untuk dibawa ke luar negeri dan tanpa diketahui oleh siapapun, termasuk dirinya. Mungkinkan ini bukti bahwa presiden SBY telah tunduk pada AS? Karena itu, kedatangan Obama ke Indoneisa harus menjadi momentum bagi pemerintahan SBY untuk tetap berada pada zona zero tolerance jika Obama nanti menyinggung dimungkinkannya Namru 2 ini kembali beroperasi. Setidaknya, SBY perlu mengambil pelajaran berharga dari Siti Fadilah Supari. Beranikah? Sekadar informasi, Namru awalnya adalah lembaga riset di bawah otoritas Angkatan Laut Amerika Serikat. Lembaga ini beroperasi di Indonesia sejak tahun 1968. Awalnya, Indonesia yang meminta mereka datang untuk meneliti wabah sampar di Jawa Tengah. Ternyata manjur. Berkat rekomendasi NAMRU, wabah sampar yang merajalela berhasil dijinakkan. Dua tahun kemudian, terjadi wabah malaria di Papua. Namru kembali diminta bantuannya. Bahkan kali ini kehadiran mereka diikat dalam sebuah MOU, ditanda tangani oleh Menteri Kesehatan GA Siwabessy dan Duta Besar AS, Francis Galbraith. MOU itulah yang menjadi landasan hukum laboratorium di bawah kendali Angkatan Laut AS itu terus bercokol di Indonesia, biar pun selama puluhan tahun tidak ada lagi wabah penyakit menular; dan biar pun tuan rumah tidak lagi membutuhkan bantuannya. Dalam MOU itu dijelaskan, tujuan kerjasama adalah untuk pencegahan, pengawasan dan diagnosis berbagai penyakit menular di Indenesia. Namru diberikan banyak sekali kelonggaran, terutama fasilitas kekebalan diplomatik buat semua stafnya; dan izin untuk memasuki seluruh wilayah Indonesia. Memang ada klausul dalam MOU itu, setiap 10 tahun kerjasama tersebut dapat ditinjau kembali. Belakangan, Indonesia memang merasa tertipu oleh perjanjian yang amburadul itu. Namun semua usaha yang dilakukan untuk mengontrol Namru 2 tidak satu pun yang berhasil. Buktinya, selama periode tahun 2.000-2005, lembaga riset ini tetap beroperasi, kendati izinnya sudah habis. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=1510&type=4 [Non-text portions of this message have been removed]